* Tulisan ini dibuat oleh blogger tamu: Sikkharini C, 15 tahun
Sebenarnya, bukanlah sebuah hal yang sulit dilakukan untuk merealisasikan terjadinya perubahan yang damai dalam masyarakat. Penyelenggaraan praktik demokrasi secara langsung menuntut anggota komunitas negara tersebut untuk memahami—juga melaksanakan dan meminta—hak dan kewajiban masing-masing. Kesadaran mengenai hak dan kewajiban ini harus dipupuk sedemikian rupa untuk mengurangi hal yang tidak diinginkan.
Hak dan kewajiban manusia sudah ada sejak manusia tersebut dilahirkan. Sebuah hal alami, namun tak banyak orang yang benar-benar memahami milik masing-masing.
Dengan banyaknya perbedaan, apa yang harus kita lakukan adalah mencoba menyeimbangkan perbedaan yang ada, memberi pengertian dan tetap menghormati.
Menghormati. Suatu kata yang terdengar sangat akrab di telinga kita. Di Taman Kanak-kanak pun murid-murid sudah diajari untuk menghormati orang lain. Tapi sebenarnya, apakah menghormati itu? Menghormati bukanlah sekedar tidak memandang rendah orang lain, namun lebih dari itu. Dari suatu sikap menghormati, akan terbentuk karakter-karakter positif lainnya, karena dengan menghormati berarti kita tidak akan melakukan hal-hal buruk terhadap seseorang—atau sesuatu—itu.
Jadi sebenarnya, apakah salah satu hal dasar dari penyebab banyaknya hal tidak diinginkan terjadi di tengah masyarakat Indonesia? Ya, kurangnya kesadaran untuk menghormati.
Mental bangsa Indonesia saat ini dapat dikatakan bobrok. Tak usah repot-repot mencari contoh kebobrokan itu di media informasi. Keluarlah dari rumah, dan jangan kaget apabila menemukan banyak kasus. Ambil saja contoh pelayanan di tempat umum. Walaupun papan bertuliskan ‘Harap Mengantre’ sudah terpasang, tetap saja ada yang tidak sabar dan menyerobot, memaksa mendesak dirinya sendiri ke depan. Entah pura-pura tidak tahu aturan, pura-pura tidak dapat membaca atau memang tidak dapat melakukan keduanya.
Sebuah hal kecil, namun hal tersebut termasuk perbuatan tidak menghormati orang lain. Sungguh sebenarnya menghormati tidaklah sesederhana dan sedangkal yang selama ini banyak orang pikirkan.
Biasanya, hal yang menjadi landasan ketidaksukaan adalah ketidaktahuan. Tepat seperti itu pulalah yang sering terjadi dalam kehidupan. Juga dalam proses perubahan. Perubahan yang terlalu cepat dan tiba-tiba—juga tanpa pemberian pemahaman—akan menimbulkan rasa tidak nyaman karena tidak terbiasa pada pihak lain. Adalah kewajiban bagi sang pelopor perubahan untuk mensosialisasikan apa yang terjadi pada khalayak umum.
Kesalahan informasi yang diterima akibat tidak adanya penjelasan dari pihak terkait baru saja terjadi beberapa minggu yang lalu. Keputusan pemerintah untuk menutup akses jalan tol bagi truk besar di siang hari menimbulkan banyak protes—terutama dari pihak pemilik truk. Protes yang dilayangkan umumnya mengenai tambahan pengeluaran perusahaan untuk membayar tarif jalan tol yang memutar maupun uang lembur bagi pengemudi truk yang harus bekerja di malam hari.
Tapi ternyata, tidak hanya hal tersebut yang disesalkan. Menurut salah satu perusahaan yang biasa menggunakan akses jalan tol, peraturan pemerintah tersebut dinilai terlalu dini untuk dilaksanakan, karena informasi yang diberikan oleh pemerintah terlalu sedikit dan kebanyakan perusahaan bahkan tidak menerima informasi tersebut sama sekali. Jika saja pemerintah lebih menggalakkan pemberian keterangan tersebut, pihak perusahaan dapat menghitung ulang anggaran biaya perusahaan juga harga yang harus dibayarkan oleh konsumen—yang lama persiapan perhitungannya mencapai satu bulan—agar tidak terjadi kekacauan internal perusahaan.
Apa yang terjadi di tengah masyarakat saat ini membuat banyak pihak gerah. Bagaimana mungkin bangsa Indonesia yang disatukan oleh perbedaan, mengatasnamakan hal tersebut untuk kepentingan golongan masing-masing. Tapi, tidak ada yang salah maupun benar dalam situasi seperti ini. Sebuah kehidupan tak sesederhana tulisan ‘bersalah’ oleh tinta hitam diatas sebuah kertas putih. Kehidupan saling terkait antara satu dan lainnya, karena kita hidup dalam sebuah kehidupan bersama, sebuah kehidupan bangsa. Tak ada bangsa milik satu orang saja. Sebuah bangsa adalah hak milik bersama. Baik buruknya suatu bangsa, bagaimana bangsa itu mengembangkan dirinya sendiri dan seperti apa bangsa itu akan menjadi di masa depan, itu semua tergantung dari seluruh komponennya.
p.s: Sikkharini C, 15 tahun, kelas 2 SMA, menyertakan tulisan ini dalam lomba essay antar murid SMA se-Jabodetabek yang diselenggarakan oleh Bapenas dan mendapatkan penghargaan sebagai juara ke-3 dalam lomba tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Djalal, Dr. Dino Patti. 2008. Harus Bisa!: Seni Memimpin a la SBY. Jakarta: Red&White Publishing
http://id.wikipedia.org/wiki/Afrika_Selatan#Apartheid
http://masadmasrur.blog.co.uk/2007/08/25/spiritualitas_pluralisme_dan_demokrasi~2866860/
http://pendkewarganegaraansmpnasima.blogspot.com/2009/02/demokrasi.html
http://www.docstoc.com/docs/15327008/DEMOKRASI-DAN-PERANAN-NEGARA
http://www.dw-world.de/dw/article/0,,5236885,00.html
http://yanel.wetpaint.com/page/Demokrasi
McKeever, Susan, dkk. 2002. The Dorling Kindersley Science Encyclopedia. London: Dorling Kindersley Limited
** gambar diambil dari: pondererscorner.wordpress.com **