Poster di Gramedia

poster-gramedia

p.s: poster ini dipasang di toko buku gramedia. salah satu buku yang terpajang gambarnya dalam poster ini -- kumpulan trik pintar blogspot -- adalah karya penghuni rumah kayu :)

Kami Datang Penuhi PanggilanMu...

Dan aku terpana…

SETELAH empat hari berada di Madinah, pada suatu sore kami memulai perjalanan kami ke Mekah. Miqat tempat kami memulai niat ihram kami adalah masjid Bir Ali.

Sebelumnya, pada saat kami masih berada di Madinah, rombongan kami pada suatu pagi sempat pergi ke Masjid Quba.

masjid-quba

Masjid Quba adalah masjid yang pertama dibangun oleh Rasulullah s.a.w di Madinah, setelah beliau hijrah dari Mekah ke Madinah.

Dan ada riwayat yang mengatakan bahwa jika seseorang berangkat dari tempat tinggalnya dengan sudah berwudlu, lalu shalat di masjid Quba, maka akan diberikan pada orang itu pahala yang sama dengan orang yang melakukan umroh.

Maka itulah yang kami lakukan. Kami berangkat dari hotel tempat kami menginap dalam keadaan telah berwudlu dengan niat untuk shalat di masjid Quba.

Dan…

Kembali kemudahan menghampiri kami.

Suasana masjid saat itu tak terlalu ramai. Dengan mudah kami mendapatkan tempat untuk melakukan shalat Tahiyatul Masjid dan shalat Dhuha di sana.

Aku sebenarnya sudah bertanya- tanya dalam hati, dengan begitu besarnya pahala yang dijanjikan, yaitu sebesar pahala orang yang melakukan umroh, mengapa pagi itu suasana masjid tak terlalu ramai.

Jawabannya kudapatkan saat aku berjalan kembali ke bus.

Salah satu panitia yang mengatur perjalanan rombongan kami tiba- tiba berkata kepadaku bahwa situasi masjid pagi itu tidak seperti biasanya.

“ Biasanya, “ ujarnya, “ Sulit sekali mendapatkan tempat untuk shalat di sini sebab masjid ini selalu ramai dan shalatpun berdesakan. “

Subhanallah.

Kembali aku menghitung suatu karunia berupa keleluasaan yang diberikan oleh Yang Kuasa kepada kami.

***



Dan begitulah. Empat hari yang indah di Madinah dengan segera berlalu. Hari keberangkatan ke Mekah tiba sudah.

Perjalanan ke Mekah kami tempuh dengan bus dalam waktu lima jam.

Perjalanan itu juga kami tempuh dengan lancar.

Seusai makan malam kami diberi waktu sebentar, sekitar setengah jam, dan diminta kembali berkumpul di lobby hotel.

Kami akan berangkat bersama ke Masjidil Haram, melakukan shalat maghrib dan Isya untuk kemudian disambung dengan ibadah umroh.

Kami turun ke lantai bawah. Ada lift ke lantai bertanda nol dari lobby hotel kami.

Di lantai itu kami berjalan tak berapa jauh dari lift ke arah pintu keluar kompleks hotel yang dikelilingi area perbelanjaan itu, lalu…

Oh.

Aku berdiri tak bergerak.

Takjub.

Tak percaya

Dan merasa setengah bermimpi.

Di situ. Di depan kami itu…

Aku memandangi sebuah masjid berwarna putih keabuan yang sangat indah di depan kami.

Keindahannya adalah keindahan yang sangat klasik dan menimbulkan rasa  nyaman dan sejuk.

Masjidil Haram.

masjidil-haram-1

***



Kupandangi lagi sekitarku.

Burung- burung merpati beterbangan.

Di Tanah Haram, orang tak boleh membunuh binatang.

Karenanya burung- burung ini terbang dengan bebas dimana- mana.

Kupandangi lagi menara- menara masjid di depanku.

Ustad pembimbing kami memberikan keterangan awal. Memperkenalkan kami pada lingkungan dengan memberikan orientasi arah. Juga memberi tahukan pintu masjid mana yang terdekat dengan pintu masuk ke hotel kami. Juga tanda- tanda bangunan lain yang bisa kami jadikan petunjuk agar tak tersesat.

Kulihat lagi masjid indah di hadapan kami.

Suara- suara di sekitarku terdengar sayup- sayup.

Tak terlalu kuperhatikan lagi keterangan arah pintu mana yang harus kami cari agar kami dengan segera dapat mencapai pintu hotel.

Sebab, sungguh aku tahu, aku akan senang sekali berada di dalam masjid itu. Tak akan aku tergesa pulang. Dan, ah... aku rela… aku rela jika harus menelusuri masjid itu dari ujung ke ujung…

***



Masjidil Haram.

Akhirnya... kami tiba di sana...

Aku merasa seperti melayang.

Kami datang memenuhi panggilanmu untuk berumroh, ya Allah...

Kami datang...

masjidil-haram-18

p.s : Tulisan ini dibuat sebagai rangkaian catatan perjalanan umroh di bulan Juli 2011. Teriring doa agar para kawan dan sahabat serta saudara segera pula mendapat undangan ke sana sebagai tamu Allah dan diberikan segala kelancaran dan kemudahan dalam keseluruhan prosesnya..

Let The Pictures Talk (3)

Masjidil Haram



masjidil-haram-41

masjidil-haram-2

masjidil-haram-5

masjidil-haram-13




masjidil-haram-12

masjidil-haram-15

masjidil-haram-6

Keseimbangan dalam Beribadah

Pada akhirnya semua adalah tentang keseimbangan…


KESEIMBANGAN antara berlomba- lomba mendapatkan pahala sebanyak- banyaknya dengan memberikan kesempatan bagi orang lain untuk turut pula mendapatkan pahala yang sama, keseimbangan antara kegigihan serta upaya dengan kesabaran dan kemampuan menahan diri, keseimbangan antara hubungan dengan Yang Di Atas serta hubungan antar manusia, dan beragam keseimbangan lain…


Itulah pelajaran yang kuambil tentang kesempatan untuk masuk ke Raudhah dan beribadah di sana.


Tempat yang diutamakan itu kecil, waktu untuk masuk ke sana – terutama untuk kaum perempuan – terbatas, dan begitu banyak yang ingin masuk dan shalat atau berdoa di sana. Karenanya tak ada lain, yang harus dilakukan adalah mengantri dan saling berbagi, baik waktu maupun tempat.


Di jam- jam dimana Raudhah dapat diakses oleh para jamaah perempuan, ada tirai kain yang dipasang untuk membagi area Raudhah menjadi area untuk jamaah laki- laki, dan area untuk jamaah perempuan. Di luar jam- jam tersebut, seluruh area Raudhah dapat diakses kapan saja oleh jamaah laki- laki.


Jadi bagi jamaah perempuan, baik waktu maupun luas area Raudhah yang dapat dimasuki memang sangat terbatas…


***


Kali pertama kami ke sana, pada pagi di hari ke dua kami berada di Madinah, pengantar kami selain berpesan untuk menyegerakan shalat dua rakaat dan berdoa sambil berdiri jika masih ingin berdoa setelah shalat juga menyampaikan satu hal lain lagi, yaitu jika setelah shalat dua rakaat yang pertama ternyata masih ada kesempatan untuk melakukannya lagi, lakukan lagi segera. Baik di tempat yang sama, atau bergeser sedikit, lakukan lagi shalat dua rakaat berikutnya tersebut.


Raudhah hanya dapat diakses dari satu pintu masuk dan satu pintu keluar. Dengan situasi yang begitu berdesakan, memang bisa jadi bahkan untuk keluarpun kita harus mengantri. Dan di saat- saat bergeser ke arah luar itulah ada kemungkinan kita memang bisa menemukan lagi ruang kosong untuk bisa melakukan shalat dua rakaat atau berdoa kembali.


Itu sebabnya seperti yang kutuliskan sebelumnya, aku tak hendak berhitung atau mengambil kesimpulan tentang berapa lama atau seperti apa kesempatan yang ditemui oleh seseorang dalam upayanya untuk bisa masuk ke Raudhah itu.


Semua akan sangat tergantung pada seperti apa kesempatan yang diberikan Allah kepada seseorang dan juga tergantung pada bagaimana cara orang tersebut mengambil keputusan dan membuat keseimbangan antara keinginan untuk melakukan ibadah sunat di tempat yang diutamakan itu sebanyak dan selama mungkin dengan berbagi kesempatan dengan orang lain serta bagaimana agar kesempatan yang diperolehnya itu juga diperoleh tanpa merebut hak orang lain, tanpa mencederai diri sendiri atau orang lain.


Seperti yang sudah selalu kita ketahui, tugas kita adalah berusaha, bagaimana hasilnya, itu adalah keputusan Allah.



raudhah-blogspot1


Aku sendiri, pergi ke Raudhah dua kali.


Kali pertama di pagi hari, di waktu dhuha, kali kedua, pada hari yang sama setelah Isya.


Jika pada kali pertama aku masuk ke sana bersama- sama dengan rombongan, dengan seorang pengantar, kali kedua kulakukan hal itu sendirian…


***


Keterbatasan tempat membuat jamaah yang ingin masuk ke Raudhah harus dibagi dalam beberapa kelompok. Aku tak tahu bagaimana teknisnya bagi jamaah laki- laki yang dapat mengakses tempat ini setiap saat apakah juga ada pengaturan kelompok dan gelombang seperti ini. Tapi untuk perempuan, kelompok- kelompok ini dibagi berdasarkan negara asal jamaah itu. Ada kelompok untuk jamaah dari Arab, ada untuk yang berasal dari India dan Pakistan, ada yang untuk kelompok dari Iran. Ada juga yang untuk kelompok berbahasa Melayu ( Indonesia dan Malaysia masuk dalam kelompok ini ).


Begitu usai shalat Isya ada tanda- tanda yang dipasang yang menunjukkan lokasi dimana kelompok- kelompok ini harus berkumpul.


Kudapati kemudian bahwa kelompok yang berbahasa Melayu biasanya mendapat jadwal masuk ke Raudhah paling belakang.


Ini membuat beberapa orang sangat tidak sabar. Terutama pada kunjunganku yang kedua ke Raudhah, kulihat beberapa orang memprotes pengaturan itu sebab kami harus menanti lama sementara ada banyak pengunjung berkebangsaan lain yang baru datang langsung bisa mendapatkan akses masuk ke Raudhah. Beberapa marah, beberapa mengomel.


Cerita yang sama kudengar juga kemudian dari beberapa anggota rombongan yang di hari lain pergi ke Raudhah kembali.


Aku sendiri memilih untuk tak memikirkan mengapa kelompok berbahasa Melayu selalu diberikan kesempatan belakangan untuk masuk. Apakah benar itu tindakan sewenang- wenang seperti yang diprotes oleh beberapa orang, aku tak tahu. Sebab mungkin juga yang terjadi adalah sebaliknya. Bisa saja pengaturan itu dibuat justru untuk melindungi, karena secara fisik dan kekuatan, orang- orang Melayu mungkin tak akan kuat jika harus berdesakan dengan orang- orang dari Timur Tengah itu.


Di lain pihak, masuk paling belakang sebenarnya juga ada keuntungannya sebab tak ada lagi antrian di belakang kita, maka sebenarnya kemungkinan mendapatkan waktu dan tempat yang agak longgar lebih besar.


Selain itu, bagiku sendiri, mengapa pula harus tergesa?


Tak ada hal penting lain yang harus kulakukan setelah itu. Jadi menanti lama, tak menjadi masalah. Terlebih, masjid Nabawi begitu indah dan penuh dengan energi positif, yang membuat kita memang ingin berlama- lama di sana.


Karenanya, kunanti saja giliran masuk itu dengan sabar.


Kulapangkan hati dan menyiapkan diri. Raudhah yang terletak diantara mimbar Nabi dan rumahnya adalah taman surga, dan selayaknya jika kita ingin masuk ke sana kita membersihkan hati dan datang dengan muka dan hati yang gembira dan penuh senyum. Itu akan lebih baik daripada datang ke sana dengan perasaan kesal atau marah karena lama menanti giliran…


***


Kali kedua aku ke sana, kudapatkan kembali kesempatan untuk shalat dua rakaat berulangkali serta waktu untuk berdoa yang cukup panjang, kendati kali ini aku harus bergeser beberapa kali, tak seperti di pagi harinya dimana aku dapat melakukan hal tersebut langsung di tempat yang sama.


Dan kucukupkan kunjunganku ke Raudhah setelah kali kedua itu.


Sebenarnya, masih ada hari lain dimana aku sempat ke sana lagi jika kuinginkan hal itu. Tapi seperti telah kukatakan sebelumnya, bagiku adalah penting untuk melakukan keseimbangan. Saat diajak oleh beberapa anggota rombongan untuk kembali ke sana keesokan harinya, aku menggelengkan kepala.


Bukan… tentu bukan karena aku tak merindukan untuk kembali ke sana. Aku tentu saja ingin kesana dan aku merindukan tempat itu. Tapi hatiku sendiri berkata, dua kali dengan kesempatan yang longgar seperti itu sudah lebih dari cukup. Dan aku harus berhenti di situ, mensyukuri apa yang telah kudapatkan dan memberikan kesempatan bagi orang lain untuk juga dapat masuk ke sana. Jika aku datang lagi, mungkin juga aku akan dapatkan kembali tempat dan waktu yang longgar, tapi bagiku sendiri, itu sudah berlebihan. Sebab jika kulakukan itu, akan ada orang lain yang mungkin tak mendapatkan kesempatan itu.


Barangkali opiniku ini berbeda dengan opini orang lain. Ini memang opini pribadi. Dan bagaimanapun, seperti juga di hari- hari lain dalam hidup, kita toh memang harus memutuskan apa yang akan dan tidak akan kita lakukan, kapan kita akan melangkah maju dan kapan kita harus berhenti. Aku sendiri percaya, menyeimbangkan apa yang kita lakukan dengan memberikan kesempatan serta memikirkan kepentingan orang lain juga perbuatan baik yang merupakan bagian dari ibadah kita. Dan begitulah dasarku mengambil keputusan…


p.s: posting ini merupakan bagian cari catatan perjalanan umroh yang kulakukan. kekurangan dan kesalahan informasi yang ada di sini adalah karena kekurangan dan keterbatasan yang ada dalam diriku...




** gambar diambil dari blogspot

Let The Pictures Talk (2)

Kanopi berbentuk payung ini meneduhi pelataran masjid Nabawi - Madinah.


Payung- payung cantik ini membuka dan menutup secara otomatis setiap hari jam 06.30 pagi dan 06.30 sore...


1.



payung-masjid-nabawi-1

2.



payung-masjid-nabawi-2

3.



payung-masjid-nabawi-41

4.



payung-masjid-nabawi-6

5.



payung-masjid-nabawi-8

6.



payung-masjid-nabawi-10

7.



payung-masjid-nabawi-11

8.



payung-masjid-nabawi-12

9.



payung-masjid-nabawi-13

10.



payung-masjid-nabawi-14

11.



payung-masjid-nabawi-16

12.


pelataran-masjid-nabawi1

Taman Surga

Tentang masjid Nabawi dan Raudhah…

ADA tempat di dalam masjid Nabawi yang diriwayatkan memiliki keutamaan. Salah satunya, yang dinamakan Raudhah, yaitu tempat diantara rumah dan mimbar Nabi.

Raudhah, yang artinya taman, adalah tempat dimana dahulu Rasulullah dan para sahabatnya beribadah serta tempat turunnya wahyu.

Ada hadist nabi yang mengatakan bahwa “ Antara rumahku dengan mimbarku adalah Raudhah di antara taman-taman surga” .

Inilah sebabnya, tempat ini selalu penuh sesak sebab banyak orang ingin shalat dan berdoa di sana.

menara-hijau-masjid-nabawi

Raudhah ini sendiri selalu terbuka setiap saat bagi jemaah laki- laki, sementara bagi jemaah perempuan, waktu untuk mengunjungi tempat ini terbatas. Pintu ke sana hanya dibuka setelah waktu dhuha di pagi hari ( jam 7.30 – 11.00 ) serta setelah shalat Isya, sekitar jam 22.00 hingga tengah malam ( ini yang kuketahui walau ada juga informasi yang mengatakan bahwa selain yang telah kusebutkan, tempat ini juga dibuka selama satu jam setelah shalat duhur, yaitu sekitar jam 14.00-15.00 waktu setempat )

Raudhah berada di antara rumah Rasulullah s.a.w ( yang kini menjadi makamnya ) dengan mimbarnya. Aku tak tahu mana yang benar, ada yang mengatakan bahwa luas Raudhah adalah 144 m2, ada juga yang mengatakan bahwa luas aslinya adalah 26 x 15 m2, sementara saat ini sebab ada sekat pagar makam, luas raudhah adalah 22 x 15 m2 (artinya, luasnya adalah 330 m2).

kubah-hijau-masjid-nabawi

Yang bisa kusaksikan adalah bahwa Raudhah merupakan sebagian area dari bangunan asli Masjid Nabawi ( bagian masjid yang dibangun oleh Rasulullah s.a.w ). Raudhah kini ditandai dengan karpet berwarna hijau, sementara bagian lain dari masjid Nabawi, baik di bagian bangunan yang asli maupun bangunan yang merupakan perluasan masjid karpetnya berwarna merah.

Masjid Nabawi setelah perluasan dapat menampung sekitar sejuta orang (pada musim haji bahkan konon masjid Nabawi biasanya dipadati oleh sekitar 3 juta orang ). Dan bayangkan bagaimana penuh sesaknya Raudhah jika mayoritas orang yang datang ke sana berusaha masuk ke Raudhah yang hanya dapat menampung beberapa ratus orang itu.

***



Aku tentu saja percaya pada riwayat yang mengatakan tentang keutamaan tempat ini, walau di pihak lain aku juga setuju pada pendapat bahwa kita sebaiknya tak menyulitkan diri sendiri, dan karenanya jika situasi tak memungkinkan, tak perlu memaksakan diri.

Sebab aku percaya Allah ada dimana- mana, maka aku sendiri secara mental meringankan hati. Jika memang ada kesempatan untuk bisa masuk ke sana, apalagi shalat disana, sungguh aku akan sangat bersyukur. Jikapun kondisi tak memungkinkan untuk bisa shalat karena penuh, bisa berdoa sejenakpun akan pula kusyukuri. Jikapun berdoa (bahkan sekedar sambil berdiri sebab sempitnya tempat) tak memungkinkan, bisa masuk dan melewati tempat itupun aku juga akan bersyukur.

Jika tidak bisa sama sekali, juga tidak apa- apa. Ibadah di Raudhah adalah ibadah sunat, yang jika dikerjakan akan mendapat pahala, jika tak dikerjakan tak berdosa. Itu yang kutanamkan dalam diriku. Aku secara pribadi juga mempercayai bahwa lebih baik tidak bisa melakukan hal tersebut daripada mencederai atau mendzalimi diri sendiri, atau orang lain (demi bisa masuk atau mendapatkan tempat shalat di sana).

raudhah-detik

Suamiku ternyata juga memiliki pemahaman yang sama dengan aku. Kami berangkat umroh dengan anak kecil dan seorang ayah yang berusia lanjut dan kondisi fisiknya kurang baik karena sakit. Karenanya kami tentu harus bijak menyikapi hal ini.

Tapi Alhamdulillah, sekali lagi Allah memberi banyak kemudahan. Kami sekeluarga bisa masuk ke Raudhah. Ada di antara kami yang sempat berdoa, ada yang bisa shalat dua rakaat, dan ada juga yang bahkan bisa berdoa dan shalat dalam waktu yang sangat panjang.



***




Aku percaya, Allah Maha Adil dan membagi segala sesuatu sesuai keperluan dan manfaat bagi masing- masing orang.


Karenanya aku tak hendak berhitung tentang berapa lama atau apa yang dapat dilakukan oleh seseorang disana. Biarlah itu menjadi rahasia Allah. Bukan bagianku untuk mengambil kesimpulan tentang hal tersebut.


Bagiku, semuanya baik. Sebab aku percaya Allah Maha Tahu apa yang dibutuhkan dan akan membawa kebaikan bagi masing- masing orang. Sebab aku percaya bahwa adil tak selalu artinya dibagi rata, tapi diberikan sesuai kebutuhan.



raudhah-blogspot

Seperti kukatakan, aku sudah akan sangat bersyukur jika bisa masuk ke tempat itu, walau secara mental juga aku mempersiapkan diri jika ternyata kondisi tak memungkinkan untuk melakukan hal tersebut.


Tapi sebaliknya, ketika yang kuperoleh ternyata adalah kelonggaran waktu dan tempat di sana, apalagi yang bisa dan harus kulakukan selain berterimakasih pada Yang Kuasa?


Air mataku kembali mengalir tanpa henti ketika entah bagaimana, pada kunjungan pertamaku ke Raudhah, pada suatu pagi di hari kedua kami berada ke Madinah, diantara begitu banyak orang yang berdesakan, pada kondisi dimana shalat akan merupakan hal yang tak mudah dilakukan sebab tempat sangat sempit untuk dapat bersujud, aku bahkan bisa shalat berjejer bertiga dengan ibu dan putriku di sana.


Keindahan yang sungguh indah bahwa kami dapat memperoleh tempat lapang di Raudah seperti itu. Dan aku merasakan kenikmatan yang amat sangat ketika bisa melaksanakan shalat di Raudah terapit diantara dua orang yang sangat kucintai itu.


Kami bahkan bisa melakukan shalat dua rakaat berulang- ulang dan berdoa diantara masing- masing shalat dua rakaat itu.


Ah, bukan hanya ketika berada di sana, bahkan saat menuliskan tentang hal itupun saat ini, air mataku mengalir kembali mengingat betapa Allah Maha Pemurah.


Sebelum masuk ke Raudhah, kami telah mendapat pesan jika kondisi memungkinkan untuk menyegerakan shalat dua rakaat, lalu jika masih ingin berdoa, lakukan itu sambil berdiri, jangan sambil duduk sebab biasanya akan ada yang meminta kami untuk segera bergeser dan memberikan tempat itu bagi orang lain.


Dan saat aku berada di sana, entah dengan cara bagaimana, Allah melonggarkan tempat itu. Aku melihat bahwa area berkarpet hijau itu penuh sesak, tapi di sekitar ibu, aku dan putriku, tempat sungguh longgar. Selain sempat shalat dua rakaat berulang kali, aku bahkan sempat berdoa panjang diantara masing- masing shalat dua rakaat itu dalam waktu yang cukup panjang dan dalam posisi bersujud…


***


Sampai saat ini, aku tak berubah pendapat bahwa kita sebaiknya tak memaksakan diri, apalagi sampai mencederai diri atau orang lain, untuk bisa melakukan banyak hal di sana. Sekedar bisa masukpun sudah bersyukur, jika tidakpun bahkan tak apa. Tapi aku tak mengingkari bahwa sebab tahu betapa sulitnya mendapatkan tempat dan waktu berada di sana, bisa memperoleh kelonggaran saat berada di Raudhah sangat membahagiakan.


Kupanjatkan rasa syukur dan terimakasihku pada Yang Maha Kuasa Di Atas sana atas kesempatan indah itu. Allah Maha Besar. Sungguh, Allah Maha Besar dan Maha Pemurah…




p.s: tulisan ini dibuat sebagai catatan dari perjalanan umroh yang kulakukan. Jika ada kesalahan dan kekurangan dalam tulisan ini, maka hal tersebut semata karena kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diriku...





** Keterangan gambar:


1. Menara Masjid Nabawi yang asli ( foto diambil di Madinah, Juli 2011 )


2. Kubah hijau dan menara Masjid Nabawi yang dibangun oleh Rasulullah s.a w. Bagian berkubah hijau adalah rumah, yang kini menjadi makam Nabi Muhammad  ( gambar diambil dari Wikipedia )


3. Peringatan untuk tak berdesak- desakan di Raudhah ( gambar diambil dari detik.com )


4. Area Raudhah yang berkarpet hijau ( gambar diambil dari blogspot )

Let The Pictures Talk ( 1 )

masjid-nabawi2

Pelataran Masjid Nabawi di Siang Hari



langit-langit-masjid-nabawi


Langit - langit Masjid Nabawi



tiang-lampu-masjid-nabawi


Tiang Lampu di Pelataran Masjid Nabawi



pelataran-masjid-nabawi


Pelataran Masjid Nabawi di Senja Hari




** p.s: Foto- foto diambil di Madinah, Juli 2011 **

Kemudahan, Kebaikan, Kemurahan Hati...

Masih tentang perjalanan umroh..

ADA banyak kemudahan, kebaikan dan kemurahan hati kutemui dalam perjalanan umroh kali ini.

Dengan pendaftaran yang begitu mendadak, bahwa pada akhirnya kami bisa menambahkan lima orang ke dalam rombongan, sudah merupakan kemudahan yang kusyukuri.

Dan setelah beberapa kali menerima kabar yang berganti-ganti (rupanya saat ini peak season) tentang jadwal dan rute pesawat, at the last minute kami menerima kabar bahwa ticket pesawat untuk penerbangan langsung Jakarta-Madinah bisa diperoleh.

Sebelumnya sempat ada alternatif untuk mendarat di Jeddah, atau transit di Abu Dhabi. Tapi ternyata pada akhirnya kami terbang langsung, tanpa transit, ke Madinah.

Kusyukuri kondisi itu. Sebab transit atau pendaratan di Jeddah lalu disambung beberapa jam perjalanan darat ke Madinah akan melelahkan bagi ayahku yang saat ini kondisi fisiknya tak terlalu baik.

Kemudahan kedua kami dapati saat pembagian kursi pesawat. Kami semua memegang tiket ekonomi, tetapi rupanya, tempat duduk ayah dan ibuku diupgrade ke business class.

Sungguh, aku luar biasa gembira karenanya.

Ada banyak kemudahan lain.

Salah satunya adalah misalnya bahwa tidak seperti biasanya jika berada di belahan dunia yang berselisih waktu dengan tempat asalku, aku tidak kehilangan orientasi waktu sama sekali selama di Madinah ini.

Ajaib bagiku, sebab tak perduli berapa seringnyapun aku bepergian, perbedaan waktu selalu membuatku kacau balau.

Bahkan selisih yang hanya sejam sekalipun bisa membuat banyak 'huru-hara' dalam keseharianku, baik karena jam tidur dan jam bangun yang bergeser maupun sebab aku menjadi bingung, jam berapa saat itu di tempatku berada dan jam berapa di tanah air atau kota tempatku menetap.

Bukan sekali dua kali ada cerita bahwa dengan panik aku berlari ke ruang meeting atau ke sebuah gate di airport sebab kukira aku sudah terlambat atau waktu telah mendesak untuk kemudian kutemukan bahwa ruang meeting itu kosong sebab belum seorangpun datang atau petugas di bandara yang terbingung-bingung melihat aku datang dengan berlari-lari padahal waktu untuk boarding masih satu jam lagi...

Ada perbedaan waktu 4 jam antara Madinah dengan Jakarta yang anehnya sama sekali tak membuat jam biologis tubuhku terganggu, tidak pula membingungkanku.

Aku tetap dapat tidur dan bangun tanpa ada kesulitan, dan selama ini aku selalu tahu jam berapa saat ini di Madinah, serta jam berapa itu artinya di tanah air.

Subhanallah..

Ada banyak hal lain selain itu. Hal-hal 'kecil' yang bagiku bermakna sangat besar.

Misalnya saat hari pertama tiba dan pertama kali hendak shalat di masjid Nabawi, kami datang sudah sangat dekat dengan waktu Isya.

Masjid penuh. Amat sulit mencari tempat kosong bahkan untuk satu orang sajapun. Padahal saat itu aku datang ke masjid dengan anak dan adik iparku. Bagaimana pula cara mencari tiga tempat untuk shalat saat kondisi begitu penuh dan satu tempat lowongpun sulit didapat?

Tapi yang terjadi adalah, bukan hanya satu, tapi kami ternyata tanpa banyak kesulitan menemukan sebuah tempat yang cukup untuk kami bertiga shalat bersebelahan.

Luar biasa.

Bukan hanya sekali atau dua kali hal tersebut terjadi. Bahkan pada sekali peristiwa yang tadinya kusesali karena aku tiba di mesjid terlalu mepet dengan waktu shalat Ashar dan karenanya memutuskan untuk menggelar saja sajadahku di pelataran masjid agar masih sempat turut serta shalat berjamaah, ujungnya ternyata masih juga ada rejeki menghampiri.

Sesaat setelah mengucapkan salam menutup shalat, seorang ibu yang entah berkebangsaan apa di sebelahku tanpa bicara apapun memegang tanganku dan menaruh segenggam kurma di situ.

Alhamdulillah.

Dia tak bicara sepatah katapun. Aku juga tak bicara. Tapi perbedaan bahasa mudah dijembatani di saat-saat seperti itu. Kutangkupkan tangan di depan dada sambil mengangguk dan tersenyum untuk menyampaikan rasa terimakasihku padanya. Aku yakin dia mengerti maksudku.

Kali lain, sedang kukenakan mukenaku ketika seseorang di baris belakangku membantu merapikan bagian belakang mukena yang sedang kukenakan itu.

umroh-di-madinah21

Segala puja dan puji hanya bagi Allah semata.

Semua kemudahan, kebaikan dan kemurahan hati yang kuterima -- yang juga dalam beragam variasinya diterima oleh anggota keluargaku yang lain -- hanya dapat terjadi karena kemurahanNya, karena Dia melindungi dan menjaga kami semua.

Oh ya... omong-omong soal mukena, ternyata mukena dan kerudung buatan Indonesia yang berbordir dan berenda banyak disukai orang.

Aku pernah dicegat oleh seorang remaja Arab yang bertanya padaku 'Indonesia?' dan ketika aku mengangguk, dia mengoceh panjang lebar dalam bahasa Arab. Aku tak mengerti apa yang dikatakannya tapi aku tahu, dia sedang menyatakan kekagumannya terhadap kerudung yang kugunakan saat itu.

Ah melihat gesturenya, aku sampai menyesal mengapa aku tak memiliki kerudung ekstra di dalam tasku. Jika ada, akan kuberikan saja kerudung itu padanya.

Dan ternyata, tanpa sengaja niatan itu tercapai. Dua hari kemudian, menjelang waktu shalat seorang nenek dari Timur Tengah memegang sarung mukena yang kugunakan. Sarung tersebut, sepasang dengan mukenanya, juga berbordir dan berenda.

Dia tak mengatakan sepatah katapun.  Dan aku tiba-tiba teringat, selain mukena itu, ada juga kerudung bordir berenda dalam tasku. Bersih dan relatif baru, kerudung itu kubawa sebagai cadangan untuk kugunakan kemudian.

Kukeluarkan kerudung itu dari tas dan kuberikan pada nenek itu.

Dia masih tak mengatakan apa-apa tapi dengan segera dimasukkannya kerudung itu ke dalam jubah hitamnya, dan tiba-tiba dia memeluk dan menciumku.

Aku tak tahu nama nenek itu, aku juga tak tahu asal negaranya. Tapi aku tahu, kami semua bersaudara...

p.s:

Posting ini dibuat di Madinah dan Mekah, bagian dari catatan
perjalanan umroh yang sedang kulakukan...


*foto diambil dari kamabakar*

Kenikmatan Itu...

Rasa nikmat itu..

SUNGGUH ada perasaan yang berbeda saat aku membuat tulisan tentang umroh ini.

Perasaan seperti jika kita sedang merasakan sesuatu yang sangat nikmat dan agar kenikmatan itu tak segera berlalu kita sengaja mengecapnya perlahan-lahan sehingga kenikmatan itu dapat kita nikmati berlama-lama dan tak segera berlalu.

Itulah yang kurasakan.

Walau perasaan dan emosi yang membanjir di dalam hati sangat kuat, walau juga ada banyak cerita, yang ingin kulakukan adalah menulis dengan singkat penggalan-penggalan kisah pengalamanku beberapa hari terakhir ini agar aku dapat menulis lagi dan lagi..

Agar kenikmatan yang sedang dan telah kurasakan beberapa hari terakhir ini dapat terus kukecap dan kurasakan...

Karena aku tak mau semua kenikmatan itu segera berlalu.

Karena kuingin berlama-lama merasakannya..

***



Ada satu hal yang selalu terasa sangat nikmat dalam hatiku, tak perduli kapan atau dimana terjadinya.

Yaitu jika aku dapat shalat berjamaah dengan suamiku sebagai imamnya.

Kami sering melakukannya di rumah. Dan walau telah berulang kali hal tersebut terjadi, kenikmatan dapat beribadah menunaikan shalat berjamaah dengan suami dan anak-anak tak pernah berkurang. Kenikmatan yang sama selalu terasa saat hal tersebut dapat kami lakukan.

Dan kudapatkan bonus rasa nikmat itu segera setelah kami tiba di Madinah.

Pesawat kami mendarat tepat waktu pada sore hari Sabtu yang lalu. Sudah masuk Ashar saat itu, dan banyak dari kami yang berniat untuk shalat Ashar setibanya di hotel saja, sebab masih cukup waktu untuk itu.

Tapi perjalanan berombongan memang ada kalanya membutuhkan waktu lebih panjang untuk hal-hal yang dapat segera diselesaikan jika bepergian sendiri.

Antrian di imigrasi. Kelengkapan bagasi. Juga memastikan bahwa seluruh anggota rombongan telah berada di bus yang sama membuat cukup banyak waktu dibutuhkan sebelum kami dapat meninggalkan bandara.

Sebagian dari kami telah menunaikan kewajiban shalat Asharnya dalam perjalanan, baik di pesawat maupun di dalam bus. Sebagian yang lain belum melakukannya.

Karenanya, begitu tiba di hotel, sebelum melakukan apapun yang lain, sebelum ada pembagian kamar dan urusan- urusan lain, kami upayakan menunaikan dulu kewajiban itu sebelum waktu maghrib tiba.

Ruang serba guna hotel kami gunakan untuk itu. Tempat wudlu terbatas, karenanya kami harus melakukannya bergantian.

Suamiku kebetulan telah selesai berwudlu lebih dahulu dan mulai membeberkan beberapa sajadah untuk digunakan shalat berjamaah. Satu diantara sajadah itu dibeberkannya untuk tempat imam nanti.

Kami para perempuan siap lebih dulu, sebab tadi sudah lebih dulu mendapat giliran berwudlu. Kami mulai berdiri saling merapat membentuk beberapa barisan.

Para lelaki menyusul belakangan. Mereka mulai muncul satu per satu kemudian.

Suamiku kebetulan masih berdiri di dekat sajadah yang tadi dibeberkannya untuk tempat imam. Dia memperhatikan barisan yang mulai terbentuk, dan ketika para lelaki yang telah selesai berwudlu muncul, dia bergeser hendak memberikan tempat untuk menjadi imam pada salah satu dari para lelaki tersebut, yang kebetulan adalah para panitia yang mengurus kelancaran perjalanan kami.

Geraknya dihentikan oleh lelaki yang terdekat dengannya. Dia kemudian memberikan isyarat agar suamiku mengimami shalat berjamaah kami saat itu.

Suamiku sempat mengatakan silahkan lelaki yang memberikan isyarat itu sajalah yang mengimami kami. Tapi dia menggeleng dan kembali mempersilahkan suamiku untuk melakukannya.

Dan begitulah akhirnya yang terjadi. Suamiku mengimami shalat berjamaah kami yang pertama di kota Madinah ini.

Oh, dadaku terasa sangat penuh dengan rasa bahagia dan kenikmatan yang amat sangat.

Rasa bahagia dan nikmat yang selalu muncul jika kami shalat berjamaah di rumah dengan suamiku sebagai imamnya menjadi berlipat ganda terasa saat itu.

Shalat pertama kami di Madinah, ternyata tanpa direncanakan diimami oleh lelaki terkasih itu.

Dan kembali tanpa dapat kutahan, air mata mengalir membasahi pipiku saat suara yang sangat kukenal itu memperdengarkan takbir pertama, memulai shalat Ashar sore itu...

Ruangan serbaguna itu berdinding kaca. Di kejauhan menara- menara Masjid Nabawi tampak menjulang indah tertangkap oleh mataku, sementara telingaku mendengar suara suamiku yang memimpin shalat kami petang itu.

Sungguh, kata- kata tak akan cukup untuk mengungkapkan perasaanku saat itu.

Indah. Sangat indah.

Betapa Allah Maha Baik. Begitu banyak kenikmatan yang telah kami peroleh, masih juga ditambahkanNya lagi keindahan lain..

***



Keindahan hari itu belum berakhir.

Menjelang masuk waktu Isya, kami berjalan kaki menuju Masjid Nabawi.

Dan ah..

Bukan hanya tampak luarnya saja yang indah. Ketika kumasuki masjid tersebut, segera rasa takjub yang bercampur dengan kedamaian hadir dalam diriku.

Bagian dalam masjid Nabawi yang menakjubkan

Bagian dalam Masjid Nabawi indah sekali. Sangat indah. Lantai dan tiangnya terbuat dari marmer. Ada banyak ornamen cantik di tiang serta langit- langitnya.

Keindahan yang bisa dibayangkan atas suatu bangunan ada semua di sana.
Namun di atas semua keindahan fisiknya tersebut, ada suatu perasaan sejuk yang dibarengi  gelombang energi positif yang sungguh besar yang segera terasa. Tertangkap dengan jelas oleh jiwa dan raga.

Air mataku kembali mengalir.

Baru saja beberapa jam aku berada di Madinah sudah begitu banyak keindahan dan kenikmatan yang kurasakan...

p.s: posting ini ditulis di Madinah sebagai catatan perjalanan umroh yang sedang kulakukan...

*gambar diambil dari beautifulmosques*

Keindahan Yang Berlimpah

Dan airmataku menetes..

SEPANJANG hidupku, ada banyak perjalanan ke berbagai negara dan kota telah kulakukan.

Negara-negara dan kota dengan keindahannya masing-masing:

Namun tak satupun dari tempat-tempat itu mampu membuatku meneteskan air mata bahkan ketika kakiku belum benar-benar menjejakkan kaki di sana.

Tapi itulah yang terjadi sesaat setelah pilot mengumumkan bahwa pesawat akan segera mendarat dan pemandangan kota Madinah tampak dari jendela pesawat.

Tanpa dapat dicegah, air mataku mengalir turun membasahi pipi...

Dan ternyata, kejadian semacam itu terjadi berulang-ulang saat berada di kota Madinah ini.

Perjalanan dari airport ke hotel dilakukan dengan naik bus. Lalu, saat dalam perjalanan itu, ketika dari jendela kiri bus untuk pertama kalinya kulihat masjid Nabawi, air mataku mengalir kembali.

Masjid Nabawi, tempat dimana makam Rasulullah, Nabi Muhammad s.a.w berada. Dari kota Madinah inilah dahulu, setelah hijrah dari Mekah, berabad lampau Nabi Muhammad menyebarkan ajaran Islam.

Mesjid Nabawi yang ada sekarang merupakan pengembangan dari mesjid yang asli yang dibangun berabad-abad yang telah silam. Mesjid yang asli berada tepat di samping rumah Rasulullah, sebuah bangunan berkubah hijau, yang di kemudian hari menjadi makamnya. Rasulullah s.a.w setelah meninggal dimakamkan di rumahnya yang berkubah hijau itu...

mesjid-nabawi

Masjid Nabawi indah. Sangat indah.

Bahkan ketika aku baru melihatnya dari kejauhan sekilas dari jendela bus, kesan tentang keindahan masjid itu sangat jelas dapat tertangkap baik oleh mata maupun hatiku.

Dan air mata itu menetes lagi..lagi..dan lagi..

Bus berhenti. Kami telah tiba di hotel yang akan kami tinggali selama di Madinah, rupanya. Lalu begitu turun dari pintu bus, pemandangan Masjid Nabawi yang letaknya hanya sepelemparan batu dari hotel kami kembali tertangkap oleh pandangku.

Oh.

Ada banyak tempat, ada banyak bangunan indah yang juga telah kusaksikan di beragam negara dan kota di dunia ini. Ada beberapa diantaranya yang kucatat dan kusimpan dalam hatiku karena keindahannya.

Tapi semua itu gugur sudah.

Masjid Nabawi yang baru kulihat dari luar pagarnya itu menggugurkan semua catatanku tentang keindahan bangunan-bangunan yang pernah kulihat:

Agak sulit menggambarkan dengan kata-kata, tapi keindahan yang dipancarkan oleh masjid ini adalah keindahan bening penuh cahaya yang menyergap hati, yang menimbulkan kerinduan, yang membuatku berpikir dan merasa betapa akan berat meninggalkan masjid ini, di waktu aku belum benar-benar pernah memasukinya.

Subhanallah..

Maha Suci Allah.

Air mataku mengalir kembali dengan deras.

Betapa tak 'kan cukup rasa terimakasih dan syukur akan dapat disampaikan atas semua nikmat yang kurasakan ini.

Tiba di Tanah Suci, di kota Madinah, bersama orang-orang yang kucintai, orang tua, suami, ketiga putra-putriku serta adik dan iparku sungguh suatu rahmat yang sangat berlimpah. Suatu nikmat tak terkira yang diberikan oleh Allah yang Maha Baik, Maha Pemurah dan Maha Penuh Kasih.

Kami telah tiba di kota Madinah, memenuhi panggilan Allah untuk datang ke sini agar kami dapat beribadah kepadaNya dan menyampaikan salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad.

Assalamu'alaika ya Rasulullah..

Selamat dan sejahtera bagimu wahai Rasulullah..

p.s: posting ini ditulis di Madinah, bagian dari catatan perjalanan umroh yang saat ini sedang kulakukan...

(foto diambil dari majestad)

Cowok Ganteng dan Cowok Jelek Di Mata Cewek

MENJADI laki-laki itu menyenangkan. Itu jika dibandingkan dengan perempuan. Namun tahukah Anda kalau di mata cewek, lelaki itu tidak sama? Di mata cewek, laki-laki (atau dalam hal ini cowok) dibedakan dalam dua kategori. Yakni cowok ganteng dan cowok jelek.

Tentu, tak ada ukuran yang pasti untuk menetapkan seseorang itu ganteng atau jelek, karena penilaiannya relatif tergantung sudut pandang. Namun umumnya ada ukuran yang universal, terutama untuk wajah dan tubuh yang proporsional. Sehingga seorang cowok bernama Brad Pitt atau David Beckham atau Cristiano Ronaldo, misalnya, dikategorikan sebagai ganteng.

brad

Penilaian dari cewek sendiri, menurut sebuah penelitian, terus berubah seiring berlalunya waktu. Konon, cewek berusia remaja hingga pertengahan 20-an tahun sangat mementingkan kegantengan untuk seseorang yang bakal dijadikan kekasih. Semakin dewasa  perempuan, ukurannya mulai berubah. Yang diutamakan tak lagi kegantengan namun lebih kepada ‘kepribadian’ (terutama, tentu saja, mobil pribadi, rumah pribadi, kolam renang pribadi, dsb, hehehe ;) ).

Tapi secara umum, ternyata memang ada semacam diskriminasi menyangkut pandangan cewek kepada cowok. Berikut sejumlah fakta bagaimana penilaian cewek-cewek pada lelaki, berdasarkan ukuran ganteng tidaknya seseorang.
Jika cowok ganteng pendiam, cewek-cewek bilang, “Wow, cool banget...”
Jika cowok jelek  pendiam, cewek-cewek bilang,” Ih... kuper...”


Jika cowok ganteng jomblo, cewek-cewek bilang,” Pasti dia perfeksionis...”
Jika cowok jelek  jomblo, cewek-cewek bilang,” Udah jelas... Kagak laku.”


Jika cowok ganteng berbuat jahat, cewek-cewek bilang,” Gak ada manusia yang sempurna kan?”
Jika cowok jelek berbuat jahat,  cewek-cewek bilang,” Pantes, tampangnya kriminal...”


Jika cowok ganteng nolongin cewek yang diganggu preman, cewek-cewek bilang,” Wuih jantan, kayak di film-film...”
Jika cowok jelek  nolongin cewek yang diganggu preman, cewek-cewek bilang,” Pasti preman itu temannya dia...”


Jika cowok ganteng dapet cewek cantik, cewek-cewek bilang,” Sungguh serasi...”
Jika cowok jelek  dapet cewek cantik, cewek-cewek bilang,” Pasti main dukun!!”


Jika cowok ganteng penyayang binatang, cewek-cewek bilang,” Perasaannya halus, penuh kasih.”
Jika cowok jelek  penyayang binatang, cewek-cewek bilang, “Sesama keluarga emang harus saling menyayangi...”


Jika cowok ganteng bawa BMW, cewek-cewek bilang,” Matching, keren luar dalam...”
Jika cowok jelek  bawa BMW, cewek-cewek bilang,” Majikannya mana mas?”

p.s
Posting ini didaur ulang dari humor sebuah majalah pria dewasa edisi lama. Hanya untuk lucu-lucuan dan sama sekali tak bermaksud menyinggung sesama mahkluk ciptaan Tuhan :)

Panggilan Itu...

Dan kami penuhi panggilan itu…

SEJAK
setahun yang lalu, pembicaraan tentang berangkat umrah berulang kali terjadi di rumah keluarga besar kami.

Dimulai dari ayahku, yang saat itu baru saja pulang ke rumah setelah beberapa lama dirawat di rumah sakit. Setelah pulang ke rumah, ayahku berulang kali menyatakan kerinduannya untuk berangkat ke Tanah Suci.

Ayah dan Ibuku telah berangkat berhaji lama berselang. Dan tampaknya kerinduan untuk kembali berada di sana menghampiri ayahku.

Tapi saat itu, kondisi memang belum memungkinkan. Baik kondisi kesehatannya sendiri, disamping tentu saja, juga diperlukan dana untuk dapat berangkat ke sana.

Tapi kami berniat, sungguh berniat.

Kami anak- anaknya bersepakat, pada kesempatan pertama yang memungkinkan, kami akan mengupayakan agar kedua orang tua kami dapat berangkat ke Tanah Suci dan pada saat itu, siapapun dari kami yang dapat menemani beliau berdualah yang akan berangkat.

Suamiku, begitu mendengar rencana itu, pernah menyampaikan beberapa rencana sehubungan dengan itu. Rencananya adalah, jika memungkinkan, kami akan menemani ayah dan ibuku berangkat ke Tanah Suci. Kami yang dimaksud adalah aku dan suamiku beserta ketiga anak kami.

Dan kami sungguh berusaha untuk itu. Tapi tampaknya hal tersebut tak semudah yang kami duga. Baik dana maupun kesempatan tampaknya tak juga datang.

Aku tahu bahwa adik- adikkupun berusaha seperti kami, dan sampai beberapa bulan berjalan, niat itu belum juga terwujud.

Sampai suatu hari sekitar sebulan yang lalu…

Ibuku menghubungiku. Mengatakan bahwa Bapak dan Ibu ada rejeki sehingga rencana ke Tanah Suci akan segera diwujudkan. Lalu karena akan diperlukan seorang perempuan dan seorang laki- laki untuk menemani beliau berdua saat berada di sana, perundingan keluarga memutuskan bahwa aku dan seorang adikku, laki- laki, yang akan berangkat.

mekah

Oh…

Sesungguhnya… aku tak dapat mengatakan apa yang kurasakan pada saat itu.

Aku senang, gembira, bersyukur, atas kesempatan tersebut.

Dapat menemani kedua orang tuaku beribadah umrah ke Tanah Suci, tentu sesuatu yang sangat patut disyukuri.

Tapi…

Hanya pada satu dua orang yang sangat dekat denganku, aku pernah mengatakan hal ini: aku senang, namun sebenarnya yang kuharapkan adalah berangkat bersama- sama, dengan suami dan ketiga anak kami…

Aku tahu, dan selalu percaya, Tuhan Maha Memberi.

Walau tak tahu bagaimana caranya, tak pula dapat membayangkan pintu atau jendela mana yang akan terbuka dan menjadi jalan, setiap hari, setiap saat, kupanjatkan doa pada Yang Kuasa. Kumohonkan pada Yang Maha Pemurah agar tak hanya mengijinkan aku berangkat ke Tanah Suci menemani orang tuaku, tapi juga mengijinkan agar suami dan ketiga putra- putriku dapat pula berangkat bersama kami.

Jarum jam berdetik. Hari berputar. Satu… dua… tiga…

Sekian hari, sekian minggu berlalu, waktu makin mendekat ke saat keberangkatan, tak juga tampak tanda- tanda bahwa doaku akan terkabul.

Aku pasrah.

Kusiapkan mentalku. Kulapangkan hatiku.

Kuucapkan doa dalam hati, jika memang kali ini baru aku yang mendapatkan undangan, ijinkanlah lain kali keinginanku untuk berangkat ke Tanah Suci bersama suami dan putra- putri kami terkabul.

Namun, aku tak hendak menyerah.

Kulapangkan hatiku, tapi tak kuhentikan doaku.

Setiap hari, setiap saat.

Sebab aku percaya, apapun dapat terjadi jika itulah yang dikehendakiNya.

Dan itulah yang terjadi.

Hanya sekitar sepuluh hari menjelang keberangkatan ketika tiba- tiba saja rejeki itu datang. Berlimpah. Lebih dari cukup untuk dapat membuat suami dan ketiga putra- putri kami dapat turut berangkat bersama.

Masalahnya tinggal, apakah waktu yang tersisa akan cukup untuk mengurus beragam hal yang perlu dipersiapkan untuk berangkat. Visa, terutama, tentu tak dapat diselesaikan secara mendadak.

Tapi sekali lagi, walau terus berdoa, kami semua melapangkan dada.

Aku sendiri percaya, sebab rejeki datang dariNya, kemudahan juga akan dapat diberikanNya. Maka, walau berusaha mempersiapkan diri jika ternyata waktu yang sangat singkat tersebut ternyata tak cukup untuk mengurus surat- surat yang dibutuhkan untuk membuat suami dan putra- putri kami dapat bergabung bersama rombongan, doa tak pernah putus kami lantunkan.

Dan siapa yang dapat menyangkal kemurahanNya?

Waktu yang sangat pendek tersebut ternyata bukan hanya cukup untuk membuat suami dan ketiga putra- putri kami bergabung, tapi juga cukup untuk membuat istri adikku dapat pula turut serta bersama kami.

Jadi, dari rencana empat orang, kini kami berangkat bersembilan.

Aku percaya, selalu percaya, bahwa jika kita memohon dengan sungguh- sungguh, maka keinginan itu akan dikabulkan…

Kuucapkan syukur, kusampaikan rasa terimakasihku yang amat sangat ke Atas sana…

Tak mungkin semua ini terjadi tanpa kehendakNya.

Tak kan dapat kami berangkat ke Tanah Suci jika bukan karena undanganNya.

Dan kami penuhi undangan tersebut…

Hari ini, kami akan berangkat menuju ke Tanah Suci. Sungguh saat ini, tak ada lagi hal lain selain rasa syukur dan bahagia yang memenuhi hatiku.

Kami datang… kami datang untuk memenuhi panggilan itu…

p.s. Teman- teman yang baik, aku menulis posting ini di bandara. Sesaat lagi pesawat kami akan terbang menuju Madinah. Mohon maaf lahir batin jika selama ini ada kesalahan yang kulakukan, baik sengaja maupun tidak sengaja pada teman- teman semua…


** gambar diambil dari: www.math.uic.edu **

Ferrari dan Kereta

Senja yang indah...

Dee meneguk perlahan teh hangat di cangkirnya dengan Nareswara di atas pangkuan. Bayi kecil yang lucu itu menatap sang bunda dengan mata bulatnya.

Dee tersenyum. Disendoknya air teh di dalam gelas dan diberikannya pada Nareaswara yang mengecapnya dengan gembira.

Di dekat mereka, duduk Kuti, juga dengan seorang bayi dalam pangkuan. Nareswari. Dia menggigiti dengan perlahan biskuit bayi yang diberikan Kuti kepadanya.

Pradipta, sementara itu, asyik bermain mobil- mobilan dengan Mark, tetangga yang juga merupakan kawan sekelasnya di sekolah di teras.

Sambil mengawasi si kembar dan sekali- sekali memperhatikan Pradipta dan Mark, Kuti dan Dee saling berbicang. Membicarakan banyak hal- hal ringan. Dan juga berbagi cerita lucu.

" Dee... " kata Kuti pada sang istri.

Dee menoleh pada suaminya.

" Pernah dengar cerita tentang mahasiswa asal Arab tidak, Dee? "

Dee menggelengkan kepalanya.

" Kenapa mahasiswa itu? " tanya Dee pada Kuti.

Kuti tertawa kecil dan mulai bercerita.

" Jadi Dee, " katanya, " Ada mahasiswa asal Arab yang kuliah di Jerman. "

Dee mendengarkan tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

" Lalu, " kata Kuti lagi, " Pada suatu hari dia mengirimkan e-mail pada ayahnya, seorang raja minyak di Arab. "

Kuti melanjutkan kata- katanya, " Isi suratnya seperti ini: Ayah, aku senang berada di Berlin ini. Kotanya menyenangkan, penduduknya ramah. Hanya saja aku agak malu jika datang ke kampus dengan Ferrari 599 GTB yang berlapis emas murni ketika semua dosenku dan kebanyakan mahasiswa di sini berangkat ke kampus dengan menggunakan kereta api... "

ferrari

Kuti tersenyum lebar, matanya berkilat- kilat saat dia melanjutkan ceritanya.

" Lalu keesokan harinya, " kata Kuti, " Mahasiswa asal Arab ini menerima balasan email dari ayahnya. Dan beginilah yang dikatakan sang ayah dalam suratnya, " Nak,  50 juta Dollar baru saja ditransfer ke rekeningmu. Jangan bikin malu lebih lama lagi. Segeralah gunakan uang yang  kukirimkan untuk memberi membeli sebuah kereta untuk dirimu sendiri !  "

Kuti terbahak segera setelah menyelesaikan ceritanya. Dee juga turut tertawa geli.

Ha ha ha...

Dasar raja minyak!      Ha ha ha ha ha ha ha...

p.s. i love you...

**gambar diambil dari: chrisescars.com**

Menang 'Kontes' Bulanan dan Umroh...

ADA dua kabar bahagia yang ingin kami bagikan untuk teman-teman, terkait dengan kiprah Kuti dan Dee di dunia maya dan nyata.

Kita mulai dengan Kuti.

Di dunia maya, Kuti punya banyak nama ‘alias’ lain. Antara lain sukangeblog. Nama sukangeblog juga dipakai ketika aku membuat akun di kompasiana. Berbeda dengan di blogdetik, ‘blog’ di kompasiana memang hanya diupdate sewaktu-waktu.

Kemarin, ketika iseng membuka kompasiana, aku terkejut. Ternyata sukangeblog dinobatkan sebagai pemenang Blogshoptips edisi Juni dan berhak mendapat hadiah sebuah telepon genggam. Blogshoptips adalah wadah yang disediakan kompasiana untuk berbagi tips ngeblog. Setiap bulannya admin kompasiana  memilih satu tips yang dianggap terbaik. Dan untuk bulan Juni, tips ngeblog dari sukangeblog berjudul ‘Ngeblog itu seperti menanam bunga’ dianggap terbaik dari sekitar 170 tips ngeblog yang masuk.

menang-di-kompasiana

Secara pribadi, ini tentu kabar yang menggembirakan. Bukan karena aku bakal mendapat hadiah telepon genggam, namun lebih pada nilai kemenangan itu sendiri. Karena aku menang di ajang yang digelar kompasiana!! Beberapa teman yang rutin main di kompasiana pasti tahu kalau kompasiana dipenuhi banyak penulis hebat dengan kualitas kelas satu. Bisa dianggap salah satu yang terbaik tentu sebuah kejutan yang mungkin tak akan terjadi lagi di masa-masa mendatang.

Kabar gembira kedua terkait Dee. Akhir pekan ini, Dee dan keluarga akan berangkat ke Tanah Suci guna menunaikan Umroh. Yang akan berangkat tentu bukan Dee, Kuti, Pradipta dan kedua kembar, namun keluarga Dee di dunia nyata (yakni Dee bersama suaminya mas Sigit, putri sulungnya yang ternyata berbakat nulis, kedua putra, adik dan orang tua).

Kenapa Kuti gak ikut? Hahaha. Karena sesuatu alasan aku memang gak akan pernah bisa ikut Umroh ;) . Walau gak ikut, aku menitipkan beberapa doa utuk disampaikan :) .

Hingga tulisan ini dibuat, belum diketahui apakah hotel tempat Dee dan keluarga menginap di Tanah Suci punya fasilitas internet. Jika ada, tentu kita berharap Dee bisa secara berkala menuliskan pengalamannya menjalani Umroh, bagaimana dia dan keluarga menjalani momen-momen religi nan penuh makna. Jika hotelnya tak terkoneksi internet, itu artinya kita harus bersabar hingga Dee kembali ke Tanah Air dan membagikan pengalamannya yang pasti seru dan penuh hikmah.

p.s
Kalau ke Umroh pulangnya bisa bawa oleh-oleh gak ya? Jika bisa tentu kita berharap oleh-oleh yang dibawa Dee gak hanya tulisan untuk posting namun bisa juga sesuatu yang lain, yang bisa disentuh atau dimakan,misalnya.  Hehehehehehe ;)

Enaknya Menjadi Laki-laki

Jadi laki-laki itu enak. Dan menyenangkan. Rekan bloggerdetik yang berjenis kelamin laki-laki pasti tahu hal ini. Ada banyak 'kelebihan' dan 'keuntungan' menjadi laki-laki. Bahkan di pergaulan, laki-laki kerap diuntungkan, terutama menyangkut bagaimana tanggapan orang banyak.

enaknya-jadi-laki-laki

Lalu, apa sih enaknya menjadi laki-laki? Berikut beberapa fakta yang membuktikan bagaimana enaknya menjadi laki-laki.

Kalau meja kerja laki-laki berantakan, orang bilang: Wah dia memang orang kerja...
Kalau meja kerja perempuan berantakan, orang bilang: Perempuan apaan tuh? mengatur meja aja gak becus...


Klau laki-laki menikah dan kerja, orang bilang: Pasti hidupnya akan lebih baik dan dia bisa membahagiakan keluarga
Kalau perempuan menikah dan kerja, orang bilang: Tunggu aja, begitu hamil pasti minta cuti ato brenti...


Kalau laki-laki bercerita di jam kerja, orang bilang: Hebat, lantaran bicara bisnis, sampe2 lupa makan...
Kalau perempuan bicara di jam kerja, orang bilang: Gak perlu heran, dasar tukang gosip...


Kalau laki-laki tak ada di meja kerja, orang bilang: Hebat, pasti lagi tugas luar...
Kalau perempuan tak ada di meja kerja, orang bilang: Kemana lagi? Pasti keluyuran di mall


Kalau di meja kerja laki-laki ada foto keluarga, orang bilang: Bukannya sombong, tapi ini tipe suami teladan dan setia
Kalau di meja kerja perempuan ada foto keluarga, orang bilang: Yah begitulah, mereka lebih mementingkan keluarga daripada kerja...


Kalau laki-laki berhenti kerja dan mendapat pekerjaan baru, orang bilang: Keren, sungguh pintar mencari peluang...
Kalau perempuan berhenti kerja dan mendapat pekerjaan baru, orang bilang: Kasihan, tipikal perempuan, gak bisa dipercaya...


Kalau laki-laki ngeblog di blogdetik, orang bilang: Itu wajar, karena laki-laki butuh wahana untuk mengekspresikan gagasan dan ide..
Kalau perempuan ngeblog di blogdetik, orang bilang: Emang mereka ngerti yang mereka tulis? Paling isinya curhat melulu...


p.s
Posting ini didaur-ulang dari sebuah humor edisi jadul. Karena sifatnya hanya lucu-lucuan, semoga gak ada pihak (terutama perempuan) yang cemburu dan iri sakit hati...

Hehehehe ;)

Kisah Dari Kendaraan Umum...

Tentang kendaraan umum…

AKU selalu menikmati saat- saat ketika berada di kendaraan umum.

Kendaraan umum memungkinkan kita untuk mengamati beragam tingkah polah manusia. Mengijinkan kita untuk menyerap banyak hal yang menghaluskan rasa.

Misalnya saja, aku selalu terenyuh dan berpikir betapa beratnya perjuangan hidup yang harus dilakukan oleh banyak orang saat mengamati para penumpang KRL, terutama KRL Ekonomi.

Lihatlah bagaimana di pagi hari banyak pedagang yang membawa beragam barang dagangan dalam jumlah besar dan tentunya berat berpacu dengan waktu untuk memuat barang- barangnya ke dalam KRL yang hanya berhenti sekejap di setiap setasiun.

krl-jabotabek

Ada suatu peristiwa lain yang juga tak pernah kulupakan hingga saat ini.

Sudah larut malam saat itu, dan KRL Ekspres terakhir sudah lewat. Aku memutuskan untuk pulang dengan KRL ekonomi. Seperti biasa, ada banyak orang yang rupanya saling mengenal duduk bergerombol di ujung gerbong. Mereka bercakap- cakap sambil tertawa- tawa, dan, sebuah percakapan tertangkap oleh telingaku.

Seseorang dalam kelompok itu bertanya pada temannya, “ Gimana, dapat uang hari ini ?”

Temannya menjawab pendek, “ Tidak. “

Si penanya menjawab, “ Saya juga tidak. “

Temannya yang lain menimpali, “ Susah sekarang…”

Dan terdengar lagi sebuah suara, “ Iya. Sedih juga. Sudah tidak dapat uang, sampai rumah dimarahi istri pula (sebab tidak dapat uang ini).”

Oh.

Percakapan yang sungguh menikam jantungku.

Betapa orang- orang ini, yang saling menghibur dengan tertawa- tawa bersama ini sebenarnya menghadapi kehidupan yang keras setiap hari…

***



Tak selalu situasi dalam kendaraan umum begitu suram, tentu saja.

Anak- anakku saat masih kecil dulu bahkan menganggap naik kendaraan umum semacam angkot sebagai sebuah acara rekreasi.

Bahkan ketika situasinya tercipta sama sekali bukan karena hendak bersenang- senang.

Pernah suatu kali, saat anak bungsuku masih bayi, suamiku bertugas ke luar kota dan ditempuhnya perjalanan itu dengan mobil. Karenanya selama beberapa hari, tak ada mobil di rumah.

Dan si bungsu ternyata sakit saat itu. Badannya panas dan demam.

Ayahnya baru akan pulang beberapa hari kemudian. Kuputuskan untuk tak menunda kunjungan ke dokter. Kusiapkan beberapa barang yang dibutuhkan ke dalam tas dan bersiap untuk membawa si bungsu ke dokter dengan naik angkot saja.

Saat itulah kedua kakaknya menghampiri aku.

“ Ibu mau kemana? “ tanya mereka.

“ Ke dokter, adik sakit, “ jawabku.

“ Naik apa? “ tanya mereka.

“ Naik angkot, “ jawabku.

“ Aku ikut kalau naik angkot,  “ jawab anakku yang tengah. Dia memang selalu senang jika diajak naik angkot.

“ Aku juga ikut, “ si sulung menimpali.

Aku menimbang- nimbang. Akhirnya kuputuskan, mereka boleh ikut.

Dan begitulah, sore itu aku pergi ke dokter naik angkot dengan tiga anak kecil, satu diantaranya adalah bayi yang sedang sakit dalam gendongan.

Cuaca cerah saat kami berangkat, tapi tak begitu saat perjalanan pulang. Ketika kami sedang menyeberang jalan untuk mencapai tempat angkot, titik air hujan mulai turun.

Singkat cerita, kami berhasil mencapai angkot itu. Si bungsu masih demam, tapi dia tenang dalam gendongan. Kedua anakku yang lain, tak perduli hujan turun dengan deras saat itu, tetap riang gembira di dalam angkot yang kami tumpangi.

Yang lucu, rupanya pemandangan seorang ibu yang bepergian sendiri dengan tiga anak kecil merupakan pemandangan yang ‘memprihatinkan’ bagi orang yang melihatnya. Sebab dalam perjalanan di angkot itu, seorang ibu mengajakku mengobrol. Menanyakan dari mana tadi. Lalu dimana kami tinggal. Dan kemudian, keluarlah pertanyaan yang mungkin sejak tadi sudah dipendamnya dalam hati, “ Kemana Bapaknya? “

Ha ha ha.

Kujawab bahwa suamiku sedang bertugas ke luar kota. Dan ibu itu mengangguk tanpa bertanya- tanya lagi.

Kejadian itu bertambah lucu sebab keesokan harinya ketika kuceritakan pada kawan- kawanku bahwa kemarin aku pergi ke dokter dan naik angkot dengan ketiga anakku yang masih kecil- kecil, seorang kawanku berkomentar, “ Untung kamu nggak ketemu nenekku kemarin. Kalau kamu ketemu nenekku, pasti kamu dikasih uang seribu, soalnya nenekku paling kasihan kalau lihat ibu- ibu yang pergi sendiri naik angkot bawa anak kecil banyak  begitu… “

Ha ha ha, kukatakan pada kawanku, artinya, bukan untung namanya jika aku kemarin tak bertemu dengan neneknya, tapi rugi. Andai saja aku bertemu, mungkin senang juga jika aku diberi uang seribu rupiah oleh neneknya yang baik hati itu… ha ha ha…

p.s. i love you


** gambar diambil dari detiknews.com

Tentang Angkot Dan Mobil Impian

Tentang kendaraan umum dan mobil impian...

PERTAMA kali orang tuaku melepas aku untuk naik kendaraan umum sendiri adalah saat aku masuk SMP. Sebelas tahun usiaku saat itu. Dan jika saat di TK dan SD orang tuaku mengantar dan menjemputku ke sekolah, ketika aku duduk di SMP, hanya pada pagi hari – untuk mengejar waktu – orang tuaku mengantarkan aku ke sekolah. Di siang harinya, aku pulang dengan kendaraan umum.

Senang?

Tentu. Senang sekali.

Ada banyak kawanku yang rumahnya searah dengan rumahku dan biasanya kami pulang beramai- ramai. Uniknya, walau ada jalur angkot yang melalui sebuah jalan tak jauh dari sekolah kami, kami seringkali malah memilih jalur lain yang membuat kami harus berjalan kaki lebih jauh sebab dengan begitu kami bisa lebih lama mengobrol dan bercengkrama. Ha ha ha.

Kebiasaan naik kendaraan umum sambil bercengkrama dengan teman- teman berlanjut hingga aku duduk di bangku SMA. Bahkan walaupun jika ingin efisien seharusnya kami memilih rute yang berbeda, adakalanya yang kami lakukan adalah memilih rute yang sama dan baru di suatu titik kami berpencar, menyambung dengan angkot lain yang menuju arah rumah masing- masing.

Kadang- kadang, jika titik pencar itu tak lagi jauh dari rumah, aku memilih untuk berjalan kaki saja sampai ke rumah, menikmati jalan yang teduh dengan pohon tanjung berjajar rapi di pinggir jalan. Seringkali aku memunguti satu-dua kembang tanjung yang putih mungil itu untuk menikmati keharumannya…

Di kemudian hari hingga aku dewasa walau aku kemudian bisa mengendarai mobil dan memiliki SIM, aku tak pernah berhenti naik kendaraan umum. Sampai saat ini…

***



carBeberapa waktu yang lalu, sempat ada pertanyaan berantai beredar diantara para blogger. Salah satu pertanyaannya adalah ‘ apakah mobil impianmu ’ ?

Mudah bagiku untuk menjawab pertanyaan itu. Bukan karena aku memiliki mimpi tentang sebuah merk mobil tertentu. Justru sebaliknya. Aku tak pernah mempunyai mimpi semacam itu.

Kendaraan, termasuk mobil di antaranya, bagiku hanyalah semata alat transportasi. Sehingga bagiku, mobil apapun jadilah. Tak terlalu penting apa merknya. Sama saja.

Kawan- kawan yang dekat denganku tahu benar hal ini. Dan kadangkala, sebab menurut mereka aku ‘keterlaluan’, topik ini menjadi bahan gurauan mereka. Salah satu gurauan yang populer adalah pertanyaan apakah aku bisa membedakan Mercy dengan angkot atau tidak, ha ha ha.

Gurauan itu ada latar belakangnya.

Jadi, suatu hari beberapa tahun yang lalu, keluar satu seri Mercy terbaru. Saat itu kebetulan dalam team kerjaku di kantor aku adalah satu- satunya perempuan. Anggota team yang lain adalah para lelaki. Dan mudah diduga, salah satu topik pembicaraan favorit mereka adalah tentang mobil. Tak terkecuali soal Mercy terbaru yang saat itu menjadi topik pembicaraan dimana- mana. Mulai dari bentuknya yang lebih kecil , bentuk lampunya serta beragam feature lainnya

Dan pada suatu hari di sekitar saat itu, aku training ke Bangkok. Training yang seperti biasa, dihadiri oleh orang- orang dari banyak negara yang beragam. Dari Indonesia, aku berangkat bersama seorang kawan.

Selama training itu, pihak hotel menyediakan shuttle bus untuk kami, sebab semua peserta training menginap di hotel yang sama. Jadi, di pagi hari kami diantarkan ke kantor, dan sore hari shuttle bus yang sama telah menanti untuk membawa kami pulang ke hotel.

Lalu, pada suatu hari rupanya seorang kawan dari negara lain terlambat sehingga tak dapat berangkat ke kantor dengan shuttle bus. Dan akhirnya, dia diantarkan dengan sedan Mercy model terbaru milik hotel ke kantor.

Sampai beberapa saat kemudian, di Jakarta, pada suatu hari aku kembali mendengar kawan- kawanku mempercakapkan mobil Mercy seri tersebut, lengkap dengan komentar tentang betapa inginnya mereka mencoba naik mobil semacam itu. Tentu nyaman sekali, kata mereka.

Aku tertawa, lalu dengan iseng kukomentari percakapan itu dengan “ Wah, sayang aku selalu tepat waktu saat training di Bangkok kemarin. Kalau saja aku pernah terlambat, aku kan juga bisa nyoba naik mobil seperti itu ya… “

Dengan segera aku menyadari bahwa ada yang salah dengan komentarku ketika kawan yang bersama- sama denganku berangkat training ke Bangkok ketika itu menatapku dengan pandangan heran. Tatapan keheranan yang lalu disambung dengan tawa geli saat dia berkata, , “ Lho, tapi kita kan memang sudah pernah naik mobil itu! “

Oh.

Pernah?

Kapan?

Kawanku tertawa makin geli, “ Waktu mau pulang. Dari hotel ke airport kita kan naik mobil itu… “

Bisa dibayangkan, kawan- kawanku yang lain serentak berteriak iri dan dengan serentak menanyakan bagaimana rasanya naik mobil semacam itu.

Kawan yang bersama- sama training denganku itu, seorang lelaki, memenuhi rasa keingin tahuan kawan- kawan lain dengan bercerita secara detail, sementara aku sendiri malah menggumam dalam hati, “ Oh ya ampun… jadi sebetulnya mobil yang jadi bahan percakapan itu ‘segitu aja’? Nggak ada bedanya kalau buat aku sih… “

Mudah diduga seperti apa reaksi kawan- kawanku saat kalimat ‘nggak ada bedanya’ itu kukatakan pada mereka. Dengan ‘putus asa’ mereka berusaha meyakinkan aku bahwa tak mungkin tak ada bedanya, pasti beda sekali kenyamanannya, sementara di pihak lain aku bersikeras menyatakan tidak, tak ada bedanya, tak terasa bagiku. Ha ha ha.

***



Lalu sekitar beberapa bulan setelahny, aku diundang untuk menghadiri rapat di Kuala Lumpur.

Kali ini aku pergi sendiri, dan dalam perjalanan pulang menuju airport dari hotel, aku teringat pada kawan- kawanku satu team itu dan percakapan mereka tentang mobil. Dalam hati aku tersenyum dan berniat untuk meledek mereka setibanya kembali di Jakarta nanti.

Aku tak tahu apa merk sedan yang kutumpangi untuk pergi ke airport saat itu. Yang jelas sedan itu nyaman ditumpangi. Kuniatkan untuk melihat merknya nanti saat turun di airport, agar dapat kukatakan pada kawan- kawanku bahwa aku menaiki sedan merk X – entah apa – yang sungguh kenyamanannya toh tak ada bedanya dengan Mercy seri terbaru yang menghebohkan yang konon (aku sungguh tak ingat!) pernah kutumpangi saat perjalanan ke airport di Bangkok dulu.

Jadi, begitulah. Setibanya di Kuala Lumpur International Airport , saat menurunkan barang- barang dari bagasi mobil, kusempatkan melihat logo mobil tersebut. Dan aku ( terpaksa ) terbahak sendiri mentertawakan ke-error-anku, sebab… ha ha ha… mobil yang kutumpangi itu… ya ampun... mobil Mercy juga, ternyata!

***



Lho, Mercy lagi?

Ha ha ha, alih- alih kagum, aku kembali berpikir, jadi apa bedanya Mercy dengan yang lain, sebab saat menumpanginya aku toh tak segera bisa melihat bedanya dengan mobil lain?

Ha ha ha.

Kuceritakan hal tersebut pada kawan- kawanku di kantor, para lelaki di team-ku, yang menyambut ceritaku dengan tawa lebar. Salah satu dari mereka kemudian menggodaku, mengajukan pertanyaan yang di kemudian hari sering sekali dijadikan bahan gurauan di antara kami, tentang apakah aku bisa membedakan antara angkot dengan Mercy atau tidak? Atau jangan- jangan, keduanya tak ada bedanya bagiku? Ha ha ha…

p.s. i love you




( bersambung )

* gambar diambil dari: jokesprank.com