( Mimpi Tentang ) Rumah di Kaki Gunung

Mimpi- mimpi setinggi gunung itu…

PADA suatu hari kucoba untuk kuraih.

Keinginan untuk tinggal di salah satu tempat yang termasuk ke dalam rentang impianku selama bertahun- tahun, satu saat coba kuwujudkan.

Ketika ada tabungan terkumpul, kukatakan pada suamiku bahwa aku ingin membeli tanah di lokasi tertentu.

Suamiku tertawa. “ Trus mau ngapain di tempat itu? “ katanya.

“ Ya tinggal disana. Nantiiiii… “ jawabku.

Lokasi yang kusebutkan adalah sebuah tempat sepi yang sejuk dan indah. Tempat dimana gunung- gunung yang menjulang akan menyapa pandang setiap saat.

Kubayangkan bahwa kami memiliki sebuah rumah kayu dengan halaman luas yang akan kutanami bunga berwarna- warni.

rumah impian





Suamiku yang pragmatis tak setuju. Katanya, walau yang kubayangkan adalah “nantiiii’ dalam jangka panjang, tapi ketika “nantiiii” itu tiba,  kemungkinan besar infrastruktur di tempat tersebut tak akan menunjang untuk kehidupan dengan aktivitas  yang biasa kami jalani.

Oh begitu ya.

Walau sabar dan tenang, suamiku memang bukan orang yang suka bermalas- malasan. Baginya, orang hidup itu harus produktif dan ada yang dikerjakan. Dan mungkin tempat semacam itu tak sesuai dengan rencana- rencananya.

Mmmmm…

Tentu saja aku tak mau tinggal di tempat dimana suamiku tak ingin tinggal, secantik apapun tempat itu.

Jadiiii…

Kurevisi sedikit mimpiku.

Kugeser tempat impian itu ke tempat lain. Ke tepi sebuah kota besar terdekat dari situ. Tempat di ketinggian yang masih lebih ‘masuk akal’ bagi suamiku terkasih, dan dapat pula masuk ke ruang khayalku, ha ha ha…

Tempat itu indah. Gunung tinggi menjulang tampak jelas dari area di sekitarnya. Dan…

Ada pula sungai mengalir di belakang lahan yang kemudian kami beli itu.

***



Tempat tersebut, letaknya lebih dari 500 KM dari rumah yang kami tinggali saat ini.

Karenanya, tak seperti saat kami membeli kavling yang berdekatan dengan rumah mungil kami dulu, tidak setiap akhir minggu kami dapat mengunjungi lahan tersebut.

Tapi mimpiku tak pernah padam.

Setiap ada kesempatan, kami mampir dan mulai menanami tempat itu dengan beragam pepohonan. Bungur. Jacaranda. Nagasari. Beragam pohon buah. Dan pohon willow yang aku tanam di ujung belakang lahan, di dekat sungai.

Kuajak adikku yang arsitek ke tempat itu. Kutunjukkan dengan gembira selokan berair bening di depan lahan itu, kutunjukkan aliran sungai di belakangnya dan kutanyakan padanya: nanti bisa bikin kincir air nggak di sini?

Adikku berkata: bisa. Aliran air sungai kecil itu cukup kuat untuk memutar kincir.

Aku terlonjak girang.

Kubayangkan beragam teratai warna- warni yang akan kutanam di sekitar situ. Kelak, saat mimpi membangun rumah kayu itu tercapai…

***



Anak- anakku dengan segera mengamati bahwa kami berulang kali mampir ke tempat yang sama dan langsung tahu siapa pemilik ide yang melibatkan jarak lebih dari 500 KM dari rumah tersebut.

“ Ibu nanti mau bikin rumah di situ? “ tanya anakku dengan heran.

“ Iya, “ jawabku senang. “ Asyik kan? “

Mereka menatapku dengan tatap mata yang sama sekali tak berbunyi "asyik".

“ Terus ibu mau tinggal di situ? “

“ Kenapa nggak? “ jawabku. “ Nanti… masih lamaaaa… “ kulanjutkan kalimatku melihat pandangan skeptis mereka.

“ Ibu nanti punya kulkas nggak, disitu? “ anakku yang tengah bertanya.

“ Bisa, “ jawabku, “ Nanti kita beli kulkas.”

Dia mengangguk puas dan berkata, “ Kalau gitu, nanti aku mau deh berkunjung ke rumah Ibu.”

Eh, berkunjung? Koq... berkunjung?

“ Ya berkunjung, Ibu… Aku kan nggak mau tinggal di situ. Jadi nanti sekali- sekali aja aku datang. “

“ Aku juga nggak mau, “ kakaknya menyahut segera.

Waduh.

Ha ha ha.

Aku melupakan satu hal.

Bagi anak- anakku, kota tersebut adalah sebuah ‘tempat asing’. Sekolah, kawan- kawan, saudara dan kerabat tak ada di sana. Tempat dimana mereka sehari- hari beredar dan bergaul juga bukan disana.

Tapi tak apa. Sebab aku toh tak berniat tinggal disana dalam jangka pendek.

Itu nanti. Nantiiiii.

Entah kapan.

Dan gurauan di rumah kami bertambah semacam lagi.

Yaitu gurauan tentang “rumah ibu”, begitu anak- anakku menyebut khayalanku tentang rumah yang ingin kubangun beratus kilometer jaraknya dari rumah kami sekarang itu...

***



Suatu hari, ketika kami sekeluarga sedang menonton televisi, ada iklan muncul di layar.

Rupanya iklan untuk meramal nasib.

“ Ketik REG spasi xxxx kirim ke xxxx “ begitu bunyi iklan tersebut. Disusul dengan teks nama sang peramal beserta alamat dan nomor teleponnya.

Salah seorang anakku tertawa geli.

“ Lihat itu alamatnya, “ katanya. Kami yang lain segera membaca tulisan di layar.

Suara tawa kecil mulai bermunculan, “ Itu tetangga ibu, ya… hi hi hi… “ anakku yang lain berkata.

Alamat yang tertulis di layar TV itu memang menunjukkan lokasi yang tak jauh dari lahan yang kuniatkan untuk mendirikan rumah kayu itu.

" Ibu tetangganya aja aneh- aneh, " anakku cekikikan.

“ Enak aja, tetangga ibu, “ protesku, “ Tetangga kita. Kalau rumah itu nanti jadi ada, rumah itu rumah kita… “

“ Bukan, ibu, “ anakku bersikeras, “ Itu rumah ibu. Aku nggak mau tinggal disana…”

Ih, menggemaskan betul anak- anak kecil ini. Apalagi setelah salah satu dari mereka mengatakan tak mau tinggal di sana, saudara- saudaranya dengan segera menegaskan, “ Aku juga nggak mau… aku juga nggak mau… “

Komentar nakal mereka itu kujawab dengan manis, “ Ya sudah, kalau pada nggak mau tinggal disana, nanti Ibu tinggal berdua dengan Bapak saja deh di rumah itu… “

Wah. Perebutan kekuasaan dimulai.

Anak- anakku sangat mencintai ayahnya. Dan pemikiran bahwa sang ayah akan dengan semena- mena diajak tinggal oleh ibu di tempat yang tak dikehendaki dengan serta merta meracuni pikiran mereka.

Ayah mereka, suamiku, juga ada bersama kami saat itu di ruang yang sama, tersenyum- senyum melihat perdebatan kami.

Salah seorang anakku dengan nada setengah khawatir bertanya padanya, “ Bapak… memangnya Bapak mau ya, tinggal di sana nanti? “

Suamiku tertawa, menghindari pandanganku lalu menjawab pertanyaan anaknya, “ Mmm... Bapak... di sini aja deh. Di rumah kita yang ini. “

Anak- anakku tertawa lega.

Aduh,  aku 'geram' betul melihat konspirasi Bapak dan anak itu.

Tapi, apa yang bisa kulakukan?

Bagiku, merekalah cahaya dan jiwa rumah kami. Tak ada tempat seindah apapun, tak ada rumah senyaman apapun yang akan terasa indah, nyaman dan hangat tanpa mereka.

Jadiiii…

Di bawah tatapan kemenangan mereka semua, aku terpaksa menyerah. “ Ya sudahlah, “ kataku, “ Kalau semua maunya tinggal di sini, Ibu tinggal di sini juga sajalah… “

Apa boleh buat. Ha ha ha…

p.s. i love you…


*bagian ke-4 dari serangkaian tulisan*


picture taken from: www.norrismountain.com

3 comments:

meiy said...

Gilaaa...kereeen, kdg serasa membaca diriku sendiri suer. Dasar satu guru hehe. Aku dah baca smua ttg rumah, tp krn susah komen cuma kmn yg ini.
Ah d, kalau km pernah baca tulisanku ttg rumah impian d blog, ada kemiripan. Ak anak gunung, men...cintai gunung. Tp separuh hdpku jg kujalani dkt laut. Ak jg suka laut. Impian pertama rmh d pantai, hanyut brsama tsunami. Impian rmh d pinggang gunung, d kotaku u nanti msh lamaa, sdh jg kudiskusikan. My love deal sebab km sehobi, tanaman, bunga2, kolam, danau d kejauhan tp dlm jangkauan. Anak2 tak menolak, tp jg tak bgt antusias. Kt uqan gak mau rumah gadang (rmh minang). Aku blg nanti kalian sdh besar. Saat ini km msh menjalani kembara hdp dmanapn, asal ada ridha Tuhan. Aku membygkn tggl d rmk atas bukit, dkt komplek yg dbgn jacky chen huaa curcol :d

( copied from rumahkayu's fb )

dyFlower said...

Walaupun udah denger cerita ini versi verbal-nya, tapi tetep ga bosen untuk ngakak pas baca bagian "hanya berkunjung".
Dibikin Villa aja, mbak.. Biar aku bisa ngerasain juga nginep di rumah kayu nantiiiiii :)

ha ha ha... ya deh ar.. nantiiiiii kalo bener terwujud, datang dan nginep beneran ya... :P d.~

Srex said...

Aku sudah hampir 17 tahun, mengalami rasa tinggal di desa yang beradadi kaki gunung dengan ketinggian sekitar 1200 m/dpl. dengan suu harian antara 10-17 C. Udara dingin dengan air yg masih murni, bukan air olahan atau kemasan. dan kuraakan benar2 membuat lebih awet muda dan panjang umur...hehe...
Buat anak2 yg sejak lahir tnggal di kota besar, jelas merupakan tantangan berat untuk tinggal ditempat itu. Tapi kalau hanya sebagai tempat istirahat/villa..ahh...alangkah menyenangkannya.....

senang ya... bener2 bisa 'ngisi baterai' banget kalo tinggal di tempat semacam ini, nggak sumpek :-)

btw, 17 tahun? jadi, tegar lahir di sinikah? d.~

Post a Comment