Rumah Impian itu... (2)

Tentang halaman, rumput dan bumbu dapur.

HES Hidayat pada suatu hari menceritakan padaku impiannya tentang sebuah rumah yang memiliki dapur dengan jendela menghadap ke halaman, dimana di halaman tersebut dia akan menanam bumbu- bumbu dapur.

herb-1



Aku sama sekali tak heran bahwa dapur dan bumbu dapurlah yang menjadi fokus impian Hes. Sebab Hes gemar dan pandai memasak. Jadi amat wajar bahwa hal tersebutlah yang sering muncul dalam impiannya tentang rumah ideal.

Namun sebenarnya bumbu dapur yang tumbuh di halaman rumah tampaknya menjadi impian banyak orang, bukan hanya Hes.

Aku juga pernah memiliki mimpi- mimpi yang sama.

Sesaat setelah kami membeli sebidang tanah dimana kami berharap dapat membangun rumah yang lebih luas dengan halaman yang juga lebih luas, yang terpikir dalam anganku adalah: aku ingin ada rumpun-rumpun kunyit, jahe, kunir, lengkuas, dan semacamnya ada di halaman.

Dan kuwujudkan dengan segera impian tersebut.

Karena belum memiliki dana untuk membangun rumah di tanah yang kami beli tersebut, maka yang kami – aku dan suamiku – wujudkan adalah apapun yang dapat kami wujudkan saat itu.

Di banyak akhir minggu, dengan gembira kami berjalan kaki dari rumah mungil kami ke kavling yang baru kami beli tersebut yang letaknya hanya beberapa ratus meter saja dari rumah yang kami tinggali dan mulai menanami lahan tersebut...

herb-2


***



Adik bungsuku adalah seorang arsitek.

Kuminta dia datang berkunjung ke kota dimana kami tinggal ( kami tinggal di kota yang berlainan ) dan melihat kavling yang baru saja kami beli. Kami tanyakan padanya, secara garis besar di sebelah mana sebaiknya rumah dibangun kelak.

Ketika sudah kami dapatkan gambaran dimana kelak rumah tersebut akan berdiri, mulailah kami mulai mewujudkan mimpi kami. Bukan di titik dimana rumah tersebut akan dibangun, tapi justru di lahan yang tersisa. Di (calon) halaman rumah kami.

Tiap minggu, ada saja pepohonan yang kami tanam di situ. Dari pohon rambutan impianku, juga pohon mangga serta jambu dan nangka.

Serta bumbu dapur.

Kutanam sereh, kunyit, kunci, jahe , pandan, sirih dan beragam bumbu dapur lain di halaman.

Juga…

Ha ha ha…

Mulai kami tanami rumput halaman itu.

Aku ingat anak sulungku yang saat itu berusia sekitar 5 tahun bertanya padaku, “ Ibu, “ katanya, “ Kenapa ibu tanam rumput di sini? “

Kukatakan padanya bahwa kelak, kita akan membangun rumah di sini, dan bagian yang ditanami rumput itu akan menjadi halaman rumah tersebut.

Anakku menatap rumput- rumput hijau di hadapannya. Kemudian dia berkata lagi, “ Tapi ibu, orang lain kan bikin rumahnya dulu, baru tanam rumput. Kenapa ibu tanam rumput dulu baru nanti bikin rumah? “

Ha ha ha.

Aku tertawa dan kujawab pertanyaan sulungku, “ Karena uang Ibu sekarang memang baru cukup untuk beli rumput, belum cukup untuk bikin rumah. Jadi ibu beli rumput dulu saja, rumahnya belakangan… “

***



Baru kusadari bahwa membangun rumah ternyata tak sesederhana yang kuduga saat beberapa tahun kemudian kami akhirnya memiliki tabungan yang cukup untuk dapat membangun rumah impian kami di kavling dimana beberapa pohon buah- buahan sudah mulai tumbuh subur itu.

Masalah pertama diketemukan ketika adikku, arsitek yang akan membantu kami merancang rumah impian kami ini, dengan tersenyum mengatakan pada aku dan suamiku bahwa apa yang kami sampaikan berdua padanya sebetulnya adalah dua gaya rumah yang berbeda.

Hah?

Saat itu kami mengobrol bertiga. Suamiku menyampaikan seperti apa rumah yang ada dalam bayangannya. Begitu juga aku. Dan begitulah, kesimpulannya, menurut adikku, apa yang kami sampaikan itu sangat ‘beda gaya’.

Ya ampun.

Aku baru saja menyadari bahwa aku dan suamiku ternyata memiliki selera yang sangat berbeda mengenai rumah.

Hal itu tak terlalu tampak ketika kami membeli rumah mungil kami. Sebab rumah tersebut adalah rumah jadi yang dibangun oleh developer. Kami berkeliling memilih lokasi dan rumah yang kira- kira bentuk dan terutama budgetnya sesuai dengan kantong kami. That’s all.

Ketidak samaan selera itu baru muncul ke permukaan saat kami hendak membangun rumah sendiri. Suamiku rupanya menyukai rumah yang simpel dan minimalis sementara rumah yang ada dalam bayanganku justru rumah dengan gaya etnik, batu bata telanjang serta kayu- kayu berukir.

Hahaha.

Setelah beberapa saat, sebab ternyata memang tak mudah menyesuaikan selera, aku berpikir logis saja. Aku sendiri toh tak pandai membaca gambar, denah dan menterjemahkan gambar tersebut di dalam otakku ( sama tak pandainya dengan membaca peta, ha ha ha ), maka kupikir, lebih baik kuserahkan saja urusan seperti apa rumah yang kelak akan berdiri itu pada adikku dan suamiku.

Kubiarkan mereka mendiskusikan secara detail rancangan rumah kami. Kukurangi beberapa hal dari bayangan rumah etnik-ku. Yang kukatakan pada mereka hanyalah bahwa aku menghendaki rumah dengan banyak jendela – lebih lebar ukuran jendela itu lebih baik – dan bahwa semua ruangan harus memiliki jendela ke halaman luar.

Suamiku ternyata juga masih ingat bahwa aku selalu memimpikan rumah dengan ruang keluarga yang berlantai kayu, yang tanpa kuminta lagi dia masukkan ke dalam rancangan rumah kami.

Dan berdirilah rumah impian kami itu.

Entahlah, apakah adik dan suamiku memang mencintai aku dengan amat sangat atau sebetulnya mereka sedang bergurau dengan keinginanku untuk memiliki rumah dengan banyak jendela lebar, tapi…

Rumah kami ini memiliki jumlah jendela yang agak ‘tidak umum’.

Di ruang tamu kami, ada lima buah jendela kaca.

Ruang keluarga juga dihiasi dengan empat daun jendela yang sangat lebar.

Lalu, kamar tidur utama memiliki enam buah jendela.

Belum lagi ruangan- ruangan lain dengan jendela yang sama banyaknya.

Kelak di kemudian hari, ketika kami mengundang tukang teralis dan gorden ke rumah kami untuk mengukur jendela- jendela di rumah, komentar mereka sama: waduh, rumah ini jendelanya banyak sekali ya…

Ha ha ha.

***



Tentang gorden, ada hal lucu yang kuingat.

Yaitu bahwa ketika kami menempati rumah pertama kami, rumah mungil itu, kami tak segera memiliki gorden. Dana yang kami miliki habis untuk membayar uang muka rumah dan kami tak dengan segera bisa membeli gorden. Akibatnya, ha ha, untuk beberapa saat jendela- jendela rumah kami, terutama yang menghadap ke jalan, kami tutupi saja dengan kertas koran.

Kubayangkan bahwa saat kami membangun rumah kedua, pasal jendela yang ditutup kertas koran tersebut tak akan terjadi lagi.

Salah besar.

Sebab saat rumah kedua kami selesai dibangun, tabungan kami nyaris kosong. Sama sekali tak tersisa dana untuk membeli gorden.

Jadi…

Untuk kedua kalinya kami tinggal di rumah dimana kaca- kaca jendelanya selama beberapa bulan ditutupi kertas koran sebagai pengganti gorden…




p.s. i love you...

picture taken from: The Small Garden Handbook, Abbeydale Press


( bersambung lagi... )

2 comments:

sigitarinto said...

menarik sekali... lanjutkan ya cerita membangun rumahnya :)

ha ha... bikin rumah itu memang banyak cerita pernak-pernik yang unik :D d.~

hes said...

.. yeah someday oneday the dreams that i dare to dream really do come true ;)

Post a Comment