Haruskah Suami Menyaksikan Kelahiran Bayinya?

Kesejukan menyelinap masuk ke dalam rumah kayu…

KABUT pagi belum sepenuhnya hilang.

Dee perlahan meletakkan salah satu dari dua bayi kembarnya – Nareswari, yang bergelang warna pink – ke tempat tidur. Di sebelahnya, sang saudara kembar, Nareswara, terlelap tenang.

baby



Si sulung Pradipta sudah selesai mandi dan mengenakan seragam sekolahnya. Dia berjalan menuju ruang makan. Dee mengikuti langkah sang anak kesana. Kuti tak terlihat. Mungkin dia juga ada di ruang makan, pikir Dee.

Tapi ternyata tak diketemukannya sang suami di sana.

Dee melongok ke arah dapur. Tak juga tampak tanda- tanda keberadaan Kuti.

Saat itu, terdengar suara langkah di luar jendela.

Dee menoleh. Dan dia tersenyum.

Suaminya ada di sana.

Di halaman.

Menjemur baju dan popok- popok mungil milik si kecil Nareswara dan Nareswari.

Ah…

Tanpa dapat dicegah, kehangatan membanjiri hati Dee…

***



Tentu saja ini bukan pertama kali Dee melihat Kuti turun tangan membantu pekerjaan rumah tangga. Sejak sebelum mereka menikah, Dee (tentu saja) sudah mengamati banyak hal tentang Kuti, termasuk bahwa dia adalah laki- laki yang dengan ringan hati akan membantu mengerjakan banyak pekerjaan domestik tanpa merasa bahwa hal tersebut mengurangi kadar kelaki- lakiannya.

Dan Dee sungguh berterimakasih dalam hal ini.

Seperti kali ini.

Sehari- hari, ada seorang tetangga mereka yang datang membantu pekerjaan di rumah. Datang pagi- pagi dan pulang pada sore harinya. Tapi hal tersebut tak membuat Kuti duduk berpangku tangan. Terutama setelah bayi kembar mereka lahir, ketika begitu banyak popok dan cucian bertumpuk. Di banyak hari menjelang dia berangkat ke kantor, Kuti menyempatkan diri untuk mencuci dan menjemur pakaian dan popok si kecil…

***



Dee teringat pada pertanyaan populer yang dikemukakan para kawan dan kerabat yang menengok saat si kembar lahir. Yaitu tentang bagaimana reaksi Kuti saat menyaksikan kelahiran si kembar.

Dan mereka yang bertanya kebanyakan menjadi heran saat mengetahui bahwa Kuti tidak berada di dalam ruang bersalin ketika itu.

Kuti tentu saja ada di sana, di klinik bersalin, saat Dee melahirkan. Tapi dia menanti di luar ruang bersalin.

Bagi Dee sendiri, hal ini tak menjadi persoalan.

Sejak jauh- jauh hari, dia sudah tahu bahwa Kuti tak akan masuk ke dalam ruang bersalin. Dia pernah menanyakan hal tersebut pada Kuti di awal- awal kehamilan, apakah kelak sang suami ingin masuk ke dalam ruang bersalin atau tidak dan jelas tampak bahwa Kuti ragu- ragu mengenai hal tersebut.

Melihat keraguan suaminya, Dee saat itu berkata, “ Kalau kamu nggak yakin, nggak usah juga nggak papa koq ‘yang… “

Dee bersungguh- sungguh mengenai hal tersebut. Bagi Dee, apakah Kuti akan hadir atau tidak di dalam ruang bersalin, seluruhnya akan dia serahkan keputusannya pada Kuti.

Dia akan senang jika Kuti hadir di dalam ruang bersalin, tapi dia tak keberatan jika Kuti tidak masuk ke dalam. Yang dia inginkan sebatas bahwa Kuti hadir saat dia melahirkan. Di dalam ruang bersalin atau di luar ruangan, tidak lagi menjadi masalah baginya.

Secara logika, Kuti toh ada di dekatnya dan jika suatu keputusan cepat perlu diambil tentang dia atau bayinya, Kuti akan dapat dijangkau dalam waktu kurang dari semenit saja, sebab dia akan ada disana, di muka pintu ruang bersalin itu…

***



Ada satu hal yang pernah dibaca Dee saat dia menjalani kehamilan dulu. Bahwa memaksakan kehadiran suami saat istri melahirkan di dalam ruang bersalin mungkin akan berdampak tak baik dalam jangka panjang.

Dari apa yang pernah dibacanya, Dee mendapati bahwa lima puluh tahun yang lalu, hanya sekitar 5% suami yang menghadiri kelahiran bayinya (di dalam ruang bersalin). Tapi saat ini, jumlahnya naik menjadi 96%. Karenanya, akan tampak ‘aneh’ bagi banyak orang bahwa seorang suami tak berada di dalam ruang bersalin.

Tapi…

Dee menatap lagi keluar jendela. Melihat sang suami yang rupanya sudah selesai menjemur baju- baju mungil tersebut.

Tapi... Dee sendiri menghargai bahwa Kuti dengan terus terang mengatakan pada Dee bahwa dia tak akan tega melihat istrinya bersimbah darah dan merasakan kesakitan yang amat sangat sementara Kuti sendiri sebenarnya tak dapat banyak membantu dalam proses itu.

Dee tahu bahwa Kuti mencintainya.

Dan dia tak akan dengan serta merta ‘menuduh’ Kuti tak hendak berbagi beban hanya karena suaminya tidak tega untuk berada di dalam ruang bersalin saat dia melahirkan.

Sama seperti keyakinan suaminya bahwa berapa kali kehamilan yang sanggup dijalani, berapa jumlah anak yang sanggup dilahirkan adalah sepenuhnya hak istri untuk memutuskan karena istrilah yang akan menjalani proses kehamilan dan kelahiran bayi tersebut, Dee juga memiliki keyakinan bahwa adalah sepenuhnya hak suami untuk memutuskan apakah dia akan (atau sanggup) berada di dalam ruang bersalin saat sang istri melahirkan atau tidak.

Dee menduga, karena trend saat ini mengatakan bahwa suami ‘harus’ berada di dalam ruang bersalin, banyak suami memaksakan diri untuk berada di dalam, walau hatinya sendiri tak berkata demikian.

Padahal… konon, ketidak siapan seorang suami untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri proses kelahiran bayinya dapat berdampak panjang bagi pernikahan.

Sudah sering sekali ada cerita atau lelucon muncul tentang suami- suami yang terduduk lemas atau pingsan saat menyaksikan kelahiran sang bayi. Tapi bahkan hal tersebut, sebenarnya, masih sesuatu yang bersifat jangka pendek. Ada yang lebih panjang lagi dampaknya dari itu.

Yaitu, jika sang suami ternyata trauma berat, maka… hubungan suami istri akan terganggu. Hubungan itu bisa menjadi dingin.

Dan Dee yakin tak satu pasanganpun di dunia yang menginginkan hal tersebut terjadi.

Bagi Dee, gesture yang ditunjukkan Kuti sesaat setelah dia melahirkan sudah cukup menunjukkan semua perasaan suaminya. Bahwa Kuti mengambil cuti beberapa hari dan bahkan sengaja meninggalkan laptopnya di kantor agar dia dapat menemani Dee sepenuhnya saat dia berada di rumah sakit, bahwa suaminya tersebut  dengan penuh kasih memijiti kaki Dee untuk membuatnya nyaman sesaat setelah Dee melahirkan, semua itu cukup, sungguh cukup…

Terdengar suara berkeletakan. Kuti tampaknya sedang meletakkan ember- ember yang baru saja digunakannya.

Rasa hangat membanjir lagi di dalam dada Dee. Aku cinta padamu, ‘yang... Dee berucap dalam hati.

Dan ketika itulah sang suami muncul di pintu ruang makan.

Dee menatapnya, tersenyum dengan mata gemerlapan.

Kuti yang menangkap pandang mata istrinya bertanya, “ Ada apa, Dee? “

Dee tertawa, menggelengkan kepala dan menunjukkan kursi kosong disampingnya pada sang suami, “ Ayo sarapan dulu... mumpung nasi gorengnya masih hangat… “

p.s. i love you

picture taken from: www.oocities.com/draijazk/

7 comments:

Khansa said...

waaaa.. suamiku sudah siap siaga bgt n smangat buat nemenin aku lahiran nanti, mungkin tiap2 pasangan beda2 yah..

btw dee, skrg aku lg hamil 6 bulan..:D

wah... selamat ya khansa... semoga semua lancar... selamat juga untuk kidz... d.~

Diah said...

Tulisan yang menarik. Hmm... suami saya nanti, mau (dan berani) nggak ya nemenin ke ruang bersalin... ;)

he he... let's see... nanti cerita ya, gimana akhirnya :-) d.~

widhi said...

nice article. jadi menginspirasi saya untuk menemani istri melahirkan :)

sip... sip... semoga kelak semua lancar ya? salam! d.~

yuniarinukti said...

Hmm... kisahnya sangat menyentuh Mba Dee....
Walau tak harus mengikuti proses persalinan, yang jelas keberadaan seorang Suami sangat dibutuhkan ketika itu...

iya... terimakasih komennya yaaa... d.~

iasaca said...

luvly sharing, mbk dee! thanks... :-)

salam,
ias

terimakasih ya... jangan bosan mampir ke sini :-) d.~

Ardian said...

Please visit to my blog: ardianatminanto.blogdetik.com
You will get something new in there (game cheats, tips, story, etc).
Thanks. :D

Nadiyah said...

Anak pertama ditemani.. anak kedua diluar aja nunggu sama anak pertama..
Mau ditemani atau tidak bukan masalah, yg penting supoort dan doa yg terus diberi..

setuju... :-) d.~

Post a Comment