Perdamaian Sebagai Wujud Demokrasi (2)


* Tulisan ini dibuat oleh blogger tamu: Sikkharini C, 15 tahun






Sebenarnya, bukanlah sebuah hal yang sulit dilakukan untuk merealisasikan terjadinya perubahan yang damai dalam masyarakat. Penyelenggaraan praktik demokrasi secara langsung menuntut anggota komunitas negara tersebut untuk memahami—juga melaksanakan dan meminta—hak dan kewajiban masing-masing. Kesadaran mengenai hak dan kewajiban ini harus dipupuk sedemikian rupa untuk mengurangi hal yang tidak diinginkan.


Hak dan kewajiban manusia sudah ada sejak manusia tersebut dilahirkan. Sebuah hal alami, namun tak banyak orang yang benar-benar memahami milik masing-masing.


Dengan banyaknya perbedaan, apa yang harus kita lakukan adalah mencoba menyeimbangkan perbedaan yang ada, memberi pengertian dan tetap menghormati.


Menghormati. Suatu kata yang terdengar sangat akrab di telinga kita. Di Taman Kanak-kanak pun murid-murid sudah diajari untuk menghormati orang lain. Tapi sebenarnya, apakah menghormati itu? Menghormati bukanlah sekedar tidak memandang rendah orang lain, namun lebih dari itu. Dari suatu sikap menghormati, akan terbentuk karakter-karakter positif lainnya, karena dengan menghormati berarti kita tidak akan melakukan hal-hal buruk terhadap seseorang—atau sesuatu—itu.


Jadi sebenarnya, apakah salah satu hal dasar dari penyebab banyaknya hal tidak diinginkan terjadi di tengah masyarakat Indonesia? Ya, kurangnya kesadaran untuk menghormati.


Mental bangsa Indonesia saat ini dapat dikatakan bobrok. Tak usah repot-repot mencari contoh kebobrokan itu di media informasi. Keluarlah dari rumah, dan jangan kaget apabila menemukan banyak kasus. Ambil saja contoh pelayanan di tempat umum. Walaupun papan bertuliskan ‘Harap Mengantre’ sudah terpasang, tetap saja ada yang tidak sabar dan menyerobot, memaksa mendesak dirinya sendiri ke depan. Entah pura-pura tidak tahu aturan, pura-pura tidak dapat membaca atau memang tidak dapat melakukan keduanya.


Sebuah hal kecil, namun hal tersebut termasuk perbuatan tidak menghormati orang lain. Sungguh sebenarnya menghormati tidaklah sesederhana dan sedangkal yang selama ini banyak orang pikirkan.


peace2


Biasanya, hal yang menjadi landasan ketidaksukaan adalah ketidaktahuan. Tepat seperti itu pulalah yang sering terjadi dalam kehidupan. Juga dalam proses perubahan. Perubahan yang terlalu cepat dan tiba-tiba—juga tanpa pemberian pemahaman—akan menimbulkan rasa tidak nyaman karena tidak terbiasa pada pihak lain. Adalah kewajiban bagi sang pelopor perubahan untuk mensosialisasikan apa yang terjadi pada khalayak umum.


Kesalahan informasi yang diterima akibat tidak adanya penjelasan dari pihak terkait baru saja terjadi beberapa minggu yang lalu. Keputusan pemerintah untuk menutup akses jalan tol bagi truk besar di siang hari menimbulkan banyak protes—terutama dari pihak pemilik truk. Protes yang dilayangkan umumnya mengenai tambahan pengeluaran perusahaan untuk membayar tarif jalan tol yang memutar maupun uang lembur bagi pengemudi truk yang harus bekerja di malam hari.


Tapi ternyata, tidak hanya hal tersebut yang disesalkan. Menurut salah satu perusahaan yang biasa menggunakan akses jalan tol, peraturan pemerintah tersebut dinilai terlalu dini untuk dilaksanakan, karena informasi yang diberikan oleh pemerintah terlalu sedikit dan kebanyakan perusahaan bahkan tidak menerima informasi tersebut sama sekali. Jika saja pemerintah lebih menggalakkan pemberian keterangan tersebut, pihak perusahaan dapat menghitung ulang anggaran biaya perusahaan juga harga yang harus dibayarkan oleh konsumen—yang lama persiapan perhitungannya mencapai satu bulan—agar tidak terjadi kekacauan internal perusahaan.


Apa yang terjadi di tengah masyarakat saat ini membuat banyak pihak gerah. Bagaimana mungkin bangsa Indonesia yang disatukan oleh perbedaan, mengatasnamakan hal tersebut untuk kepentingan golongan masing-masing. Tapi, tidak ada yang salah maupun benar dalam situasi seperti ini. Sebuah kehidupan tak sesederhana tulisan ‘bersalah’ oleh tinta hitam diatas sebuah kertas putih. Kehidupan saling terkait antara satu dan lainnya, karena kita hidup dalam sebuah kehidupan bersama, sebuah kehidupan bangsa. Tak ada bangsa milik satu orang saja. Sebuah bangsa adalah hak milik bersama. Baik buruknya suatu bangsa, bagaimana bangsa itu mengembangkan dirinya sendiri dan seperti apa bangsa itu akan menjadi di masa depan, itu semua tergantung dari seluruh komponennya.


p.s: Sikkharini C, 15 tahun, kelas 2 SMA, menyertakan tulisan ini dalam lomba essay antar murid SMA se-Jabodetabek yang diselenggarakan oleh Bapenas dan mendapatkan penghargaan sebagai juara ke-3 dalam lomba tersebut







DAFTAR PUSTAKA


Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama


Djalal, Dr. Dino Patti. 2008. Harus Bisa!: Seni Memimpin a la SBY. Jakarta: Red&White Publishing


http://id.wikipedia.org/wiki/Afrika_Selatan#Apartheid


http://masadmasrur.blog.co.uk/2007/08/25/spiritualitas_pluralisme_dan_demokrasi~2866860/


http://pendkewarganegaraansmpnasima.blogspot.com/2009/02/demokrasi.html


http://wiwi07.wordpress.com/2010/07/20/hubungan-antara-pemilu-dengan-demokrasi-dan-kedaulatan-rakyat/


http://www.docstoc.com/docs/15327008/DEMOKRASI-DAN-PERANAN-NEGARA


http://www.dw-world.de/dw/article/0,,5236885,00.html


http://yanel.wetpaint.com/page/Demokrasi


McKeever, Susan, dkk. 2002. The Dorling Kindersley Science Encyclopedia. London: Dorling Kindersley Limited









** gambar diambil dari: pondererscorner.wordpress.com **

Perdamaian Sebagai Wujud Demokrasi (1)





* Tulisan ini dibuat oleh blogger tamu: Sikkharini C, 15 tahun






Indonesia dalam mimpi adalah sebuah bangsa yang anggota-anggotanya hidup sebagai seorang manusia—berbeda satu sama lain, tak ada yang sempurna, namun saling menghormati. Tapi saat kita terbangun dan mulai membuka mata—juga mata hati—dan telinga, barulah kita sadar bahwa Indonesia saat ini tidak berada dalam keadaan seperti itu.

Hal diatas bukan hanya sebuah perumpamaan. Coba saja, saat kita bangun dari tidur dan berharap mendapatkan hari yang baik, yang kita lihat baca di koran pagi adalah sebuah berita mengenai unjuk rasa yang kebablasan. Atau malam hari sebelum tidur saat kita berharap dapat menyegarkan pikiran, yang kita lihat adalah berita di televisi mengenai penganiayaan.

Henry B. Mayo berpandangan bahwa ‘dengan adanya suatu konsep demokrasi yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat maka terjaminlah penyelenggaraan perubahan secara damai di tengah masyarakat yang terus berubah’1. Tapi apakah stigma tersebut telah terjadi di Indonesia, yang notabene menyatakan dirinya sebagai sebuah negara berlandaskan Demokrasi Pancasila?

Jika diamati secara lebih mendalam, dapat dilihat bahwa hal yang menyebabkan banyaknya kejadian tak diinginkan adalah satu: perbedaan. Perbedaan dalam hidup akan terus terjadi selama manusia dapat berpikir. Adalah mustahil untuk dapat menghilangkan perbedaan. Bahkan seiring dengan adanya perubahan, akan semakin banyak perbedaan yang terjadi.

peace3

Indonesia adalah sebuah negara demokrasi dimana suara setiap orang diperhitungkan. Keadaan seperti ini secara tidak langsung membuat semua golongan berusaha dengan sangat keras untuk meraih keinginan dan tujuan masing-masing, yang jelas berbeda. Perbedaan pandangan antar golongan pun mempertinggi resiko terjadinya konflik akibat perebutan kepentingan.

Menurut hukum alam, perbedaan yang terjadi seharusnya menjadi suatu hal yang positif. Bagaimana dengan adanya perbedaan-perbedaan itu manusia saling melengkapi, menutupi kekurangan yang dimiliki oleh seseorang dengan kelebihan yang dimiliki yang lainnya. Bagaimana dengan adanya perbedaan-perbedaan itu manusia mengambil pelajaran darinya, menambah wawasan dan pengetahuan. Tentunya dengan pengetahuan yang semakin bertambah, manusia menjadi lebih adil dan bijaksana dalam menjalani kehidupannya.

Tuhan pun menciptakan manusia dalam rupa yang berbeda. Tentu itu ada maksudnya. Bahwa manusia harus belajar hidup berdampingan dalam ketidaksamaan. Tak saling memaksakan, menerima satu sama lain dan bekerja sama.

Sayangnya, apa yang terjadi saat ini berbeda dari apa yang diharapkan. Terjadinya perbedaan malah membuat manusia menjadi egois. Mementingkan dirinya sendiri dan menganggap dirinyalah yang paling benar. Apa yang disebut dengan perbedaan malah dijadikan alasan untuk berbuat anarkis. Tak sulit mencari sebuah tindakan kriminal dengan alasan perbedaan.

Dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun, melakukan perubahan itu sulit. Hanya sedikit orang yang berani—dan mampu—untuk melakukannya. Berubah dalam hal apapun, memiliki tahapan dan konsekuensi masing-masing. Termasuk—dan terutama—untuk berubah ke arah positif.

Mari ambil contoh yang terjadi sehari-hari di sekitar kita. Seorang pelajar tentu pernah merasakan apa yang dinamakan ujian. Melihat kondisi lapangan, ternyata banyak sekali peserta ujian yang mengerjakannya secara tidak jujur. Mencontek. Entah bertanya jawabannya pada teman, atau bahkan pada buku.

Sebenarnya, tak sedikit pelaku kecurangan itu yang tobat, ingin kembali ke jalan yang benar. Mereka berusaha untuk tak mencontek lagi, mengabaikan godaan-godaan yang mengelilingi mereka. Tapi biasanya, setan terbesar justru datang dari teman-teman mereka sendiri. Bagaimana seseorang yang berupaya tak mencontek dan tak memberi contekan dijauhi, atau dimaki. Dianggap sombong, tidak solid. Padahal, apakah kesolidan itu?

Suatu kelompok—yang biasanya menganggap dirinya solid—seharusnya memiliki tujuan dan arah yang baik. Para anggotanya saling membantu satu sama lain untuk mewujudkan impian bersama dengan cara yang jujur.

Jadi, apakah sebenarnya penyebab dari konflik yang terjadi akibat perubahan-perubahan dalam masyarakat ini?

Masih ingatkah pada pelajaran fisika kelas 1 SMP mengenai Hukum Newton I? Hukum Newton itu berbunyi sebagai berikut: ‘apabila sebuah objek tidak didorong maupun ditarik oleh sebuah gaya, maka objek tersebut akan tetap diam atau bergerak dalam sebuah garis lurus dengan kecepatan konstan’2, atau dalam kata lain suatu objek akan cenderung mempertahankan posisi atau kedudukannya kecuali ada suatu keadaan yang memaksanya untuk berubah. Hukum tersebut sering disebut pula sebagai hukum kelembaman atau inersia. Lalu, apa hubungan antara kelembaman itu dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat?

Seperti objek yang dimaksud dalam hukum tersebut, manusia—terutama manusia yang berada dalam satu golongan—akan cenderung bertahan dalam posisinya sekarang. Adalah hal alami hasil pertimbangan naluri bahwa manusia ingin tetap berada dalam zona amannya. Tak banyak orang yang ingin keluar dan mencoba hal-hal baru, bahkan saat ia tahu bahwa hal baru tersebut adalah hal yang lebih baik untuk dilakukan daripada apa yang ia kerjakan selama ini.

Karena itulah, banyak pertentangan terjadi akibat perubahan. Pertentangan antara pihak yang ingin melakukan perubahan, dan pihak yang ingin keadaan seperti apa yang selama ini terjadi tetap terjadi. Banyak alasan dapat diungkapkan sebagai sebab ‘mental kelembaman’ ini.

Pertama, menyadari keadaan yang terjadi merupakan hal yang menguntungkannya. Setiap orang pasti ingin mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari lingkungannya. Kedua, takut mengambil resiko. Takut tak berhasil beradaptasi dengan keadaan baru, takut tak dapat menampilkan performa maksimal di keadaan lain atau takut bertemu dengan hal baru.

Apapun alasannya, mental kelembaman ini sebaiknya diubah. Bayangkan saja, kalau Nelson Mandela tak melakukan perubahan, mungkin sampai sekarang Afrika Selatan akan tetap menjadi sebuah negara apartheid dengan dominasi warga kulit putih—yang merupakan golongan minoritas—terhadap warga kulit hitam. Tanpa dilakukannya perubahan tersebut, rasanya Afrika Selatan tak akan menjadi sebuah negara paling maju di benua Afrika seperti saat ini.

Wabah mental kelembaman ini tak hanya melanda rakyat sebuah negara, tapi juga para perangkat negara, termasuk birokrasi dan para pelaksananya. Dr. Dino Patti Djalal, dalam bukunya Harus Bisa!: Seni Memimpin a la SBY menulis sebuah kejadian mengenai mental kelembaman ini, bahwa ‘di Indonesia, birokrasi bisa menjadi masalah karena berbagai hal:

• Kecenderungan untuk memelihara masalah, ketimbang menyelesaikannya;
• Lebatnya kepentingan pribadi dalam sistem birokrasi, yang praktis memenjarakan masalah dari solusi;
• Kecenderungan birokrat untuk cari selamat (safety player) sehingga mereka cenderung lari, menguburkan kepala atau mengacuhkan masalah;
• Lemahnya inovasi. Banyak birokrat yang tenggelam dalam rutinitas yang menjemukan, yang menjadikan birokrat seperti robot;
• Lemahnya sistem rekruitmen dan promosi. Karena faktor gaji, pencari kerja baru lebih terdorong masuk swasta. Sementara itu, tidak jarang birokrat idealis dan unggul yang terlantar karena sistem promosi tidak terlalu dikaitkan dengan prestasi;
• Masih maraknya tipe aparat yang ingin dilayani ketimbang melayani masyarakat, sehingga dalam setiap situasi ia selalu memperhitungkan: saya dapat apa?’3

Rasanya hal yang diungkapkan diatas cukup menunjukkan bagaimana sebuah mental kelembaman mempengaruhi pelaksanaan pemerintahan. ‘Adam Schwarz penulis buku klasik ‘Indonesia: A Nation in Waiting’ menamakannya sindrom pasif agresif, dimana birokrasi menjadi sangat kreatif, sangat agresif dan sangat ngoyo untuk menjaga status quo dan mencegah perubahan yang mengancam kepentingannya.’4

( bersambung )

p.s: Sikkharini C, 15 tahun, kelas 2 SMA, menyertakan tulisan ini dalam lomba essay antar murid SMA se-Jabodetabek yang diselenggarakan oleh Bapenas dan mendapatkan penghargaan sebagai juara ke-3 dalam lomba tersebut

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




1Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 165-179




2Susan McKeever, dkk., The Dorling Kindersley Science Encyclopedia, (London: Dorling Kindersley Limited, 2002), hlm. 120




3Dr. Dino Patti Djalal, Harus Bisa!: Seni Memimpin a la SBY, (Jakarta: Red&White Publishing, 2008), hlm. 77.


4Dr. Dino Patti Djalal, Harus Bisa!: Seni Memimpin a la SBY, (Jakarta: Red&White Publishing, 2008), hlm. 78.







** gambar diambil dari: pondererscorner.wordpress.com **

Kanker Prostat dan Bajingan Masa Lalu...

"Ayahku menderita kanker prostat. Berarti dulu dia bajingan...". Kalimat ini diungkap Ko' pemilik toko bangunan yang selang dua pekan terakhir menjadi langgananku. Sejak dua pekan lalu, kami memang merenovasi rumah. Renovasi kecil-kecilan. Nasib pun mempertemukan aku dengan Ko' itu. (Yang aku maksudkan dengan nasib ialah, harga material di tokonya lebih murah dibanding toko sejenis di sekitarnya ;) ).

sel-kanker

Karena aku menjadi pelanggan yang lumayan aktif (yang aku beli mulai dari semen hingga gerendel), si Ko' ini rupanya kemudian menganggap aku sebagai pelanggan yang juga cocok untuk bercurhat-ria. Mungkin karena dia menilai aku merupakan pelanggan yang simpatik (halaah, hehehe).

Ketika si Ko' ini mulai bicara tentang ayahnya, aku hanya terdiam, dan tersenyum penuh simpati. Aku tak kenal siapa ayahnya. Bahkan nama si Ko' ini aku juga tidak tahu.

Sambil menuliskan material yang aku pesan dalam nota, si Ko' melanjutkan," Tapi sampai sekarang aku belum sempat menjenguk. Tahu sendiri kan, di toko ini tak pernah sepi. Mana sempat aku meninggalkan toko?"

Mungkin karena harga bahan bangunannya cukup bersaing, toko itu tak pernah sepi. Jika aku berkunjung si Ko' biasanya sementara melayani dua atau tiga pelanggan. Ketika dia melayani aku, ada dua atau tiga pelanggan yang tanpa ragu melakukan interupsi. Aku juga beberapa kali memergoki si Ko' ini makan makanan yang rupanya disiapkan dari rumah.

***



Ada dua hal menarik yang aku tangkap dari curhat sambil lalu si Ko' ini. Pertama, kanker prostat katanya terkait dengan masa lalu. Tepatnya bajingan di masa lalu. Aku tidak tahu apakah asumsinya benar (aku malas menanyakan hal ini ke paman Google, hehehe). Yang aku tangkap, si Ko' ini tidak terlihat malu ketika menyimpulkan bahwa ayahnya dulu adalah bajingan. Bahkan aku seperti menangkap ada nuansa bangga di sana.

Karena terkait erat dengan kanker prostat, maka bisa disimpulkan kalau bajingan yang dimaksud bukanlah tukang copet, pemalak, preman atau pembunuh. Tapi bajingan yang 'lain'. Bajingan yang terkait dengan kiprahnya dengan (apalagi kalau bukan) perempuan. Dan mungkin karena alasan itulah, aku menangkap seperti ada nada bangga pada kata-kata si Ko'.

Toh, walau merasa bangga, si Ko' rupanya juga tidak merasa perlu untuk secepatnya menjenguk sang ayah yang terkena kanker karena bajingan di masa lalu. Si Ko' memilih bertindak pragmatis. Yakni mengutamakan pelanggan (yang artinya uang masuk) dibanding menghabiskan waktu sia-sia dengan sang ayah yang bajingan...

Sampai tulisan ini dibuat, aku tidak tahu apakah si Ko' sudah menjenguk ayahnya.

Aku tidak tahu, karena aku mungkin tidak akan berkunjung lagi ke toko itu. Proyek renovasi di rumah sudah hampir rampung dan kelihatannya semua yang dibutuhkan sudah terbeli ;) .

Tapi, ngomong-ngomong, apa benar ada korelasi positif antara aksi 'bajingan' dengan kanker prostat?

Jika benar, semoga para 'bajingan' (yang juga nyambi sebagai blogger)  membaca tulisan ini, hehehehe ;)

p.s

I Love you...

Kalau Kamu Jadi Dokter, Aku...

Love is a symbol of eternity.  It wipes out all sense of time, destroying all memory of a beginning and all fear of an end...



DERING bel memecah keheningan di rumah kayu. Kuti membuka pintu dan berjalan ke arah pagar.

" Undangan, pak... " kata tukang pos di muka pagar.

Ah, ada yang mengirimkan undangan, rupanya, pikir Kuti. Diterimanya selembar undangan yang diangsurkan oleh pak pos tersebut seraya mengucapkan terimakasih. Diamatinya undangan itu, dan...

Oh.

" Dee... " panggil Kuti sesaat setelah memasuki rumah.

Dee yang sedang bermain dengan si kembar yang baru saja selesai dimandikan menoleh ke arah sang suami.

" Ada undangan, Dee, " kata Kuti pada sang istri.

" Dari mana? " tanya istrinya.

Kuti tersenyum, " Lihatlah sendiri, " katanya sambil memberikan undangan tersebut pada Dee.

Senyum Kuti melebar ketika, persis seperti dugaannya, Dee berseru gembira. " Oh... Wah... Akhirnya ! " begitu seru Dee ketika membaca apa yang tertulis dalam undangan tersebut.

Menikah :

Albert Christian Susanto dengan Laurensia Noviantini


Sabtu 11 Juni 2011



Begitu yang tertulis dalam undangan tersebut.

Ah, jadi kawan baik mereka yang akan menikah rupanya, pikir Dee senang.

Di dalam amplop yang mereka terima tersebut ada selembar kertas lain. Dee mengeluarkan kertas tersebut dan membacanya sambil tersenyum- senyum.

Lembaran tersebut berupa semacam catatan tentang pasangan pengantin itu.

asandanacin

" Asan dan Acin Menikah ", begitu judul tulisan tersebut.

" Ha ha ha, coba lihat ini 'yang, " kata Dee pada Kuti, " Pintar dia... "

" Siapa? " tanya Kuti masih tersenyum melihat bagaimana Dee sangat gembira dan dengan antusias membaca apa yang tertulis disana.

" Siapa lagi... ya Asan ini, cerdik sekali, ha ha ha... " kata Dee, " Sakit saja pilih- pilih dokter cantik yang... "

Kuti tertawa lebar. Dengan segera dia mengerti.

" Jadi, dia menikah dengan seorang dokter? "

Dee mengangguk.

" Ya, " jawab Dee, " Mereka berkenalan ketika Asan kurang sehat, dan pergi berobat. Lalu, setelah dia sudah sehat, dia mengabari sang dokter untuk memberitahukan kondisinya... Dan... "

Kuti tersenyum- senyum.

" Dan lalu akhirnya menjadi dekat dan sepakat untuk menikah? " kata Kuti.

Dee mengangguk lagi sambil tertawa. Diamatinya foto yang terpampang dalam undangan tersebut. Calon pengantin perempuan tampak cantik dalam foto- foto tersebut.

Dan kejahilan Dee kambuh. Dia bangkit lalu mengambil telepon genggamnya. Dikirimkannya sebuah pesan pada Asan, " Pintar ya... sakit saja berobatnya pada dokter cantik. Kenapa nggak berobat ke dokter Hendry? "

Dokter Hendry adalah sahabat Asan.

Beberapa detik kemudian, sebuah pesan masuk ke telepon Dee, " Ha ha... dokter Hendry sedang penuh. "

Dee terbahak membaca jawaban Asan itu.

Asan adalah kawan yang menyenangkan. Ada banyak hari ketika Dee berdiskusi tentang beragam hal dengannya. Dari yang menyenangkan seperti  rumah tua yang rupanya sama- sama mereka gemari, atau yang agak serius seperti beragam situasi sosial termasuk ketidak adilan yang terjadi di sekitar mereka, seperti misalnya penggusuran yang dilakukan semena- mena, tentang bisnis buah naga yang ditekuni Asan,  atau seringkali yang mereka lakukan sekedar perbincangan ringan yang iseng.

Apapun yang mereka percakapkan, Dee sejak lama tahu bahwa Asan sangat cerdas. Dan walau dia tak pernah mengatakannya secara eksplisit, tapi Dee dengan mudah menduga bahwa jika pada suatu saat Asan melabuhkan hatinya, maka perempuan yang akan dipilihnya adalah seorang perempuan yang cantik dan cerdas. Dan tampaknya kini dia telah menemukan perempuan semacam itu, yang dipinangnya untuk menjadi istri.

Semoga mereka selalu berbahagia, pikir Dee, dan pernikahan ini akan berumur panjang, seperti yang terjadi pada orang tua Asan.

Ah, orang tuanya tentu sangat bahagia, pikir Dee. Dia teringat bahwa Asan pernah mengatakan bahwa orang tuanya sangat menginginkan Asan untuk segera menikah. Dan Dee tersenyum lagi, mengingat bagaimana kocaknya Asan menggambarkan bagaimana dia menjelaskan pada orang tuanya saat itu mengapa dia belum juga menemukan tambatan hatinya.

: Mah, dengan si A ternyata tidak cocok, dia selingkuh



: Mah, dengan si B ternyata tidak cocok, dia narkoba

: Mah, dengan si C ternyata tidak cocok, dia nggak macam macam, cuma maunya 1 macam,lelaki yang naik mobil Alphard



: Mah, dengan si D saya batal melakukan PDKT, baru bertanya kepada teman tentang namanya, informasi yang saya dapatkan adalah dia anak luar kota, kost nya hanya berjarak 100 meter dari rumah saya, sudah memiliki pacar pengusaha tambak,2 minggu lagi resign mau ikut pacarnya ke singapura ( ini temen kerja di google kali ya, komplit amat jawabnya )


Masih banyak alasan lain.

: Mah, dengan si E juga batal PDKT, katanya dia suka mukulin cowoknya



: Mah, dengan si F belum ada perkembangan, dia penjaga toko obat, sudah 24 tube Redoxon saya beli di toko itu selama 3 bulan terakhir,tapi mulut ini gagap setiap kali hendak menanyakan namanya,apalagi nomer HPnya..

Dan Dee teringat satu alasan lagi yang konon diberikan Asan pada sang ibu.

: Mah, si G kelihatannya memberi harapan, tapi dia sudah punya pacar, saya masih punya buku panduan tentang rule #1:never dance with a man, dan rule #2: never disturb anyone’s girlfriend

Dee tersenyum lagi. Alasan tentang si G ini sungguh khas Asan. Rule # 1 itu kekonyolan iseng yang cerdas, rule # 2 menggambarkan idealisme yang dalam banyak percakapan Dee dengan Asan dapat diketemukannya.

Dan dengan geli Dee teringat bagaimana Asan dengan 'setengah putus asa' kemudian mengatakan hal semacam ini:

Mah, yang ada juga H,I,J,K,L,M...

Lalu...

Mah, if I have to explain, you wouldn’t understand!

Ha ha ha. Dasar outlier, pikir Dee.

***


Dee terus membaca lembaran kertas yang berisi catatan tentang kisah kasih Asan dan Acin di tangannya, lalu pada suatu saat senyumnya berubah menjadi tawa kecil.


" Ada apa, Dee? " tanya Kuti.


" Ini, coba lihat, " kata Dee sambil terus tertawa- tawa.


Kuti membaca kalimat yang ditunjukkan Dee. " Seperti pantun atau lirik lagu, kalau aku jadi motor, kamu jadi bensinnya... kalau kamu jadi dokter, aku jadi pasiennya... "


Ha ha. Kuti turut tertawa.


" Eh 'yang, " sambil tersenyum lebar Dee berkata pada suaminya, " Aku ingin tahu, setelah menikah nanti, Asan akan ingat hari ulang tahun istrinya tidak ya? "


Kuti terbahak. Dia tentu masih ingat suatu saat duluuuuuu ketika Asan mengatakan, betapa repotnya menghadapi perempuan, dilupakan hari ulang tahunnya saja marah. Saat itu Kuti lalu dengan iseng memberikan beberapa tips agar tak melupakan hari ulang tahun.


( Dan Dee dengan jahil berpikir, mungkin Kuti harus juga memberikan kiat pada Asan agar dapat mengingat hari ulang tahun pernikahannya kelak, ha ha ha )


p.s :


Happy Wedding Day,  Asan and Acin


Wishing you have a beautiful life together, forever...




Garuda Hitam: Proyek Terbaru Rumahkayu

PENGHUNI rumahkayu kini punya kesibukan baru. Yakni gemar melahap berbagai hal yang berbau spionase. Kesibukan ini terkait dengan proyek terbaru yang sedang dilakoni, yakni membuat cerita bersambung dengan genre spionase.

Kisah spionase ini kami publikasi dalam blog yang dibuat khusus, yakni garudahitam.

garudahitam

Delapan episode awal dari kisah berjudul Operasi Garuda Hitam ini dulu sempat dipublikasi di blog catatanqu. Kisahnya terhenti karena ada beberapa  ide yang di luar dugaan ternyata benar-benar terjadi di dunia nyata. Guna menghindari hal-hal yang tidak diharapkan, terpaksa kisahnya dipending.

Kini, karena situasi di Tanah Air sudah lumayan kondusif, kami memutuskan untuk melanjutkan kisahnya. Karena ada rentang waktu yang cukup besar, maka kisah Garuda Hitam akan diisi dengan kisah yang terjadi pada masa kini dan diselingi dengan 'flash back' di masa lalu.

Lalu, bagaimana dengan proyek rumahkayu lainnya seperti cerita silat padepokan? Tentu cersilnya masih jalan. Juga update di blog rumahkayu ini, dan blog-blog kami yang lain.

Oleh karena itu, untuk teman-teman  pembaca rumahkayu, jika ingin mendapatkan bacaan fiksi yang lain dari yang lain, silakan berkunjung ke blog garudahitam. Nikmati kisahnya, dan jangan lupa berkomentar. Masukan dari teman-teman tentu sangat kami harapkan.

Oh ya, dalam membuat kisah spionase di garudahitam kami dibantu seorang teman, blogger di blogdetik, yang sebelum ini belum pernah membuat cerita fiksi namun ternyata sangat berbakat. (Untuk sementara blogger tamu itu belum bisa diungkap identitasnya, biarlah menjadi misteri, hehehe ;)

p.s

I love you

Perselingkuhan, Kolaborasi antara Cinta ( atau Nafsu? ) dan Egoisme

If you marry a man who cheats on his wife, you'll be married to a man who cheats on his wife ~ Ann Landers

DEE memotong- motong buah mangga yang baru saja dikupasnya. Pohon mangga di halaman berbuah lebat, dan dalam beberapa saat terakhir keluarga di rumah kayu berkelimpahan buah ini.

Di ruang lain terdengar Kuti dan Pradipta tertawa dan bercanda dengan si kembar.

Dee memasukkan mangga yang telah dikupas dan dipotongnya ke dalam blender untuk membuat juice mangga.

Pekik tawa kedua bayi yang ditingkahi suara Kuti dan Pradipta masih terus terdengar. Dee menghampiri mereka dengan sebuah nampan berisi beberapa buah gelas, termasuk dua gelas mungil milik si kembar.

Dee menawarkan juice pada Pradipta yang menyambutnya itu dengan senang hati.

“ Juice mangga ‘yang, “ kata Dee kemudian pada Kuti.

Suaminya mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Dia mengulurkan tangannya ke arah nampan yang diletakkan Dee di atas meja. Bukan gelasnya yang dia ambil tapi salah satu gelas mungil milik si kembar.

Kuti meraih Nareswari yang berada lebih dekat dengannya, “ Ayo mimik juice mangga dulu, sayang, “ kata Kuti pada sang bayi. Nareswari tertawa menatap Kuti dan membuka mulutnya saat sang ayah mendekatkan sendok ke mulutnya. Sementara itu, tak jauh dari mereka, Dee melakukan hal yang sama pada Nareswara.

“ Enak? “ terdengar suara Kuti bertanya pada Nareswari. Pertanyaan yang dijawab dengan ocehan khas bayi oleh Naeswari.

Dee tertawa melihat mereka.

Kuti suami yang selalu penuh perhatian pada anak- anaknya. Dia juga tak segan untuk turun tangan mengasuh mereka. Kuti juga tak canggung mengurus bayi.

Menatap Kuti yang sedang menyuapi sambil sesekali bercanda dengan Nareswari, Dee tiba- tiba teringat pada percakapannya dengan Kuti tentang Kartolo, kawan sekolah Kuti, kemarin.

Kartolo juga memiliki seorang putri, yang kini diasuh oleh ibunya. Viana. Mantan istri Kartolo.

Kasihan anak itu, pikir Dee. Dia menjadi korban keegoisan seorang lelaki yang kebetulan adalah ayahnya.

Benar, bagi Dee, apa yang dilakukan oleh Kartolo menunjukkan betapa egois dan tak bertanggung jawabnya dia.

cheating

Kartolo adalah teman lama Kuti yang setelah sekian lama menikah dan dikaruniai seorang putri ternyata kemudian menjalin affair dengan mantan kekasihnya, dan kemudian memutuskan untuk meninggalkan istri dan anaknya untuk menikah dengan sang mantan kekasih.

Tentu saja apa yang terjadi menjadi bahan perbincangan diantara para kawan dan keluarga Kartolo. Dee mendengar beberapa orang berpendapat bahwa Kartolo dibutakan oleh cinta. Dee juga sempat mendengar komentar bahwa Kartolo memang tak pernah bisa berhenti mencintai Layla, mantan kekasihnya tersebut. Juga komentar- komentar tentang perkiraan bahwa cinta Kartolo pada Layla mungkin memang lebih besar daripada cinta Kartolo pada Viana, istrinya.

Tapi sungguh, bagi Dee, semua itu tak ada artinya.

Dee tak perduli pada cerita bahwa Kartolo dan Layla memang pernah saling mencintai sebelum akhirnya hubungan itu putus dan Kartolo bertemu lalu menikahi Viana.

Yang Dee tahu hanya satu: Kartolo mengkhianati komitmen yang diberikannya pada Viana ketika dia menikahi Viana dulu

“ Setiap orang punya masa lalu ‘yang, “ kata Dee pada Kuti saat mereka mengobrol tentang Kartolo kemarin, “ Tapi saat seseorang memutuskan menikah, dia harus bisa menarik garis yang tegas antara masa lalu itu dengan kehidupan pernikahannya yang sekarang. Pernikahan itu bukan urusan main- main, dan orang yang berpikiran sehat akan tahu dan sangat mengerti bahwa disamping cinta, komitmen juga memegang peranan sangat besar dalam kelanggengan sebuah pernikahan. Dan bagaimanapun, untuk dapat memenuhi komitmen yang pernah diberikannya, kadangkala seseorang memang harus menekan egonya sendiri… “

Dee tak mengerti bagaimana seseorang bisa demikian mementingkan dirinya sendiri, dan menyakiti orang lain semacam itu. Apalagi orang lain itu istrinya. Dan anak kandungnya.

“ Jika Kartolo memang ternyata berpikir bahwa hanya Layla-lah yang bisa membuatnya bahagia dalam rumahtangga, mengapa dulu dia tidak berusaha agar hubungannya dengan Layla dapat tersambung kembali saat dia belum menikah ? Mengapa justru setelah menikah hal itu dilakukannya? “ kata Dee pada Kuti kemarin.

Kalimat itu disambungnya dengan, “ Betapa tidak adilnya Kartolo, menjalin hubungan dengan Viana dan lalu bahkan menikahinya jika dia ternyata belum bisa melepaskan diri dari bayang- bayang Layla. Jangan- jangan dia memang tak pernah betul- betul mencintai Viana? Jangan- jangan Viana hanya merupakan pelampiasan saja? “

Komentar dan pertanyaan Dee yang bertubi- tubi itu, tentu saja tak dapat dijawab oleh Kuti, sebab Kuti sendiri tak tahu apa yang ada di pikiran Kartolo saat itu.

“ Aku sebenarnya juga ingin tahu, apa yang ada dalam pikiran Layla, “ kata Dee pada Kuti kemarin. “ Bukan hanya Kartolo, menurutku Layla juga sama egoisnya. Fakta bahwa dia adalah mantan kekasih Kartolo, dan mungkin mengenal Kartolo jauh sebelum lelaki itu mengenal Viana, sama sekali bukan alasan bahwa dia kemudian berhak menjalin hubungan perselingkuhan dan merebut Kartolo dari Viana… “

Ah, pikir Dee, dia memang tak pernah bisa memahami hal- hal semacam itu, sebab itu bertentangan dengan ajaran untuk memperhatikan dan bertoleransi dengan perasaan orang lain, bertentangan dengan ajaran untuk tak semata mementingkan diri sendiri, bertentangan dengan ajaran untuk menepati janji, ajaran untuk tak merebut milik orang lain yang bukan haknya.

Apa yang dilakukan Kartolo dan Layla bertentangan dengan banyak faham dasar yang Dee ketahui dan percayai dalam hidupnya.

Entahlah, pikir Dee. Apa benar sekarang Kartolo dan Layla sebahagia yang mereka harapkan ketika menikah dulu. Apakah pernikahan yang dibangun diatas kesengsaraan orang lain akan dapat berjalan dengan baik? Apakah benar yang dirasakan antara Kartolo dan Layla itu cinta, atau sekedar nafsu? Apakah tak pernah ada perasaan bersalah menyelinap dalam hati mereka ?

Benarkah bahagia bisa dicapai dengan cara seperti itu?

***



Angin sepoi berdesir di luar, membelai daun- daun mangga yang bergerak- gerak berlahan. Dan beribu tanya yang ada di benak Dee berputar- putar, mencari jawab...

p.s. i love you

** gambar diambil dari signscheating.com **