Mudik Lebaran

Idul Fitri akan segera tiba…

TAK pelak, kegembiraan menghampiri hati.

Seperti biasa, kami sekeluarga mudik.

Mudik, selama ini kujalani sepanjang hidupku, baik sebelum maupun setelah menikah.

Dulu, saat kami masih kecil- kecil, mudik dilakukan bergantian, jika pada tahun ini kami berlebaran di rumah kakek nenek dari ibu, tahun berikutnya kami berlebaran di kota kelahiran ayahku.

Kadangkala kami mudik dengan kereta api. Tapi lebih sering, ayahku memilih untuk mengendarai mobil sendiri. Lebih bebas, katanya, bisa menentukan waktu sendiri kapan hendak melanjutkan perjalanan kapan hendak berhenti, dan dimana.

Dan tentu saja, perjalanan mudik itu bagi kami juga merupakan perjalanan wisata. Kami biasa mampir di kota- kota yang dilalui di sepanjang perjalanan, dan menginap di sana.

Ada hal yang lucu jika diingat saat ini tentang perjalanan ketika itu.

Saat aku kecil, di usia SD dulu, belum ada minuman dalam kemasan kotak. Juga belum ada teh botol ataupun air mineral. Minuman dalam botol yang tersedia adalah minuman bersoda. Jadi, kuingat betul bahwa orang tuaku biasanya membeli satu krat ( eh, bagaimana sih mengejanya? ) minuman botol ini. Lalu, satu krat minuman botol -- satu wadah kotak plastik besar berisi banyak botol itu -- ditaruh dan diikat di bagasi di atap mobil.

Jadi, kami tidak bisa setiap saat minum. Biasanya, pada saat- saat tertentu ayahku akan menghentikan mobilnya lalu kami masing- masing akan mendapatkan minum sebotol sirup bersoda itu dan kami akan meminumnya sampai habis, kemudian botol kosongnya ditaruh kembali di dalam krat. Lalu sepanjang perjalanan, kami mampir di toko- toko yang dilewati di sepanjang perjalanan, dan orang tua kami membeli lagi persediaan minum dengan cara menukarkan botol kosong itu dengan botol baru yang masih penuh berisi.

Seru.. seru.. seru...

bunga2


Di kemudian hari, aku kemudian juga menikah dengan seseorang yang berasal dari kota yang letaknya tak jauh dengan kota asal ayahku. Karenanya, ritual mudik tak pernah berhenti, walau ada perubahan, yakni mudiknya dilakukan bersama suami (dan kemudian setelah mereka lahir, bersama anak- anak ), bukan lagi dengan orang tua dan saudara- saudaraku seperti dulu..

Kami, aku dan suamiku, sejak sebelum menikah telah bersepakat bahwa sebisa- bisanya kami akan mengupayakan untuk mudik ke kedua kota dimana para orang tua kami tinggal. Hanya lokasi shalat Iednya saja bergiliran. Ada kalanya kami shalat Ied di kota dimana orang tuaku tinggal, kali lain di kota dimana mertuaku berada.

Dan, kedua kota itu terpisah jarak lebih dari 600 KM. Maka, setiap tahun kami mengalami 'kehebohan' mudik saat lebaran.

Tapi sungguh, ini adalah kehebohan yang kami nikmati dan selalu kami nanti- nantikan...

***



Ada hal unik yang ‘mengagetkan’ yang terjadi di awal- awal masa pernikahan, terkait dengan tradisi setempat.

Di rumah orang tuaku, pada hari lebaran selalu ada ketupat, opor ayam dan sambal goreng hati. Hal yang sudah berjalan bertahun- tahun dan ternyata bagiku menjadi sesuatu yang kurindukan dan jika tak ada, terasa ada yang hilang.

Sementara itu, di daerah asal suamiku, biasanya ketupat tidak dihidangkan di hari pertama. Lucunya, hal ini sebenarnya juga terjadi di kota asal ayahku tapi entah kenapa tidak terekam dalam ingatanku. Karenanya, kali pertama aku berlebaran di rumah mertua setelah menikah, aku agak heran mengapa tak ada ketupat dihidangkan di hari itu.

Baru kemudian kuingat bahwa berdasarkan tradisi setempat ketupat baru akan muncul di hari ke lima, bukan hari pertama lebaran !

Hari ke lima itu disebut Hari Raya Kupat.

***



Terkait dengan Idul Fitri yang pernah beberapa kali diputuskan jatuh pada hari yang berbeda, kami pernah memutuskan untuk berlebaran pada hari yang lebih awal. Tanpa diduga, keputusan tersebut menyebabkan kami justru bisa berlebaran ‘hari pertama’ baik di rumah orang tuaku maupun di rumah mertua. Sebab kami shalat Ied bersama dengan orang tuaku lalu melakukan perjalanan sehari semalam, dan ketika kami tiba di subuh keesokan harinya di rumah mertua, seisi rumah sedang bersiap- siap untuk shalat Ied, sebab keluarga di sana memilih untuk berlebaran pada hari berikutnya.

Kami sendiri tentu saja tidak lagi ikut shalat Ied di sana sebab sudah melakukannya sehari sebelumnya.

Tahun ini, keluarga kami baik di rumah orang tuaku maupun di rumah mertua, memutuskan untuk berlebaran pada hari Rabu. Dan… aha… ada hal unik tahun ini, yakni, seperti aku yakin, terjadi di banyak keluarga pada tahun ini, subuh tadi kami sahur dengan ketupat dan beragam lauk pauknya sebab tadinya semua dipersiapkan untuk berlebaran pada hari Selasa ini…

ketupat

Ah, bagaimanapun lebaran selalu menyenangkan.

Apapun yang terjadi suasananya selalu terasa berbeda. Sejak mulai dari pasar dimana bunga- bunga segara yang dijajakan dalam tong- tong besar, siap untuk menghiasi rumah- rumah saat lebaran, para penjual selongsong ketupat, kembang api, takbiran…

bunga

Selamat Idul Fitri, kawan- kawan semua. Semoga kebaikan selalu menghampiri kita. Mohon dimaafkan lahir batin. Selamat berbahagia merayakan lebaran bersama keluarga…


p.s. we love you

'Proyek' Google+ dan Libur Panjang

Malam yang teduh...

KUTI duduk di beranda rumah. Seperti biasa, di depannya 'tergeletak' notebook yang terkoneksi dengan internet. Beberapa kali dia sibuk mengklik sana-sini.

"Akhir-akhir ini kau keliatannya lagi demen dengan Google+ ya?" Ujar Dee sambil meletakkan sepiring pisang goreng yang mengepul hangat. Pisang yang digoreng itu adalah hasil panen di halaman belakang.

sukangeblog3

Kuti melirik pisang goreng itu, menimbang-nimbang, dan setelah nyaris tergoda dia memutuskan untuk pura-pura tidak melihat. Mengetik sambil makan pisang goreng adalah dua hal yang tak bisa dilakukannya sekaligus.

"Google+ itu menyenangkan, dan fasilitasnya tidak kalah dengan Facebook," kata Kuti, berusaha menutup pernafasan yang mulai terpengaruh oleh harumnya pisang goreng.

"Lagipula, aku punya proyek khusus untuk Google+. Kamu udah tau kan kalau proposal naskah tentang Google+ yang aku kirimkan udah disetujui editor Elex Media Komputindo?"

"Iya. Jadi nantinya buku yang kamu bikin isinya tentang Google+?"

"Tentu. Tapi fokusnya lebih kepada tips dan trik. Seperti gimana nulis di Google+ dan di-share sekaligus ke Facebook dan Twitter, gimana menyingkat link profil menjadi misalnya http://gplus.to/sukangeblog dan puluhan tips dan trik lainnya..."

Kuti menghentikan ocehannya dan tak dapat menahan diri untuk menikmati pisang goreng yang dibuat khusus sang istri tercinta.

Keduanya lalu berbincang ringan tentang Google+, sejauh mana layanan ini bisa bersaing dengan Facebook yang baru saja mencatat rekor pageviews per bulan yang menembus 1 triliun, serta rencana mereka mengisi libur panjang, apakah ikutan mudik atau di rumah saja.

"Libur panjang ini menyenangkan ya? Tapi moga-moga ini gak berarti ngeblog juga libur kan?" Ujar Dee.

Kuti tertawa. "Karena aku bakal sibuk, keliatannya nanti tugas Dee untuk terus berkiprah di dunia maya. Aku udah kangen sama Kiran dan Dhanapati. Kayaknya udah waktunya diupdate. Kalau kelamaan, nanti kita yang penulis jadi lupa gimana ceritanya..."

Pasangan suami-istri itu terbahak.

Di sela tawa, pikiran Dee melayang-layang, memikirkan episode apa yang akan ditulis di padepokanrumahkayu....

p.s

I love you...

Kami Melakukannya Bersama (Lagi) ...

Teamwork...

ENTAH sudah berapa kali kutuliskan hal sejenis ini di blog rumahkayu. Tapi, kali ini (kembali) kuingin menuliskan hal yang sama.

Seorang kawan baik beberapa waktu yang lalu mengomentari rangkaian tulisanku tentang ibadah umroh di blog ini.

" Sempat- sempatnya nulis... " komentarnya, yang lalu disambungnya dengan " Gampang ya, akses ke internet ?Saat aku di sana dulu koneksi tidak mudah didapatkan. "

Ha ha.

Siapa bilang koneksi mudah didapatkan saat aku berumroh kemarin?

Hot spot terakhir yang kutemukan saat dalam perjalanan umroh adalah ketika aku berada di ruang tunggu keberangkatan Bandara Soekarno Hatta.

Sempat kubuat sebuah posting saat itu, dan kupasangi gambar.

Posting itu selesai kubuat dan berhasil tayang hanya sekitar dua atau tiga menit menjelang kami serombongan diminta menuju pesawat untuk boarding.

Dan itulah kali terakhir aku menggunakan komputerku untuk menulis selama perjalanan tersebut. Sebab kemudian, tak kutemukan koneksi internet baik dengan maupun tanpa kabel yang memungkinkanku menulis dengan komputer selama kami melakukan ibadah umroh.

Nah lalu, jika begitu, bagaimana caranya aku dapat menulis beberapa buah posting yang merupakan 'liputan langsung' dari Madinah dan Mekah kala itu?

Oh, posting- posting tersebut kubuat dengan berbagai cara melalui handphone.

Kadang kutuliskan sebagai draft di blog rumahkayu. Kadang kutuliskan sebagai e-mail. Ada yang bahkan sebagian diantaranya kutulis dalam bentuk sms.

SMS?

Ya, SMS.

Pada siapa?

Pada siapa lagi jika bukan pada partner in crime ngeblog-ku, penghuni rumahkayu lain selain aku. Kuti.

Posting- posting tersebut sungguh tak kan bisa tayang, lengkap dengan gambar- gambarnya yang bagus, tanpa bantuan Kuti.

Sebab koneksi agak sulit didapatkan di sana.

teamwork1

Akses ke internet terbatas, dan kadang- kadang terputus. Menulis dengan HP sebetulnya juga tak nyaman. Tapi kucoba juga menulis, sedikit demi sedikit.

Facebook sama sekali tak berhasil kubuka. Belakangan aku tahu bahwa berbeda dengan di sini dimana beragam promosi tentang kemudahan mengakses facebook dilakukan oleh para provider telepon, di sana facebook hanya dapat diakses melalui telepon genggam dengan ijin tertentu setelah registrasi dilakukan.

Dan aku tentu sama sekali tak berniat melakukan segala kerepotan pendaftaran untuk mengakses facebook itu.

Jika kebetulan bisa kuakses blog rumahkayu ini ( rata- rata dari 10 kali mencoba, biasanya ada 1 kali aku berhasil mengakses blog ) kutuliskan apa yang ingin kutulis.

Beberapa kali aku juga sama sekali tak berhasil mengakses blog rumahkayu ini. Pada saat- saat seperti itu, kubuat tulisanku dalam bentuk e-mail, kukirimkan pada Kuti.

Dan oh, jangan bayangkan email rapi yang siap di-copy paste. Untuk satu posting saja, pernah kukirimkan empat  e-mail pendek yang terpenggal- penggal, dan lalu masih kusambung lagi dengan SMS sebab koneksi internet tiba- tiba terputus dan aku tak berhasil masuk ke e-mail accountku lagi...

***



Setelah proses menulis selesai, kuserahkan semua proses selanjutnya pada Kuti. Baik mengedit, menambahkan gambar, atau apapun, hingga mempublikasikannya, semua kupasrahkan padanya.

Urusan mengedit, tentu tak perlu dikuatirkan. Itu pekerjaannya sehari- hari. Dan aku tahu dari pengalaman selama ini bahwa Kuti hampir tak pernah menggunting atau merubah terlalu banyak tulisanku. Biasanya dia akan meloloskan 99,9% materi yang kutulis. Paling- paling yang dibetulkannya hanya urusan typo error saja. Salah ketik, salah eja, atau semacamnya.

Yang agak mencengangkanku sebetulnya urusan gambar.

Setiap kali menulis, sebetulnya telah kubayangkan dalam anganku gambar seperti apa yang kuinginkan menjadi pelengkap posting yang kutulis.

Tapi tak pernah kukatakan hal tersebut pada Kuti. Terlalu repot dan sulit mendeskripsikannya.

Terlebih, kami berbeda keyakinan. Jadi aku sendiri tak tahu apakah penjelasan singkat akan cukup untuk membuat Kuti memilih jenis gambar yang kuinginkan atau tidak. Sebab aku tak dapat memprediksi apakah dia akan tahu apa yang kumaksudkan.

Karenanya, kuputuskan untuk sama sekali tak mengatakan apapun tentang gambar tersebut.

Bagaimanapun, aku selalu percaya pada Kuti. Sekian tahun bersahabat, walau tak selalu sepakat, kami selalu bisa memahami satu sama lain dan menemukan jalan keluar jika kami agak berbeda pendapat.Maka kali inipun kurasa walau mungkin tak persis dengan apa yang kubayangkan, Kuti toh akan memilihkan gambar yang cukup tepat untuk tulisan- tulisanku.

Tapi sungguh, apa yang terjadi ketika itu terkait gambar- gambar dalam posting yang kubuat... sejujurnya membuat aku tercengang. Sebab tanpa kuduga, setiap kali posting itu ditayangkan di rumahkayu, gambar yang dipilih oleh Kuti untuk melengkapi tulisanku adalah gambar yang sepenuhnya mewakili khayalanku tentang gambar semacam apa yang ingin kumuat di situ.

It really couldn't be done any better..

Perfect.

Kuti bahkan pernah pada suatu hari 'mendahului'-ku.

Aku sedang mencoba membuat posting yang di dalamnya akan menyentuh cerita tentang masjid Quba. Belum berhasil kutuliskan hal tersebut, ketika Kuti bahkan sudah memilih gambar dari masjid Quba untuk posting yang telah kutuliskan sebelumnya dan kutitipkan pada dia untuk ditayangkan. Sekali lagi aku tercengang...

Kuceritakan hal di atas pada kawan yang menanyakan bagaimana aku bisa sempat menulis beberapa posting saat berumrah kemarin.

Kukatakan padanya bahwa hal tersebut tak akan pernah bisa terjadi jika blog ini bukan blog duet.

Andai blog ini adalah blog yang kugawangi sendiri, aku yakin bahwa tak akan ada tulisan yang berhasil kutayangkan real time. Tulisan- tulisanku baru akan muncul sepulangnya aku umroh.

***



Sekali lagi, kami melakukannya bersama.

Dan sekali lagi, dengan senang hati, kudapati bahwa toleransi kami satu sama lain cukup besar. Cukup untuk dapat saling menghormati perbedaan yang ada. Cukup untuk bisa membuat yang tak mungkin menjadi mungkin.

Sangat kuhargai kebesaran hati Kuti untuk membantuku memuat tulisan- tulisan terkait perjalanan ibadah umrohku di blog ini. Dan kuhargai pengertian dia bahwa sampai saat ini aku masih terus ingin menulis tentang umroh itu, sebab menuliskannya dapat memperpanjang rasa nikmat yang kurasakan di sana. Sebab menuliskannya membuatku bisa menyalurkan rasa rindu luar biasa yang muncul di dada. Kerinduan untuk segera dapat kembali ke sana.

Dan, ha ha... sebenarnya kemarin telah kukatakan pada Kuti bahwa tampaknya sudah waktunya dia menulis di rumahkayu, sebab sudah agak lama aku 'menjajah' blog ini. Berturut- turut menulis beberapa posting sehingga dia tidak kebagian giliran.

Tapi sungguh aku yakin, jika dia membaca posting yang kutulis ini ( dan artinya pada saat yang sama dia mendapati bahwa aku mengingkari apa yang kukatakan sebelumnya pada dia bahwa aku baru akan menulis lagi setelah dia menulis di rumahkayu ), dia toh akan memaklumi juga hal tersebut... ha ha ha...

***



Kami berhasil melakukannya lagi, bersama. Dan aku yakin dalam jangka panjang ke depan, kami masih akan melakukan banyak hal bersama- sama.

Individually, we are one drop. Together, we are an ocean, kata Ryunosuke Satoro, seorang penyair Jepang.

Benar.

Benar sekali apa yang dikatakannya itu...

p.s. thank you for being such a wonderful friend, Kuti, and thank you for the great teamwork that we have...



** gambar diambil dari: webubiquity.fr **


Spray Bottle ( Surat untuk Mechta )

Mechta yang baik,


WAH, tidak terasa ya, sudah hampir satu tahun sejak kita bertemu. Pertemuan singkat yang tak direncanakan saat aku melintas di kota tempat Mechta tinggal itu…


Hari ini aku senang sekali saat mendapat kabar bahwa Mechta termasuk salah satu yang telah mendapatkan tempat untuk pergi menunaikan ibadah haji tahun ini.


Ah, betapa senangnya… Sungguh suatu karunia besar mendapat panggilan untuk menjadi tamu Allah begitu.


Omong- omong, aku juga senang sekali saat Mechta mengatakan padaku bahwa membaca rangkaian tulisan tentang umrah yang kubuat di blog rumahkayu ini makin membuat Mechta sangat ingin segera pergi ke Tanah Suci.


Alhamdulillah, walau tentu saja aku tahu bahwa Mechta sendiri bahkan telah berniat pergi ke sana sejak lama, dan telah mengantri selama dua tahun untuk dapat berangkat berhaji ini, paling sedikit, rasanya aku tidak sia- sia menulis jika aku bisa menggambarkan betapa indah dan nikmat apa yang kurasakan di sana.


Nikmatnya, Mechta, sungguh rasa nikmat yang terlalu sulit untuk digambarkan dengan kata- kata…


Oh ya, kali ini, aku menulis untuk menceritakan tentang apa yang disarankan oleh adikku untuk kubawa saat berangkat umroh kemarin. Sesuatu yang tadinya saat mendengar saran itu tak terbayang bahwa apa yang disarankan untuk kubawa itu akan menjadi salah satu benda paling berguna selama berada di Tanah Suci...


***


Baiklah kuceritakan sedikit tentang adikku.


Kita semua percaya bahwa Allah memilih sendiri siapa yang akan dipanggilNya ke Tanah Suci. Dan adikku termasuk salah satu yang beruntung sebab diundang menjadi tamu Allah berulang kali dalam usia muda.


Dia pertama kali berhaji di usia sekitar 27 tahun.


Ketika itu, dia sedang tinggal di Inggris untuk menyelesaikan program Doktornya. Saat sedang tinggal di sana itulah dia berangkat berhaji dengan istrinya.


Adikku dan istrinya adalah teman semasa SMA, sesama pendaki gunung. Karenanya aku sama sekali tak heran bahwa ketika itu mereka berangkat berhaji tanpa terlalu pusing merancang atau memikirkan ini dan itu tentang akomodasi selama berada di Tanah Suci. Adikku selalu dengan senyum lebar menceritakan bahwa mereka berangkat dengan niat untuk ‘menggelandang’ saja selama musim haji itu. Bagaimana nanti sajalah, yang penting bisa menunaikan ibadah haji.


Bisa kupahami pikiran ini. Adikku bersekolah ke Inggris dengan beasiswa. Artinya, dia tak punya terlalu banyak uang saku. Jadi pikiran ‘yang penting bisa menunaikan ibadah haji’ tanpa terlalu memusingkan urusan akomodasi itu bisa dipahami.


Dan Allah memang selalu menjaga umatNya. Sebab sepanjang yang kuingat, selama di sana dia sama sekali tak menghadapi situasi yang dekat dengan kata ‘menggelandang’.


Allah bahkan memberinya banyak rejeki dan kemudahan.


Menjelang berangkat berhaji, dia diperkenalkan dan akhirnya berangkat dan berkumpul dengan sekelompok jamaah haji asal Inggris sepanjang musim haji tersebut. Lalu...  tanpa disangka- sangka, pada tahun berikutnya, adikku ditawari oleh penyelenggara perjalanan haji dari Inggris tersebut untuk pergi berhaji lagi dengan status sebagai salah satu anggota panitia penyelenggara.


Artinya, pada tahun berikutnya itu, dia bisa berangkat haji untuk kedua kalinya dengan gratis sebagai imbalan dari 'pekerjaannya' membantu persiapan dan beragam urusan rombongan selama perjalanan ibadah haji.


Subhanallah.


Kenikmatan lain yang sungguh selama bertahun- tahun membuatku merasa betapa Allah sungguh memberinya rejeki besar adalah bahwa pada kali pertamanya berhaji, dia bisa berjumpa dengan kedua orang tuaku yang juga sedang menunaikan ibadah haji pada musim haji yang sama di Tanah Suci.


Pertemuan itu terjadi tanpa sengaja, tak dirancang atau disepakati dengan janji lebih dahulu.


Ketika itu, telepon genggam belum beredar sebanyak dan mudah diperoleh seperti sekarang. Jikapun ada, area dimana sinyalnya dapat tertangkap sangat terbatas. Artinya, walau tentu saja orang tuaku tahu bahwa adikku dan istrinya akan berangkat berhaji , berangkat dari Inggris, dan sebaliknya adikku tahu bahwa orang tuaku juga akan tiba di Tanah Suci dengan rombongan haji dari Indonesia, tak ada cara untuk dapat mengkomunikasikan tempat tinggal masing- masing selama berada di sana.


Dan tanpa diduga, di ujung masa ibadah haji itu, saat sedang berjalan menuju tempat untuk melempar jumrah, adikku dan istrinya melihat sebuah bendera dengan tulisan nama biro perjalanan dari Indonesia -- biro perjalanan dimana orang tua kami bergabung dalam rombongannya -- dan dengan segera menduga bahwa di situlah orang tua kami tinggal pada hari- hari tersebut.


Ah, dapat kubayangkan betapa gembira dan mengharukannya bahwa adikku serta istrinya dapat bertemu di Tanah Suci dengan kedua orang tuaku setelah sekian lama tak berjumpa karena ketika itu sedang tinggal di benua yang berbeda .


( Sungguh, karena kejadian tersebut, dalam hati, selama bertahun- tahun, aku memendam suatu keinginan yang bahkan tak pernah berani kubayangkan akan dapat teraih, yaitu mengalami hal yang sama: berada di Tanah Suci bersama kedua orang tuaku. Dan oh.. walau aku sendiri tak berani berharap banyak, tapi Allah memang Maha Baik, sebab keinginan terpendam itu terkabul ketika kami dapat melakukan ibadah umrah bersama- sama beberapa saat yang lalu… )


***


Kembali ke cerita tentang adikku, pada tahun- tahun berikutnya di masa tinggalnya di Inggris, setiap kali mereka mudik ke Indonesia, adikku dan istrinya memilih terbang dengan Saudi Air. Dengan begitu, bisa dipastikan bahwa pesawat akan transit di Saudi Arabia. Bermalam satu dua hari di sana, mereka sempatkan untuk menunaikan ibadah umrah.


Sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Perjalanan mudik mereka atur sedemikian rupa agar dapat pula menjadi perjalanan ibadah.


Nah lalu berdasarkan pengalaman mereka itulah, ada satu hal yang mereka pesankan agar diingat untuk dibawa saat kami pergi umrah kemarin. Pesan yang tampak sederhana tapi ternyata sangat berguna: bawa botol spray.


spray-bottle1


Adikku berkata, setibanya di sana nanti, isilah botol ini dengan air zam zam.


Kegunaannya beragam. Multifungsi.


Jika kami kepanasan, kami bisa menyemprotkan air ini ke muka. Jika haus dan tak berada dekat dengan air, sekedar seteguk dua teguk air bisa didapat dengan menyemprotkan air dari botol ini ke mulut. Dan jika kami hendak shalat, atau berthawaf yang mengharuskan kami dalam keadaan suci dan berwudlu tapi kemudian wudlunya batal, tak perlu repot tergopoh- gopoh pergi ke tempat wudlu yang jauh letaknya. Cukup semprotkan air ini dan berwudlu dengan air ini saja.


Dan itu ternyata adalah salah satu nasihat terbaik yang kami dapatkan.


Terutama urusan batal wudlu itu. Tak terhitung berapa kali urusan itu terjadi dan betapa mudahnya mengatasi hal tersebut karena kami memiliki air di dalam botol tersebut.


Anak- anakku yang lelaki, bahkan menggunakan botol spray itu untuk bergurau dan saling menyemprotkan air . Kerapkali mereka berkejaran di pelataran masjid sambil saling menyemprot saudaranya.


Kami biarkan mereka melakukan itu sebab tahu walau mereka sendiri melakukan itu dengan niat bergurau dan bermain, saat air yang disemprotkan itu menyentuh kulit, mereka akan merasakan kesejukan yang menyenangkan…


spray-bottle2


Dan oh ya, botol spray ini harganya tak terlalu mahal, juga mudah didapat di toko- toko ( biasanya di bagian kosmetik atau di bagian perawatan tanaman ) tapi, jangan dilihat harganya.. mudah- mudahan Mechta bersedia menerima hadiah botol spray yang akan dikirimkan ke alamat Mechta. Nanti dibawa, ya, ke Tanah Suci. Mudah- mudahan berguna disana...


p.s:
Selamat menunaikan ibadah haji, Mechta. Semoga Mechta diberi kesehatan, kelancaran dan kemudahan selama persiapan dan selama menjalankan ibadah haji nanti. Salam dari keluarga kami, baik keluarga di dunia nyata -- yang Mechta pernah temui tahun lalu -- juga 'keluarga' di rumahkayu...


** gambar diambil dari www.nailery.com.au dan www.vancouveryogareview.com **

Tunas

Tentang 'Tunas'…


TAK pernah ada kata terlambat untuk menuliskan sebuah kekaguman.


Dan itulah yang sedang kulakukan sekarang.


Tulisan ini seharusnya kubuat sejak lama, sebab bahan bacaan untuk dijadikan dasar bahasan dalam tulisan ini telah ada di tanganku sejak beberapa saat yang lalu. Hanya saja, ‘seharusnya’ itu menjadi tertunda sebab entah kenapa, waktu yang kuniatkan untuk membaca bahan tulisan itu tergeser- geser terus oleh berbagai urusan yang seakan tak habis- habis.


Tapi tak apa.


Tak menjadi masalah bahwa niatku untuk membaca bahan tulisan ini tertunda- tunda. Tapi yang jelas, aku tak menunda niatku untuk menulis sesuatu tentang hal tersebut segera setelah usai membacanya.


Sebab apa yang kubaca itu sungguh indah dan menggelitik.


' Tunas ', begitu judul tulisan yang kubaca itu.



Seorang sahabat, Pradna, yang menulisnya.


Seperti juga para tokoh utamanya, tulisan ini tampaknya ditujukan untuk dibaca oleh para remaja. Terutama murid SMA.


Aku menyukai 'Tunas' yang ditulis Pradna ini.


tunas1


Entah apakah ini hanya kesimpulanku sendiri setelah sekian lama membaca banyak tulisan Pradna, atau memang Pradna pernah menyatakan atau menuliskannya secara eksplisit pada tulisan- tulisannya atau pada salah satu percakapannya denganku, tapi yang kupahami adalah Pradna memaknai cinta dengan cara yang sederhana. Dan tidak cengeng.


Tapi tak berarti tak ada kedalaman dan kehalusan rasa di situ.


E-book karyanya, Tunas, yang berisi beberapa buah tulisan pendek yang dapat dibaca secara sendiri- sendiri maupun dibaca secara berkesinambungan sehingga membentuk sebuah novel mini menunjukkan hal tersebut.


Tokoh utama novel mini ini adalah seorang gadis SMA tomboy juara judo bernama Rita yang temannya sejak kecil, pemuda tampan yang halus dan sangat pandai. Tetangga sebelah rumah yang bernama Rangga.


Pradna dengan manis dan segar menggambarkan bagaimana kedekatan mereka berdua terjalin. Bagaimana Rita rela untuk ‘menggagalkan’ rencana Rangga untuk ikut olimpiade dengan melatih judo, dan menggunakan uang yang diperolehnya untuk mendaftarkan Rangga turut berwisata di acara sekolah, sementara pada saat yang sama Rangga memberi les di bimbel dan menggunakan uang yang diperolehnya, tanpa sepengetahuan Rita, untuk mendaftarkan Rita agar dapat pergi ke acara wisata yang lama.


Kelucuan yang sangat khas Pradna muncul di sana- sini dalam rangkaian cerita ini.


Kemanisan pikiran dan kehalusan hatinya juga.


Cerita bagaimana Rita bekerja agar Rangga dapat pergi berwisata (sementara dia sendiri tidak, sebab uangnya hanya cukup untuk membayari satu orang ), yang ternyata juga dilakukan oleh Rangga bagi Rita yang diketahuinya sangat ingin pergi ke wisata tersebut daripada harus mengikuti kejuaraan judo, adalah salah satu dari kemanisan tersebut.


Dan ah…


Pradna mungkin tidak cengeng. Dia juga tak suka perempuan cengeng, katanya. Dia mungkin juga tak terlalu suka air mata.


Tapi sungguh air mataku menggenang ketika kubaca bagian terakhir tulisan tentang dua pelajar SMU Tunas Bangsa ini. Cerita berjudul 'Rival' ini berisi cerita tentang surat (yang bukan) surat cinta dan mawar putih.


Dan cerita ini jauh dari cengeng, tapi sungguh menyentuh.


Tulisan, memang tak bisa dihindari, selalu menggambarkan siapa penulisnya.


pradna


Pradna, bukan lagi murid SMA. Tapi sepanjang yang kuketahui, dia memang berinteraksi banyak dengan para remaja. Pradna membuat naskah teater untuk dipentaskan dan menjadi pelatih teater remaja.


Dan tak perlu dipertanyakan, dia cerdas.


Juga dia memiliki kehalusan dan kebaikan hati.


'Tunas', mewakili apa yang ada pada diri dan hati Pradna.


Mewakili cita- citanya untuk melihat para remaja mengisi hari dengan kegiatan yang berguna, tanpa kehilangan kelucuan dan keceriaan mereka. Mewakili keinginannya agar para remaja tidak cengeng, dan menjadi remaja yang kuat menghadapi hidup. Tak seperti para remaja yang digambarkan di sinetron- sinetron di TV yang hidup tanpa tujuan, dengan gaya hidup hedonis dan bermewah- mewah serta tindak- tanduk yang kasar dan tanpa etika, memaki serta menampar orang seenaknya.


Semoga, seperti yang dicita- citakan oleh Pradna, diluar apa yang ditunjukkan oleh sinetron- sinetron tak bermutu itu, dalam kenyataannya lebih banyak remaja- remaja yang berbudi baik, cerdas dan bertanggung jawab atas kehidupan diri dan lingkungannya seperti Rita dan Rangga…


p.s.


Tulisan berjudul “Tunas” ini dipersembahkan oleh Pradna bagi “Wanita Angin”. Ehm! Perempuan yang beruntung… ;)


<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4 <![endif]--><!--[if gte mso 9]> <![endif]-->


** gambar diambil dari facebook dan blog Pojok Pradna **




Bukit Magnet

Tentang bukit magnet...

BEBERAPA tahun silam, tak lama dari saat dimana anak gunung Kelud terbentuk kami sempat berwisata ke sana.

Anak Gunung Kelud muncul di akhir tahun 2007, ketika aktivitas vulkanik Gunung Kelud meningkat. Waktu itu, lava yang keluar dari kawah Gunung Kelud membentuk sebuah kubah lava dengan tinggi 250 meter dan diameter 456 meter.

Dalam perjalanan kami menuju gunung Kelud yang terletak di Kabupaten Kediri, Jawa Timur itulah, pada sebuah ruas jalan, kami melihat banyak orang berhenti. Beberapa memperhatikan mobil yang berada di ruas jalan itu sambil menunjuk- nunjuk.

Mulanya kami tak tahu apa yang terjadi di tempat itu, tapi belakangan kami dapati informasi bahwa di potongan ruas jalan sepanjang 100 meter tersebut, konon, mobil bisa berjalan sendiri saat posisi persneling mobil dibuat netral.

Uniknya, arah jalan mobil berlawanan dengan gravitasi. Artinya , mobil dapat bergerak sendiri kea rah yang menanjak, bukan bergerak kearah menurun seperti yang lazimnya terjadi.

Peristiwa yang terjadi di Kelud itu teringat kembali ketika kami berjalan- jalan di seputar Madinah beberapa waktu yang lalu.

Ada tempat di Madinah yang disebut Jabal Magnet.

Jabal sendiri artinya bukit.

Jabal paling terkenal di Madinah, tentu saja adalah Jabal Uhud ( Bukit Uhud ) yang merupakan bagian penting dalam sejarah Islam. Bukit Uhud adalah tempat terjadinya pertempuran yang antara kaum muslim dan kaum Quraisy pada tahun 625 Masehi. Dalam pertempuran itu tentara Islam dipimpin langsung oleh Rasulullah, Nabi Muhammad s.a.w.

Berbeda dengan Bukit Uhud yang berada di Tanah Haram Madinah, Jabal Magnet, atau di kalangan penduduk setempat lebih dikenal dengan nama Manthaqotul Baido (tanah putih) berada di kawasan Tanah Halal. Letaknya kira- kira sekitar 20 - 30 KM dari pusat kota Madinah.

jabal-magnet21

Tentang tanah halal dan tanah haram, perbedaannya adalah, tanah haram adalah tempat yang hanya dapat dimasuki oleh kaum Muslimin. Di tanah halal, baik kaum Muslimin maupun yang tidak dapat berada dan tinggal disana.

Beberapa hal lain yang juga tak diijinkan dilakukan di tanah haram tapi bisa dilakukan di tanah halal adalah membunuh binatang serta merusak tanaman ( memetik dedaunan, dan semacamnya ).

***



Madinah yang pada zaman Nabi Muhammad s.a.w merupakan pusat dakwah, pengajaran dan pemerintahan Islam secara geografis merupakan kota yang dikelilingi gunung dan bukit bukit serta beriklim gurun.

jabal-magnet3

Kita yang berasal dari Indonesia tentu tak asing dengan bukit dan gunung. Tapi bukit dan gunung di Indonesia umumnya hijau, sejuk dan penuh pepohonan.

Tidak begitu dengan perbukitan yang menjadi daerah wisata di sekitar kota Madinah ini. Tanahnya tandus, gersang, berbatu dan sepanjang yang dapat kuamati, hanya ada semacam pohon berupa semak yang tumbuh di sana sini.

jabal-magnet1

Tapi sungguh, betapapun gersang dan panasnya suasana di sana, aku tak mempertanyakan mengapa tempat tesebut oleh penduduk Madinah sendiri dijadikan tempat wisata. Sebab, walau tandus dan sangat panas, tempat itu indah. Keindahan yang berbeda dengan suasana pegunungan yang biasa kita dapati, tapi tetap saja indah.

Penduduk Madinah di saat senggangnya sering berwisata ke tempat ini. Mereka biasa mendirikan tenda dan berkemah di sana. Di satu dua lokasi, juga terdapat tempat dimana ada permainan kanak- kanak semacam ayunan bisa didapati.

Saat kami berada di sana, sebuah mobil berwarna dasar putih dengan gambar- gambar warna warni ada di sana... menjual es krim!

mobil-es-krim-jabal-magnet

Es krim rasa vanila dan coklat dalam cone itu sungguh nikmat terasa dalam udara panas mendekati 50 derajat Celcius itu.

***



Kembali ke cerita tentang Jabal Magnet, ada beberapa versi cerita yang kudapat.

Versi pertama, seperti yang disampaikan oleh pemandu wisata kami adalah bahwa pusat magnet di area ini berada di bawah tanah dan area ini merupakan area yang dihindari oleh penerbangan pesawat. Sebuah artikel yang pernah kubaca mengatakan bahwa konon, Jabal Magnet ini merupakan pusat magnet terbesar di dunia,

Memang, kusaksikan sendiri bahwa apa yang terjadi di sini jauh lebih besar dengan apa yang pernah kusaksikan di daerah Kelud. Di Kelud, kami harus dengan sangat cermat mengamati pergerakan mobil, tapi di Jabal Magnet ini, gaya tarik yang berlawanan dengan arah gravitasi itu jelas terlihat.

Supir bus kami mematikan mesin dan memasang persneling bus besar itu pada suatu ruas jalan yang menurun, dan bus kami berjalan sendiri. Tidak, bukan berjalan maju ke arah yang menurun itu, tapi berjalan mundur mendaki ke atas!

Dalam perjalanan pulang, di ruas jalan sepanjang kira- kira 2-3 KM itu supir bus kami mematikan mesin dan bus besar sarat penumpang itu meluncur kencang dengan kecepatanrata- rata sekitar 120 KM/jam.

Versi kedua, yang juga telah banyak dituliskan dalam banyak artikel tentang bukit- bukit magnet yang ada di beberapa tempat di dunia, termasuk mengenai ruas jalan di Gunung Kelud maupun di Jabal Magnet Madinah ini mengatakan bahwa sebenarnya tak ada magnet di sana.

Yang terjadi adalah ilusi optik.

Tempat semacam ini merupakan sebuah lereng yang ( sebenarnya ) menurun sedikit tapi karena tata letak tanah di sekitarnya menciptakan sebuah ilusi optik seakan air mengalir ke arah yang lebih tinggi atau mobil dengan gigi netral berjalan ke arah yang menanjak.

Aku ingat bahwa di Gunung Kelud kusaksikan juga ada beberapa orang yang menggulingkan botol plastik berisi air di ruas jalan dimana mobil dibiarkan berjalan sendiri untuk menguji apa yang terjadi di tempat itu.

Bagiku sendiri, sungguh tak terlalu penting apakah yang sebenarnya memang ada magnet di sana atau hal tersebut merupakan sebuah ilusi optik. Apapun yang terjadi, bagiku, menyaksikan hal- hal semacam ini, tak bisa lain, kekaguman atas kebesaran Yang Maha Kuasa menjadi bertambah tebal.

Jabal Magnet ini, seperti yang telah kusebutkan di atas, merupakan tempat wisata. Jadi perjalanan kami ke sana memang perjalanan wisata, bukan termasuk perjalanan ziarah. Tapi sungguh, walaupun tak termasuk dalam rangkaian perjalanan ziarah, saat kami menuju dan berada di sana, tak bisa hati ini berhenti mengagumi ciptaanNya.

Subhanallah. Allahu Akbar…

p.s. Foto diambil di Jabal Magnet, Juli 2011

MasukDapur: The Book

Senja menjelang…



ADA kesibukan di dapur rumah kayu.

“ Bunda, aku yang cetak ya Bunda… “ terdengar suara Pradipta.


Dee yang sedang mengaduk- aduk adonan di atas kompor mengangguk.


Lalu tak lama kemudian, terdengar suara Dee bicara pada Pradipta, " Tolong kacangnya bawa ke sini , Dipta... "


Si kecil meraih mangkuk berisi kacang mede cincang dan memberikannya pada Dee yang kemudian memasukkan sebagian kacang itu ke dalam adonan yang sedang diaduknya. Sementara itu Pradipta sendiri menyusun beberapa wadah agar- agar kecil dengan bentuk bermacam ragam, dari mobil- mobilan sampai bentuk bintang, juga strawberry.


Sore itu, menjelang jam buka puasa, Dee sedang membuat Puding Brownis yang resepnya dia ambil dari buku yang disusun oleh sahabatnya, Hes.


Hes menerbitkan sebuah buku edisi puasa dan lebaran. Buku yang sungguh sangat disukai Dee dan direkomendasikannya pada beberapa kawan.


buku-masukdapur


Buku “ MasukDapur: The Book “ edisi puasa dan lebaran itu bukan hanya memuat resep masakan, tapi banyak tips praktis dan sangat berguna.


Tips- tips yang mungkin kita sudah pernah tahu tapi sungguh, ketika tips- tips tersebut dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah buku semacam ini, Dee menemukan bahwa tips itu menjadi berlipat ganda kegunaannya.


Apalagi tips tersebut diberikan tepat waktu.

Anak- anak, Sekolah dan Kemerdekaan

Matahari dengan murah hati membiaskan cahayanya di pagi hari kemerdekaan ini…

KUTI, Dee dan ketiga anak mereka berada di halaman rumah kayu. Pradipta, seperti biasa, tanpa henti berlarian kesana kemari. Si kecil Nareswara dan Nareswari dengan lucu berdiri sambil berpegangan pada meja dan kursi lalu perlahan melepaskan tangan mereka dan berusaha berdiri sendiri dengan ajeg.


Dee tersenyum senang. Saat- saat seperti ini selalu membahagiakan. Berada di rumah yang damai saat cuaca cerah, diantara orang- orang yang sangat dicintainya.


Kuti memegang map dengan beberapa lembar kertas di dalamnya. Hasil kerja Pradipta di sekolah yang dibawa pulang setelah diberi nilai oleh gurunya. Tampak dia berhenti agak lama saat membaca sebuah lembaran. Dee melirik sejenak. Pelajaran Bahasa Indonesia tampaknya, sebab Dee melihat ada beberapa gambar di situ. Dugaannya adalah itu tugas menyusun gambar dengan urutan yang sesuai dan menuliskan cerita atas tersebut.


Kuti membalik halaman kertas itu. Dugaan Dee kelihatannya benar, sebab di halaman kedua tampak tulisan tangan Pradipta yang dibaca Kuti dengan seksama.


Lalu tiba- tiba…


Kuti tertawa terbahak- bahak.


Dee menatap suaminya dengan heran.


Ada apa?


Kuti masih terus terbahak sambil mengangsurkan kertas yang barusan dibacanya pada Dee.


“ Bacalah, Dee, “ kata Kuti. Sambil memberikan kertas tersebut pada istrinya, dia bergerak mendekati si kembar. Saat Dee membaca, tentu dialah yang harus menjaga si kembar yang baru belajar berdiri itu.


Dee membaca lembaran itu. Dilihatnya bagaimana Pradipta menuliskan angka- angka yang mengurutkan gambar- gambar yang diacak dalam tugas tersebut sesuai urutan yang seharusnya. Kemudian dibacanya lembaran kedua dimana Pradipta membuat tulisan berdasarkan gambar itu.


MEMBUAT RUMAH, begitu judul yang ditulis Pradipta. Lalu ada karangan singkat di bawahnya.


Pada suatu hari, seorang bapak- bapak ingin membuat rumah, lalu dia ke toko bahan rumah. Lalu pegawai toko itu membuat rumah, dengan santai menyusun bata.




Setelah jadi mereka membuat atap dengan bentuk yang bagus dan kuat agar saat hujan tidak bocor. Lalu rumah itu jadi dan diisi oleh pemesan yang memesan rumah itu, tapi masih mencicil karena harganya sangat mahal.


Oh. Ha ha ha. Seperti Kuti tadi, Dee juga tertawa terbahak- bahak.


Masih mencicil karena harganya mahal, tulis Pradipta? Ha ha ha.


Urusan cicil mencicil ini tentu saja tak tampak pada gambar- gambar yang ada dalam tugas di sekolah Pradipta. Itu murni datang dari pikirannya.


Dee tertawa geli lagi.


Si kecil Pradipta pasti menulis hal tersebut sebab dia sering mengobrol dengan Kuti dan Dee yang memang biasa menceritakan hal- hal yang berkaitan dengan kehidupan nyata pada anaknya. Termasuk bahwa karena harga rumah mahal, maka kebanyakan orang meminjam uang dari bank untuk membangun rumah dan kemudian membayar sejumlah uang setiap bulan ke bank untuk mencicil pinjaman tersebut.


Tapi sungguh, saat menceritakan hal- hal semacam itu pada Pradipta, baik Kuti maupun Dee sama sekali tak menyangka bahwa cerita semacam itu akan muncul dalam tulisan yang dibuat anaknya di sekolah. Ha ha ha…


Dee memperhatikan Pradipta yang masih berlarian kesana kemari lalu dia  memperhatikan kembali lembaran- lembaran hasil kerja Pradipta. Sejauh ini hasil kerjanya baik.


Dan yang paling penting, dia tampak gembira dan bahagia di sekolahnya.


Ah, sungguh, tak ada yang lebih diharapkan Dee bahwa anak yang dikasihinya itu akan tumbuh dengan baik sesuai potensinya. Bahagia di rumah, bahagia di sekolah.


Keinginan yang tampak sederhana, tapi Dee tahu, kadangkala dalam kenyataannya tak sesederhana itu.


Ada banyak kejadian dimana pola asuh di rumah, dengan cara didik di sekolah ternyata tak sejalan. Ada banyak kebingungan yang harus dihadapi anak yang dididik dengan cara egaliter dan diijinkan bicara di rumah serta dihargai keunikan dan diijinkan untuk berbeda ketika harus menghadapi lingkungan, atau bahkan para guru yang menanamkan nilai- nilai yang berbeda.


Ada banyak kasus ketika anak- anak yang potensial justru dibungkam dan terhambat prestasinya di sekolah justru karena tak dipahami. Karena ide- ide orisinilnya tak dihargai dan lalu bahkan direndahkan atau bahkan dikucilkan.


red-and-white-baloons




Dee ingat bahwa pada suatu hari dia pernah mengantarkan Pradipta menggambar di sebuah sanggar lukis dan saat dia berjalan berkeliling sanggar, dengan kaget didapatinya sebuah kanvas lebar dengan gambar bergaya kanak- kanak, tapi apa yang digambarkan sangat tidak umum digambar anak- anak.


Juga warnanya begitu kelam.

Putaran Roda Kehidupan

Suara gelak tawa terdengar dari sana sini...

DEE sedang berkumpul dengan beberapa orang kawan baiknya saat itu. Mereka sedang berbuka puasa bersama.

Seperti biasa, beragam kisah dan cerita dipercakapkan saat itu.

Termasuk...

“Wah... ”. terdengar suara Kinanti, salah seorang kawan Dee yang sedang bicara pada Sekar, seorang kawan lain.

“ Lalu bagaimana sikap Didiet pada Edi? ” terdengar lagi suara Kinanti.

Dee menyimak percakapan tersebut sambil menduga-duga. Kinanti dan Sekar adalah kawan lama dari masa sekolahnya. Mereka berdua pernah bekerja di kantor yang sama.

Dee sendiri tak pernah sekantor dengan kedua kawannya itu sehingga dia tak mengenal orang- orang yang namanya disebutkan oleh Kinanti pada Sekar.

" Kawan sekantor? " tanya Dee pada kedua kawannya itu.

Serentak keduanya mengangguk.

" Ya Dee, " jawab Kinanti.

" Edi pernah menjadi supervisor langsung kami bertahun- tahun yang lalu, " komentar Sekar.

" Dan Didiet? " tanya Dee.

" Didiet seangkatan dengan kami, " kata Kinanti. " Saat mulai bekerja, kami mendapatkan training bagi pemula. Kami ada dalam angkatan yang sama saat training tersebut. "

Hmmm. Dee mengangguk mengerti. Dia diam lagi mendengarkan percakapan tersebut.

" Jadi, bagaimana sikap Didiet pada Edi? " terdengar Kinanti mengulangi pertanyaannya pada Sekar.

" Didiet baik, " jawab Sekar, " Dia fair, memperlakukan Edi selayaknya perlakuan yang baik pada anak buahnya. Dia juga memberikan supervisi padanya. "

" Wow ! " seru Kinanti, " Dia tidak membalas dendam sama sekali ? "

" Sepertinya tidak, " jawab Sekar. " Dia bijak dan bersikap sangat patut. "

" Hmmm... " komentar Kinanti. Lalu sebelum Sekar sempat berkata- kata lagi, Kinanti sudah melanjutkan bicaranya.

" Aku sungguh ingin tahu, " kata Kinanti, " Apa yang ada dalam perasaan Edi. Terutama mengingat apa yang dulu pernah dilakukannya pada Didiet... "

Sekar mengangguk.

Kemudian, menyadari bahwa ada Dee diantara mereka, Kinanti menerangkan pada Dee bahwa dulu, di kantor mereka yang lama, Edi yang sedang mereka percakapkan pernah menjadi supervisor mereka. Baik Kinanti, Sekar dan Didiet ada di dalam unit yang sama dimana Edi menjadi atasan mereka.

" Dan Edi ini sama sekali bukan model supervisor idaman, Dee, " kata Sekar pada Dee, " Dia sama sekali tak punya perhatian pada anak buahnya. Sikapnya bossy. Sangat penuntut, seringkali mempekerjakan anak buahnya secara berlebihan, dan memberikan penilaian berdasarkan like dan dislike. Seringkali ada banyak faktor yang sebenarnya tak ada hubungan dengan pekerjaan yang bisa dibuatnya menjadi masalah untuk membuat bawahan, terutama yang tak disukainya,  tampak sangat buruk."

Tak perduli dia benar atau salah, Edi adalah jenis atasan yang memberikan titah tak terbantah pada anak buahnya. Bicara dengan bahasa yang kasar dan semena- mena pula pada para anak buah.

" Di unit kami dulu, " kata Kinanti, " Ada tenaga administrasi yang rajin luar biasa. Namanya Lina. Kami semua terbantu karenanya."

" Tapi pernah suatu hari, Dee, " lanjut Kinanti, " Ada perubahan posisi meja- meja di dalam kantor kami. Lina ditempatkan duduk berdekatan dengan Edi. Dan tahu tidak Dee, di hari pertama hal tersebut terjadi, Edi dengan suara keras berkata, " Ini siapa sih yang ngatur tempat duduk? Masa' aku ditempatkan berdekatan dengan nyamuk kebun begini? "

Dee tercengang. Nyamuk kebun? Ada seseorang yang mengatakan sesuatu yang sangat menghina dan tidak patut begitu pada orang lain?

" Jadi, Edi menghina Lina, dengan mengata- ngatai dia sebagai nyamuk kebun? " tanya Dee

Kinanti dan Sekar serentak mengangguk.

" Lina secara fisik mungkin tidak memenuhi kriteria Edi tentang apa yang disebut canyik, Dee, " kata Sekar, " Dan begitulah yang dikatakannya. Lina sendiri ada di mejanya saat itu. Aku yakin dia mendengar apa yang dikatakan Edi. "

Dee menggeleng- gelengkan kepala.

" Ya tapi begitulah, roda berputar kan? " komentar Kinanti.

Sekar mengangguk setuju.

" Diantara teman- teman seunit dulu, Dee, Didietlah yang paling sering menjadi korban ketidak adilan Edi. Mereka memang beda gaya bekerja. Didiet pandai, hati- hati dan jujur saat bekerja sementara Edi cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Dan sering kali di muka umum Edi marah- marah pada Didiet, mengatakan bahwa Didiet tak melakukan pekerjaan yang diminta dengan baik. Saat penilaian tahunanpun Edi memberi nilai yang tak terlalu baik pada Didiet... "

Dee mulai dapat menyusun kepingan cerita kedua kawannya.

" Lalu kini, setelah sekian tahun berlalu, karier Didiet menanjak dan dia menjadi atasan Edi? " tanya Dee.

Kinanti dan Sekar mengangguk.

roda

Setelah bekerja beberapa lama di perusahaan yang lama, Didiet dan juga Sekar, memutuskan untuk bekerja di tempat lain., Kebetulan keduanya diterima di sebuah perusahaan yang sama sehingga Didiet dan Sekar sekantor lagi di perusahaan baru itu.

Kinanti tetap bertahan di tempat yang lama. Begitu pula Edi.

" Keluhan tentang Edi terus bermunculan, " kata Kinanti, " Kariernya mandek di perusahaan kami, " kata Kinanti, " Lalu dia pindah ke tempat lain. "

" Pindahnya ke kantorku, Dee, " kata Sekar, " Mulanya dia masuk di unit lain, tapi ketika ada rotasi, dia ditempatkan di unit dimana Didietlah yang kini menjadi kepala unit tersebut. "

Dee mengangguk mengerti.

" Dan sikap Didiet pada Edi, mantan atasan tak adil dan semena- mena yang kini menjadi bawahannya tetap baik, kalau mendengar cerita kalian tadi? "

Sekar mengangguk.

Ya.

" Didiet bersikap biasa saja, Dee, tak membedakan sikapnya pada Edi karena apa yang terjadi di masa lalu, " kata Sekar.

" Lalu apa kabarnya Lina? " tanya Dee ingin tahu.

" Lina tetap ada di kantor kami. Dia sudah menjadi kepala unit di bagian administrasi sekarang Dee. Masih tetap serajin dan helpful seperti dulu... "

Dee meneguk teh hijau hangat yang ada di hadapannya. Dinikmatinya kehangatan yang mengalir di kerongkongan. Lalu perlahan disuapkannya sesendok makanan ke dalam mulut.

Ah, pikir Dee, roda kehidupan memang berputar. Karena itulah sebenarnya orang- orang yang pada suatu saat sedang berkuasa seharusnya menjaga sikap. Sebab semua ada waktunya. Orang yang dulu menjadi bawahan bisa saja suatu saat bahkan menjadi atasan langsung.

Dee membayangkan apa perasaan orang seperti Edi saat kini menjadi bawahan Didiet, orang yang dulu pernah diperlakukan semena- mena olehnya, yang kini tetap bersikap baik sebagai atasan kepada Edi...


p.s. posting ini terinspirasi oleh sebuah kisah nyata yang diceritakan seorang kawan.. i love you


** gambar diambil dari: forums.aaca.org **

Rumah Kayu: Mimpi, Blog, Imajinasi dan Kenyataan

Lagi, tentang rumah kayu...

MEMILIKI rumah kayu yang terletak di sebuah daerah yang indah, telah lama ada dalam daftar mimpi-mimpiku.

Sedemikian dalamnya keinginan itu hingga suatu hari, beberapa saat setelah kubangun blog-ku yang pertama, daunilalang, dan setelah itu memutuskan untuk membuat satu blog lain, nama yang secara spontan terpikir olehku untuk digunakan sebagai nama blog adalah rumahkayu.

Benar, rumahkayu ini mulanya kudaftarkan di blogdetik sebagai nama sebuah blog pribadi sebelum pembicaraan tentang blog duet muncul. Kubuat blog ini dengan niat untuk kuisi kapan- kapan.

Lalu, seperti telah berulang kali diceritakan, pada suatu hari ide untuk menulis bersama dilontarkan Kuti padaku. Ide yang sungguh membuatku terlonjak senang dan tanpa ragu menyetujui ide tersebut walau saat itu belum tahu apa yang akan kami tuliskan dalam blog duet tersebut.

Dan juga, belum tahu, apa nama blog duet itu.

Lalu, sebab belum tahu itulah, kukatakan pada Kuti bahwa sebenarnya aku memiliki sebuah blog kosong bernama rumahkayu. Pemberitahuan yang diluar dugaanku dengan serta- merta disambut oleh Kuti dengan, " Oh, nama rumahkayu itu bagus. Kita pakai saja yang itu... "

Jadi, begitulah. Kami menyepakati bahwa blog duet kami akan menggunakan blog rumahkayu yang sudah kudaftarkan itu.

Sejujurnya, saat itu aku sebenarnya agak heran bahwa Kuti menyukai nama rumahkayu. Bagiku jelas apa asal usulnya nama itu muncul dalam kepalaku, tapi aku sungguh tak tahu mengapa Kuti juga menyukainya.

Dan tak pernah kutanyakan padanya tentang hal itu...

***



Bahwa pada akhirnya kami menulis banyak topik di blog rumahkayu ini dalam kemasan fiksi tentang sebuah keluarga kecil yang tinggal di sebuah rumah kayu, juga tak pernah kami rencanakan di depan.

Hal tersebut terjadi begitu saja dengan spontan. Posting- posting awal yang hadir di blog rumahkayu yang menceritakan tentang berkemah di halaman rumah, tentang sungai yang mengalir di belakang rumah kayu yang ditinggali Kuti, Dee dan Pradipta, semua itu muncul begitu saja saat menulis.

Kembali, bagiku, jelas darimana mulanya muncul beragam khayalan itu. Ada banyak hal yang menjadi setting fiksi di blog rumahkayu sebetulnya merupakan perpanjangan mimpi- mimpiku tentang rumah kayu yang ingin kubangun kelak.

Kuti, tentu saja menulis di blog rumahkayu ini dengan setting yang sama. Tentang rumah kayu yang sama. Uniknya, aku sendiri tak pernah bertanya, dan dia juga tak pernah sengaja mengatakan padaku apa sebenarnya pendapat atau bayangannya tentang ide untuk tinggal di sebuah rumah kayu di dunia nyata. Sama sekali tak terpikir olehku bahwa dia memiliki rencana untuk tinggal di sebuah rumah kayu.

***



Lalu, suatu ketika...

Kami dua keluarga berkesempatan untuk bertemu.

Ada suatu hari yang indah dimana kami dapat berjalan- jalan bersama.

Dan beragam 'kebetulan' yang 'terlalu kebetulan' terjadi hari itu.

Ada rumah kayu sangat indah yang kami lintasi saat itu. Ada danau, kupu- kupu, bunga, dan bahkan... ada elang yang terbang melayang di atas kami.

Burung elang!

Berapa besar kemungkinan bahwa kami sedang berjalan- jalan bersama- sama dan kami melihat seekor burung elang terbang di langit biru,  seperti yang pernah kutuliskan dalam sebuah fiksi di blog rumahkayu ini ?

Kemungkinan itu kecil.

Tapi hal tersebut terjadi.

Aku mencatat hal tersebut dalam memory-ku. Tentang suatu hal sangat khas yang pernah dituliskan di blog rumahkayu ini yang ternyata kami temukan dan alami di dunia nyata...

***


Mimpi- mimpi tentang tinggal di sebuah rumah kayu, tak pernah hilang. Aku masih menginginkannya, memimpikannya, setiap saat, setiap detik.



Suami dan anak- anakku, tetap tak terlalu tertarik untuk membangun sebuah rumah kayu di lahan yang telah kami miliki. Tempat indah yang terletak di kaki gunung, dimana ada sungai mengalir di belakang lahan itu,tempat dimana telah kutanam beberapa pohon bungur dan jacaranda yang kini telah mulai berbunga. Sebab tempat itu terlalu jauh dari tempat tinggal kami saat ini.

jacaranda1


Aku sendiri, tentu saja, tak ingin tinggal di tempat dimana suamiku tak tertarik untuk tinggal. Seindah apapun tempat itu.


Karenanya, pada suatu saat aku bergurau dengan mengatakan pada suamiku bahwa mungkin agar mimpi membangun rumah kayu itu dapat terwujud, yang perlu dilakukan lebih dulu adalah membeli lagi sebidang tanah di tempat lain, di lokasi dimana suami dan anak- anakku tertarik untuk tinggal suatu saat nanti.


Dan kebetulan 'yang terlalu kebetulan' itu terjadi lagi.


Gurauan itu tanpa sengaja tercapai, dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.


Hanya selang beberapa jam dari saat gurauan itu kuucapkan, tak ada hujan tak ada angin, tanpa sengaja kuketahui bahwa ada sebidang tanah ditawarkan untuk dijual dengan harga miring. Kemudian secara iseng, kuajak suamiku untuk melihatnya.


Dan kami jatuh hati pada pandangan pertama.


Tanah itu terletak di ketinggian. Ada dua gunung bersisian yang sangat jelas tampak dari lokasi tersebut.


Juga... ada sebuah hutan cemara yang terlihat di kejauhan.


Kontur tanahnya berbukit- bukit, dengan pemandangan luas ke arah kota di bawah sana.



Sempurna.

Persis seperti mimpi- mimpiku, walau tanpa sungai yang mengalir di belakangnya.


Kami menghitung tabungan kami. Ternyata, jumlahnya cukup untuk membeli tanah tersebut.


Begitulah, sungguh tanpa sengaja dan tak direncanakan sama sekali, akhirnya kami temukan lokasi itu. Lokasi dimana rumah kayu kami kelak akan dibangun.


Aku sungguh gembira, walau aku harus memulai lagi semuanya dari awal. Mencari kembali bibit bungur dan jacaranda untuk ditanam di sana, merancang dimana pohon buah- buahan sebaiknya ditempatkan, dan sebagainya. Tapi sungguh aku sama sekali tak keberatan tentang hal ini...


Lalu... kabar itu datang.


Ketika aku masih sibuk dengan mimpi- mimpiku, Kuti ternyata telah mewujudkan mimpi tentang tinggal di rumah kayu.


Oh...


Dulu, Kuti pernah menuliskan komentar di blog daunilalang. Dia mengatakan " Dee memiliki kemampuan berimajinasi, kosakata berlimpah, dan punya teknik indah untuk menggabungkan imajinasi dengan kata- kata..."


Ha ha ha.


Begitulah. Ketika aku masih sibuk dengan beragam imajinasi tentang rumah kayu yang akan kubangun, Kuti malah telah membangun dan menempati rumah kayu ( yang ternyata sama- sama kami cita- citakan ) di dunia nyata.


Sungguh... kabar tentang Kuti dan rumah kayu-nya itu kusambut dengan sangat gembira.



Beberapa kali kami memperbincangkan hal tersebut. Dan seperti yang biasa terjadi jika kami sedang bicara tentang blog rumahkayu, ada saja ide spontan salah satu dari kami yang ternyata juga diinginkan atau disepakati yang lain.

Kali ini, hal tersebut terjadi lagi. Walau, berbeda dengan biasanya dimana kesepakatan itu akan kami tuangkan bersama dalam tulisan- tulisan kami di blog rumahkayu, kali ini kami akan mewujudkannya di dua tempat yang berbeda.

Kami bicara tentang sejenis tanaman yang menurut kami menarik dan sama- sama berencana menanam pohon tersebut sebagai pagar hidup untuk membatasi halaman rumah kayu kami dengan halaman tetangga.

Jadi... kawan- kawan, jika suatu saat kelak ada diantara kawan- kawan yang berkesempatan untuk berkunjung ke rumah kayu kami di dunia nyata, tak perlu heran jika nanti mendapati bahwa tanaman di pagar rumah kami adalah jenis tanaman yang sama. Sebab hal tersebut merupakan sebuah 'kebetulan' yang disengaja.

Pagar itu, biarlah menjadi benang merah yang mengikat persaudaraan kedua keluarga kami. Persaudaraan nyata yang dimulai dari mimpi- mimpi dan cerita fiksi...

p.s. i love you


** gambar diambil dari Wikipedia **

Rumahkayu di dunia nyata...

RUMAHKAYU di blog ini fiksi. Sebagian besar dari teman-teman yang rutin mengunjungi blog ini pasti sudah tahu. Namun bagaimana dengan rumahkayu di dunia nyata?

Sejak sebulan terakhir, kami menjajaki tinggal di rumahkayu. Tentu dengan segala kerepotan. Juga berbagai pertimbangan (seperti apakah harus mengangkut perabot dari rumah lama atau membeli yang baru).

Tapi menempati rumah yang baru, dengan lingkungan yang baru dan tetangga yang baru itu menyenangkan, ternyata. Sejauh ini kami cukup menikmati. Anak-anak juga.

Tinggal di rumahkayu menjadi pembenaran atas apa yang  disenandungkan grup musik cadas God Bless tempo dulu:

"Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa, semuanya... ada di sini... Rumah kita..." ;)

rumahkayu1

rumahkayu2

rumahkayu3

rumahkayu4

Kemurahan Hati Dibalik Seteguk Air Zam Zam

Kemurahan hati itu…


KEBAIKAN, ketulusan, kemudahan dan kemurahan hati yang berlimpah telah kami alami semenjak di Madinah.


Dan subhanallah, sungguh Maha Suci Allah…


Di Mekah, semua itu berulang lagi… lagi… dan lagi…


Suhu udara berkisar antara 48 – 52 derajat Celcius saat keluarga kami menunaikan ibadah umrah saat itu. Aku sendiri tak benar- benar melihat thermometer, tapi aku merasa bahwa di Mekah, udara lebih panas daripada di Madinah.


Selera makanku menurun drastis, sementara rasa haus terus menerus menerpa.


Semenjak tiba di Madinah, kami membiasakan diri untuk minum sesering mungkin. Air zam zam, walaupun sumbernya berada di Mekah, ada berlimpah di Masjid Nabawi, Madinah. Banyak gentong- gentong air berderet di dalam masjid. Kami membiasakan untuk minum begitu masuk masjid dan saat meninggalkan masjid, juga beberapa kali diantaranya ketika berada di masjid.


Di Masjidil Haram, air zamzam, tentu saja juga ada dimana- mana. Tapi karena masjid ini sangat luas, atau mungkin juga karena udara sangat panas, aku merasa bahwa jarak dari suatu titik ke titik lain dimana kita bisa memperoleh air zam zam ini lebih jauh daripada di Madinah. Entah benar atau tidak hal ini, tapi itulah yang kurasakan.


Dan karena itu, berkekurangan airkah kami?


Subhanallah, tidak. Tidak sama sekali.


air-zam-zam


Suatu siang, di hari pertama kami berada di Mekah, seusai shalat duhur, aku dan putriku berjalan berkeliling di Masjidil Haram. Dan pada suatu ketika, aku mulai merasa haus. Kulayangkan pandang ke sekeliling, mencoba mencari tempat dimana bisa kudapatkan air. Belum juga kulihat tempat itu ketika seorang anak lelaki berkebangsaan Arab tiba- tiba menghampiriku dan mengulurkan segelas air.


Aku tercengang. Dia tersenyum dan berkata, “ Zam zam, “ katanya.


Lalu dia berlari lagi dan kembali dengan segelas air yang diulurkannya pada putriku. Dia melakukan hal itu juga pada beberapa orang lain yang melintas. Di dekatnya ada seseorang yang kuduga adalah orang tuanya, mengawasi apa yang dilakukan anak itu sambil tersenyum.


Kuucapkan rasa syukurku dalam hati sambil meneguk air yang sungguh menyejukkan itu. Oh, terimakasih atas rejeki ini ya Allah.


***


Dan hal semacam itu terjadi berulang kali.


Tak lama seusai kami berkeliling masjid, aku dan putriku duduk di lantai atas yang menghadap pintu Ka’bah. Kami menunaikan beberapa shalat sunat dan sempat minum lagi segelas air zam zam. Lalu kembali duduk, berdoa dan menunaikan beberapa shalat sunat lagi.


Panas sangat menyengat. Kembali rasa haus mendera. Putriku sudah berdiri hendak mengambil air ketika terdengar suara adzan. Dia membatalkan niatnya dan duduk kembali.


Para jamaah mulai berdatangan.


Seseorang mendekat dan bertanya pada putriku apakah tempat di sebelahnya kosong. Putriku mengangguk dan menggeser duduknya. Perempuan asal Timur Tengah itu duduk sebentar. Dia shalat dua rakaat lalu seusai shalat dia menoleh pada kami, berkata dalam bahasa Inggris bahwa dia hendak mengambil minum dan menawarkan pada kami apakah kami ingin dia mengambilkan air juga bagi kami.


Putriku diam sambil menatapku. Aku tersenyum, mengangguk dan mengucapkan terimakasih atas tawaran itu. Ya, terimakasih banyak atas tawarannya.


Begitulah. Perempuan cantik itu kembali dengan tiga gelas air zam zam. Dua gelas diulurkannya pada kami sementara yang segelas diminumnya sendiri.


Maha Besar Allah.


Nikmat apa yang dapat melampaui nikmat ketika kita berada di dekat Ka’bah, menjadi tamu di rumah Allah dan berkelimpahan rejeki semacam itu?


Sungguh, selama berada di Mekah, di Masjidil Haram, setiap teguk air zam zam yang memasuki kerongkonganku kuhitung sebagai rejeki besar.


Sebab, begitu banyak kebaikan manusia dan kemurahan Allah di baliknya…


***


Kali lain, seusai shalat, kami kembali mengantri untuk mengambil air di gentong- gentong yang tersedia.


Ada 3 orang di depanku. Seorang ibu yang ada di barisan paling depan berjongkok mengucurkan air dari gentong. Aku berdiri menanti, dan…


Entah mengapa, ibu- ibu yang aku tak tahu berkebangsaan apa itu, tiba- tiba menatapku lalu mengulurkan gelas penuh berisi air yang baru saja dikucurkannya dari gentong padaku.


Aku sungguh tak percaya. Dia mengantri, dan bahkan kutahu pasti dia sendiri belum minum setegukpun, juga, ada dua orang yang berada di depanku, tapi gelas pertama yang diisinya air diulurkannya padaku.


Kuterima uluran gelas itu. Kutangkupkan tanganku di depan dada dan mengangguk, memberikan tanda ucapan terimakasih yang dibalasnya kembali dengan anggukan. Kuteguk air itu sambil keluar dari antrian.


Ya Allah… Ya Allah… air mataku kembali mengalir.


Betapa kemurahan hati begitu berlimpah menghampiri aku selama berada di sana.


Allah Maha Baik, Aku tahu bahwa itu tak akan terjadi tanpa kehendakNya. Tanpa kuasaNya.


Kuucapkan syukur lagi… lagi… dan lagi…


Sebab, hal yang sama berulang lagi… lagi… dan lagi…


Malam itu, di hari kedua kami berada di Mekah, kutunaikan ibadah umrah yang kedua kalinya.


Hari itu jadwal kami bebas, tak ada jadwal yang ditentukan oleh panitia. Beberapa dari kami bersepakat untuk melakukan umrah lagi malam itu, sehingga Insya Allah selama di Mekah kami akan dapat melakukan tiga kali umrah sebab keesokan harinya panitia memang menjadwalkan satu kali umrah lagi. Dengan tambahan satu kali yang kami lakukan sendiri itu, jumlahnya akan menjadi tiga kali.


Kami keluar dari Tanah Haram di Mekah dan mengambil miqat di sebuah masjid yang terkenal dengan nama masjid Aisyah. Masjid ini terletak di batas antara Tanah Halal dan Tanah Haram.


Kuniatkan umrah malam itu untuk mengumrahkan almarhumah nenek buyutku. Nenek tiri ayahku yang merawatnya sejak kecil. Ayahku yatim piatu sejak berusia 4 tahun dan dibesarkan oleh kakek kandung dan nenek tiri yang kutahu mencintainya dengan setulus hati.


Dan kembali, beragam kemurahan hati menghampiri.


Seperti biasa, rasa haus mendera saat kutunaikan ibadah umrah itu, tapi setiap kali aku hendak mengambil air, selalu ada orang lain yang lebih dulu mengulurkan segelas air padaku. Bahkan pada suatu saat, telah kuhampiri keran air zam zam yang banyak berada di sisi lintasan Sa’i, lalu kuambil sebuah gelas dan kutaruh di bawah keran tersebut. Kuulurkan tangan untuk menekan tombol keran.


Dan…


Belum juga tanganku menyentuh tombol itu, seseorang yang entah muncul darimana tiba- tiba saja mengulurkan tangannya dan menekan tombol itu.


Air mengucur deras ke dalam gelasku.


Dengan terkejut aku menoleh. Kulihat penolongku itu, seorang lelaki.


Mungkin raut mukaku menampakkan keheranan, sebab kulihat dia mengangguk. Memberikan isyarat padaku untuk menerima kebaikan hatinya membantuku untuk menekan tombol air keran itu.


Kutarik nafas panjang. Seperti biasa, kuanggukan kepalaku dan tersenyum sedikit untuk menyampaikan rasa terimakasihku.


Dan hatiku kembali memuji kebesaran Allah. Betapa Allah Maha Baik, Maha Pengasih, Maha Pemurah… Malam itu, bahkan untuk sesuatu yang begitu mudah, yang aku dapat melakukannya sendiri, menekan tombol keran itu, dikirimkanNya seseorang yang baik hati yang menolongku untuk melakukan hal tersebut…


Ya Allah, apalagi yang dapat kulakukan selain bersyukur dan berterimakasih atas semua limpahan rejeki dan kebaikan itu?


Alhamdulillah… Terimakasih atas seluruh kemurahanMu ya Allah… terimakasih atas semua kebaikan yang begitu banyak, terimakasih atas rejeki yang terlimpah. Terimakasih atas kenikmatan setiap tetes air zam zam beserta begitu banyak keindahan dan kemurahan serta kebaikan yang menyertainya…


p.s: selamat berpuasa bagi seluruh teman- teman yang menunaikan ibadah ini. posting ini merupakan rangkaian catatan perjalanan ibadah umrah di bulan Juli 2011.





** gambar diambil dari flickr **

Indahnya Umroh

Melayang…

DI Taman Pintar, Yogyakarta, ada sebuah lingkaran dengan garis- garis berwarna- warni. Ada sebuah tuas di tengahnya, untuk memutar lingkaran ini. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa pada saat berputar dengan cepat, lingkaran yang sebetulnya berwarna- warni itu akan tampak berwarna putih.

Mungkin itulah kira- kira yang terjadi padaku saat itu. Emosiku begitu berwarna dan berputar dengan cepat hingga akhirnya yang kurasakan hanya satu: melayang.

Bukan, bukan melayang dengan perasaan hampa, tapi melayang dengan perasaan seperti bermimpi, ketika kegembiraan dan keharuan yang amat sangat memenuhi hati.

Kupandangi Masjidil Haram yang tegak berdiri di hadapanku dengan perasaan setengah bermimpi itu.

Hampir tengah malam saat itu.

Langit sangat cerah. Lampu- lampu di pelataran masjid menyala benderang.

Kutarik nafas panjang.

Masjidil Haram. Dan sebentar lagi… Ka’bah…

Sayup- sayup terdengar suara ustad pembimbing kami menerangkan ini dan itu, tentang pintu keluar yang terdekat, tentang agenda kami malam itu, tentang…

***



Kulangkahkan kaki memasuki mesjid. Masih dengan perasaan yang melayang dan setengah bermimpi.

Kami lakukan shalat maghrib dan Isya di Masjidil Haram. Masjid dimana shalat di dalamnya bernilai seratus ribu kali lebih baik dibandingkan shalat di tempat lain.

Dan setelah shalat, setelah kami kemudian meneguk air zam-zam yang banyak tersedia di dalam masjid, kami turun ke pelataran Ka’bah untuk melakukan thawaf sebagai bagian dari ibadah umroh kami.

Perasaanku masih sama, seperti melayang dan setengah bermimpi. Barulah ketika kami memulai thawaf kami dengan mengangkat tangan ke arah Hajar Aswad sambil mengucapkan Bismillah Allahu Akbar, kembali tanpa dapat ditahan air mataku mengalir deras…

pelataran-kabah3

***



Alhamdulillah, Segala Puji Bagi Allah, rombongan kami, dimana di dalamnya terdapat banyak kanak- kanak dan juga ada ayahku yang kondisi fisiknya tak begitu baik karena sakit, melakukan thawaf tujuh putaran dengan lancar.

Thawaf , sungguh keindahan yang luar biasa.

Memandangi Ka’bah, melakukan thawaf, sungguh bukan suatu kegiatan yang melibatkan fungsi fisik semata. Tak bisa dilakukan hanya menggunakan mata dan melangkahkan kaki. Melakukan thawaf, adalah kegiatan yang melibatkan seluruh indra, hati, dan rasa.

Begitu banyak orang di sana, tak terasa sedikitpun hiruk pikuk yang melelahkan, tak terasa kesempitan ruang yang menghimpit. Berada di sana, hanya kebahagiaan dan kedamaian yang ada. Hanya energi positif dan suasana terang benderang penuh cahaya yang gemerlap bening yang terasa.

Saat berthawaf, semua orang di kanan, kiri, depan, belakang, bergerak berputar ke arah yang sama dan mengucapkan doa dan dzikir penuh puja dan puji bagi Allah semata. Betapa hati ini sungguh bahagia, damai, dan tenteram karenanya.

Indah… indah… indah.

Berthawaf adalah keindahan yang luar biasa. Amat sangat. Keindahan yang sungguh sulit digambarkan dalam kata- kata.

Berthawaf di sekitar Ka’bah, merasakan dalam hati bahwa kita ada tepat di bawah Baitul Makmur, tempat dimana para malaikat tak henti berthawaf mengabdi dan beribadah kepada Allah sungguh menimbulkan suatu kenikmatan, keindahan dan kebahagiaan yang sangat berlimpah…

Dan aku mulai mengerti, mengapa orang yang pernah mengunjungi Ka’bah, pernah berthawaf mengelilinginya akan selalu merindukan untuk kembali dan melakukan kegiatan yang sama. Aku mulai memahami perasaan itu. Perasaan yang sudah sejak lama sering diceritakan oleh banyak orang, tapi baru sungguh- sungguh kupahami malam itu, ketika telah kualami sendiri hal tersebut…

***



Seusai thawaf, kami melakukan shalat sunat ba’da thawaf, dan melakukan Sa’i yaitu berjalan ( atau berlari- lari kecil ) antara Bukit Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Sa’i untuk mengenang perjuangan Siti Hajar mencari air bagi putranya, Ismail A.S. , Allah s.w.t kemudian mengkaruniakan air zam zam yang sumbernya diketemukan oleh Siti Hajar ketika itu.

Tak banyak kesulitan berarti sepanjang melakukan Sa’i. Beberapa anak kecil mulai lelah dan mengantuk dan sungguh, bahkan kondisi itu membuat keindahan Sa’i bertambah ketika para orang tua menggendong anak- anaknya yang mengantuk itu sambil terus melakukan Sa’i.

Betapa indahnya melihat begitu banyak cinta yang terlimpah pada kanak- kanak saat melakukan ibadah kepada Allah…

Dan tujuh kali berjalan antara Shafa dan Marwah telah usai dilakukan.

Di pucak Bukit Marwah, kami mengakhiri kondisi ihram dengan memotong rambut.

Rukun ke empat umroh, yaitu Tahallul dengan cara memotong rambut telah kami lakukan.

Ibadah umroh kami telah usai.

Subhanallah…

Keharuan memenuhi dadaku…

Terimakasih ya Allah atas segala nikmat dan karunia yang telah engkau limpahkan kepada kami, terimakasih atas segala keleluasaan dan kemudahan yang Engkau berikan kepada kami.

Semoga ibadah umroh kami yang jelas jauh lebih sempurna engkau terima.

Semoga ibadah ini akan memuat kami menjadi lebih baik dan lebih baik lagi, dan semoga ibadah ini membawa banyak kebaikan bagi kami dan semua kawan, sahabat, saudara, keluarga dan semua orang di sekitar kami…

p.s.

- Foto diambil di Pelataran Ka'bah, Masjidil Haram, Juli 2011


- Memasuki bulan Ramadhan, mohon maaf lahir batin bagi kawan- kawan semua. Selamat berpuasa bagi kawan- kawan yang menjalankan ibadah puasa.