Dampak Iklan pada Kanak- kanak

Burung- burung bercericit menyapa mentari…

DEE dan Pradipta ada di dapur rumahkayu. Si kecil Pradipta yang kini membahasakan diri dengan nama “ Kakak Dipta “ semenjak kelahiran kedua adik kembarnya menderetkan beberapa cetakan agar- agar mungil beragam bentuk, sementara Dee mengaduk adonan agar- agar dengan susu kedelai sebagai bahan utamanya di atas kompor.

Tak lama kemudian adonan agar- agar itu telah siap untuk dicetak. Dee membiarkan Pradipta melakukan hal tersebut, memasukkan adonan agar- agar ke dalam cetakan- cetakan berbentuk mobil, beruang, strawberry dan bermacam bentuk lucu lain.

“ Hati- hati Dipta, panas… “ Dee mengingatkan anaknya.

Pradipta mengangguk. Tentu saja dia tahu bahwa adonan itu panas. Ini bukan pertama kalinya dia membantu Dee mencetak adonan agar- agar dan peringatan “ hati- hati, panas “ semacam itu tak pernah absen hadir dalam setiap kesempatan serupa (dan tampaknya belum akan pula hilang dalam waktu dekat).

Dee terus memperhatikan Pradipta mencetak adonan agar- agar yang baru saja dibuatnya di cetakan beragam bentuk itu. Seperti semua ibu di dunia, dia selalu mencari cara agar anaknya mengkonsumsi makanan sehat. Memasukkan susu kedelai, kacang merah atau labu kuning ke dalam adonan agar- agar serta menyediakan beragam cetakan menarik merupakan salah satu caranya.

children-advertising



Dan mengamati cetakan berbentuk lucu itu mengingatkan Dee kembali pada percakapannya dengan Kuti tentang pengaruh iklan pada anak- anak.

Beberapa saat terakhir ini Dee dan Kuti memang sedang mempercakapkan tentang standar etika sebuah iklan.

Selain etika umum, mereka juga memperbincangkan tentang bagaimana anak- anak sekarang sudah menjadi sasaran iklan. Banyak orang tua membeli merk- merk tertentu ( sirup merk anu, kue yang itu, dan sebagainya... ) berdasarkan permintaan anaknya yang mengenal merk tersebut dari iklan.

Langsung atau tidak langsung, hal tersebut sebetulnya merupakan bentuk ‘eksploitasi’ pada anak- anak. Anak- anak yang belum dapat mempertimbangkan sesuatu dari beragam sudut, didorong untuk menjadi pengambil keputusan dalam konsumsi rumah tangga.

***



“ Aku jadi ingat tentang adanya pelarangan menjual paket fast food dalam satu paket dengan mainan anak- anak, Dee, “ kata Kuti saat mempercakapkan soal iklan yang ditujukan pada anak- anak dengan istrinya.

Dee mengangguk. Dia juga pernah mendengar bahwa suatu negara bagian di sebuah negara besar mengeluarkan pelarangan tersebut. Alasan utamanya adalah mengurangi trend untuk mengkonsumsi makanan tidak sehat.

Anak- anak kini lebih memilih untuk membeli paket makanan berhadiah mainan itu daripada mengkonsumsi makanan sehat yang dalam jangka panjang dikuatirkan akan berujung pada masalah kesehatan.

Ada banyak pro dan kontra mengenai pelarangan tersebut. Sebagian yang tak mendukung mengatakan bahwa mainan itu sebetulnya bukan masalah utama, sebab anak- anak memang menyukai rasa makanan yang dijual itu. Sebagian lain yang setuju mengatakan bahwa bagaimanapun, daya tarik mainan yang dijual dalam satu paket dengan makanan siap saji itu sangat kuat. Apalagi biasanya karakter yang disertakan dalam paket mainan tersebut adalah karakter yang sedang populer dan dikenal anak- anak melalui film dan (lagi- lagi) televisi.

Dee cenderung setuju bahwa bagaimanapun, hadiah mainan dalam paket itu tetap berperan besar dalam meningkatnya penjualan (jika tidak tentu hal tersebut tak akan terus dilakukan selama bertahun-tahun, bukan?). Dampak negatif promosi semacam ini sendiri tak selalu baru muncul dalam jangka panjang sebab ternyata pernah ada insiden sehubungan dengan hal ini.

" Beberapa tahun yang lalu di negara tetangga kita pernah terjadi ada banyak orang yang harus dilarikan ke ruang gawat darurat di Rumah Sakit karena urusan mainan yang dijual dalam satu paket dengan makanan ini, kan...“ kata Dee.

“ Oh, ya? “ Kuti tak ingat peristiwa itu.

Dee mengangguk.

“ Iya. Saat itu salah satu restoran cepat saji menjual makanannya dalam satu paket dengan  sebuah boneka yang didandani dengan beragam bentuk pakaian. Konsumen beramai- ramai menyerbu restoran tersebut untuk mendapatkan seluruh koleksi boneka dalam jenis pakaian yang berbeda. Mereka bahkan rela mengantri berjam- jam sejak dinihari di hari pertama saat boneka dengan koleksi baju jenis baru diluncurkan. Akibatnya… bisa diduga. Sebab berdesakan, beberapa orang jatuh terdorong. Ada juga kaca- kaca yang pecah dan melukai banyak orang hingga cedera… “

“ Oh... separah itukah? “ tanya Kuti.

Dee mengangguk. “ Ya. “

“ Dan yang cedera itu kanak- kanak? “ tanya suaminya.dengan sangat prihatin.

Dee mengingat- ingat. “ Mmm… seingatku memang bukan. Seingatku yang cedera orang dewasa. Tapi kita tak pernah tahu kan, sebetulnya mereka mengantri untuk siapa? Apakah untuk dirinya sendiri atau untuk anak- anaknya? “

Kuti mengangguk.

“ Aku pernah baca, “ kata Dee lagi, “ Dampak iklan pada anak- anak sama sekali tak dapat diabaikan. Hal ini memicu pola hidup konsumtif, bahkan pada anak- anak di bawah usia 12 tahun. Efeknya membesar saat mereka memasuki usia remaja. Ini belum termasuk konsumsi rumah tangga yang dilakukan orang tua sebab dipengaruhi oleh keinginan anak- anak tadi itu. Secara kumulatif jumlahnya pasti sangat besar. “

Kuti mengangguk.

“ Dan sebetulnya masalah terbesarnya bukan menyangkut uang semata, “ kata Dee ketika itu, “ Tapi pada pola pikir dan perilaku. “

Hmmmm. Kuti mengerti.

Iklan bisa mempengaruhi pikiran anak- anak dengan membentuk suatu ‘standar’ pola hidup dimana ketika standar tersebut tak dapat terpenuhi, anak- anak menjadi minder, merasa tak berguna, tersisih dari pergaulan dan tak bahagia.

Dalam jangka panjang, hal ini akan membuat orang menjadi sangat terfokus pada kesejahteraan materi agar dia (dan / atau keluarganya ) dapat mengkonsumsi barang- barang yang diinginkan dengan leluasa serta selalu mengikuti trend yang berlaku.

Dan hal ini tentu bukan tak memiliki efek samping.

Tujuan yang terfokus pada materi memicu tingkat stress yang tinggi serta dapat merubah perilaku seseorang.  Bisa juga terjadi pengabaian terhadap norma dan nilai hidup demi mencapai tujuan tersebut. Selain itu, perilaku ini pada akhirnya juga akan mempengaruhi pola hubungannya dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya.

Jadi, dampak iklan memang tak bisa diabaikan. Karenanya, etika dalam beriklan juga harus senantiasa diperhatikan agar dampak negatif dapat dieliminir.

***



“ Bunda, ini sudah selesai semua… “ terdengar suara Pradipta.

Dee melihat semua cetakan sudah penuh dengan adonan agar- agar yang tadi dibuatnya.

Dia mengangguk.

“ Biar agak dingin dulu, baru nanti dimasukkan ke dalam kulkas, Dipta, “ kata Dee pada anaknya.

Pradipta mengangguk, mencuci tangannya dan secepat kilat menghambur ke halaman untuk bermain. Agar- agar yang dibuatnya bersama bunda tentu akan sangat enak dimakan seusai bermain nanti…

p.s. i love you

picture taken from: http://www.aef.com/

7 comments:

fandhie said...

wuih ribet sih klo berharap dari etika beriklan, secara anak2 emang udah jadi target market si pengiklan tanpa peduli kalo iklan2 mereka bisa saja mem-brainwash atau membentuk persepsi2 yg sempit apa itu sehat? apa itu pintar? apa itu hebat? Klo gw sih melihat, sama seperti media, iklan2 komersil juga menjadi salah satu tantangan orang tua modern utk lbh peduli dan mampu mengontrol perkembagan moral dan mental anak2 biar ga bias oleh tontonan mereka... *wuihhh dah lama gw kagak mampirrr* hehehehe

meiy said...

sebelum baca liat gbrnya aku ngakak bedua nay...lucu bgt.

iklan mmg banyak yg jelek, bagaimana sih pengontrolannya dlm negara? aku salut rk mau menelusuri referensi utk etika iklan ini. aku sendiri mempraktekkan pendampingan/informasi pd anak utk setiap iklan yg merayu, efek buruk dsb, teurtama yg dikhawatirkan mempengaruhi perilaku. konsumptif, matre, egois, dsb..

bagi aku kuncinya adalah penegakan hukum, itu yg tak jelas di negara kita.

akhirnya bisa komen langsung di blog. cape bgt mau usaha komen dr hp, gagal berkali2 :D

sweety said...

Kayaknya eksploitasi anak gak cuma di iklan makanan/minuman/susu dll ya mbak...Kasihan yg ortu nya gak mampu ato miskin, tapi mungkin anak2nya jadi terhindar dari efek samping produk yg dijual. Enaknyaa...punya' anak....*hikz..

rice2gold said...

iklan, film, sinetron, ajang pencari bakat, pada umumnya membawa dampak jangka pendek dan jangka panjang.
Bahkan lebih berbahaya melebihi bahayanya "konsumtif" yang melanda anak anak dan merepotkan orang tua, bila kita memperhatikan film-film kartun yang menyelipkan ajaran-ajaran yang bisa merusak aqidah anak-anak tanpa kita sadari.

gakkuliahgakkiamat said...

duh iya anak-2 saya banyak kemakan iklan :(

melly said...

ini karna iklan sule itu yah mba? hehe
kapok diboongin anak kecil..hihi

abenk said...

mantap postingannya gan....
salam kenal ya........
check it out.. KUNJUNGI JUGA INI YA BLOG SAYA

Post a Comment