Etika Sebuah Iklan

Di ujung hari saat gelap memeluk malam.

DEE berbaring tenang di tempat tidur dalam pelukan suaminya.

Saat- saat seperti ini selalu menyenangkan. Ini adalah waktu milik mereka berdua dimana kadang mereka hanya saling menikmati kehadiran satu sama lain tanpa bicara. Di lain waktu, mereka mengobrol sampai salah satu tak lagi dapat menahan kantuk dan terlelap...

***



“ ‘yang.. “ terdengar suara Dee.

“ Mmm, “ jawab Kuti.

“ Kutemukan tadi pasal yang kucari, “ kata Dee lagi.

Oh, pikir Kuti. Dee pasti sedang membicarakan tentang kode etik periklanan yang tadi dibacanya.

ad-ethics



“ Tentang iklan kemarin itu? “ tanya Kuti. “

Dee mengangguk. " Ya. "

“ Jadi ternyata etis atau tidak jika bintang iklan menyinggung tentang produk kompetitor yang sebelumnya dia iklankan sebelumnya ? " kata Kuti pada Dee.

" Sebelum sampai kesitu, sebetulnya ada pertanyaan lain dulu yang harus dijawab, yang... “ ujar Dee pada suaminya.



“ Dan pertanyaan apakah itu? “ ujar sang suami.

“ Itu lho… sebetulnya dalam Etika Pariwara Indonesia ada pasal yang menyebutkan bahwa iklan tidak boleh menggunakan anak- anak sebagai penganjur produk yang bukan untuk anak- anak. “

“ Oh, begitu ya? “ komentar Kuti yang dengan segera dapat menangkap arah pembicaraan, “ Maksudmu, ada kemungkinan bukan hanya iklan Sule yang baru itu yang melanggar etika, tapi iklan sebelumnyapun juga melakukan pelanggaran, sebab pada iklan tersebut ada anak- anak yang digunakan sebagai penganjur produk yang bukan untuk anak- anak?”

Dee mengangguk. “ Kapan- kapan kalau kebetulan ketemu dengan teman yang praktisi periklanan, kita bisa tanyakan itu. Tapi bisa jadi bahkan iklan yang pertama itupun melanggar etika sebab produk yang diiklankan dalam iklan tersebut jelas pangsa pasarnya bukan kanak- kanak, kan? Apalagi kanak- kanak usia balita… “

Hmmm, Kuti terdiam.

“ Menurut aku, “ terdengar lagi suara Dee, “ Ini menunjukkan bahwa perlu dilakukan perbaikan dalam fungsi pengawasan dan kontrol. Sebagus apapun kode etik atau aturan yang ada, jika pelaksanaanya tidak dibarengi dengan pengawasan yang baik, maka kode etik tersebut akan sia- sia. Jika saja lembaga yang seharusnya mengamati iklan menjalankan fungsi tersebut seperti seharusnya, pasti ada banyak iklan yang harus direvisi. “

Kuti mengangguk, menyepakati apa yang dikatakan istrinya. Setelah itu dia melontarkan pertanyaan lagi pada Dee, " Ada tidak 'yang, aturan mengenai iklan- iklan untuk produk yang saling berkompetisi, termasuk aturan mengenai bintang iklannya? Apakah kasus seperti Sule yang sebelumnya menjadi bintang iklan untuk suatu produk lalu menyeberang langsung untuk mengiklankan produk kompetitor memang diijinkan? "

“ Tentang bintang iklan yang menyeberang untuk mengiklankan produk kompetitor, aku tidak bisa menemukan aturan yang melarangnya,"  kata Dee.

" Hanya saja setahuku," kata Dee lagi, " Ada aturan yang berlaku pada pegawai biro iklan bahwa jika mereka pindah dari sebuah biro iklan ke biro iklan yang lain, maka sebagai karyawan baru di suatu biro iklan, jika pegawai tersebut pernah menangani suatu client tertentu di tempat kerjanya yang lama, dia dilarang diperkerjakan untuk menangani client yang sama oleh perusahaan barunya sebelum berakhirnya masa tiga bulan sejak dia berhenti bekerja di perusahaan lamanya.

Tentu hal ini ada kaitannya dengan kerahasiaan data dan beragam informasi mengenai konsumen yang dimiliki pegawai tersebut di kantor lamanya dulu. "

“ Kalau begitu, " kata Kuti " Jika digunakan pertimbangan serupa untuk bintang iklan, logikanya bintang iklanpun seharusnya tidak bisa begitu saja melompat dari satu produk ke produk yang sama yang merupakan kompetitor tanpa jeda waktu yang memadai diantara keduanya dong ya?  "

Dee mengangguk, lalu berkata, " Iya sih. Sehubungan dengan kejadian dimana Sule mengomentari produk yang sebelumnya dia iklankan itu, dalam kode etik periklanan sebetulnya ada disebutkan mengenai tindakan yang istilahnya adalah subvertensi, atau subvertising. Dan dengan jelas kode etik melarang dilakukannya subvertensi ini.

Definisi dari subvertensi adalah praktek periklanan dengan menyabot pesan iklan pesaing. Dengan mendindih pesan lama dgn pesan baru – pada ruang atau waktu yang sama – yg merupakan pelesetan, parodi ataupun tipuan dari pesan- pesan periklanan asli atau pengiklan asli, sedemikian rupa, sehingga menampilkan makna yg sebaliknya, mencemooh atau merendahkan pesaing tersebut. “ 



“ Dan menurutmu apa yang dilakukan Sule itu sudah bisa digolongkan sebagai subvertensi ? “ tanya Kuti.

Dee mengembalikan pertanyaan itu pada Kuti, “ Memangnya menurutmu tidak? “

Kuti berpikir sejenak lalu sesaat kemudian dia berkata, “ Menurut pendapatku… “

Belum juga lengkap kalimatnya, Kuti berhenti bicara sebab dia melihat bahwa  mata istrinya telah terpejam sementara adanya turun naik dengan irama yang teratur.

Dee telah tertidur, rupanya.

Kuti tersenyum lalu mempererat pelukannya pada sang istri. Besok sajalah diskusi tentang etika periklanan ini diteruskan, pikirnya. Dia lalu juga memejamkan matanya dan dengan segera terlelap...

p.s. i love you

picture taken from: http://www.walsworthyearbooks.com/

3 comments:

Hasby Ash Shiddiq said...

like this banget mba d~ dan mas kuti... :)
saya tunggu lanjutan kode etik-nya ya...terima kasih sebelumnya,... :)

Codet said...

Wilayah etika sangat luas, dan kita tahu ada batasnya meski kabur (jika ogah bilang 'tak kelihatan') sebab kita berada di tengah wilayah itu (seperti halnya garis pantai ketika kita lagi di tengah laut, ada tp yg kelihatan kaki langit semua). Sayangnya, sebagian orang menarik keuntungan dari kekaburan itu.

Srex said...

Kalo suatu kesalahan ditimpa kesalah yg lain..wah..,udah ngak bener itu ya..? Tapimasalahnya masyarakat kita (mungkin) mayoritas nggak menyadarinya, jadi dianggap merupakan iklan yg lucu, yg nyeni, yg nakal...dan tentunya jadi menarik. Sasaran terpeuhi, Goal nya dapet...fulus masuk deh...Itulah kalo soal ekonomi berbenturan dengan etika...tiada pelanggaran selama menghsilkan duit...parah.

Post a Comment