Rumah Impian itu... (1)

Tentang rumah, mimpi- mimpi dan harapan.

SERTA kenyataan.

“ Andrea Hirata itu tidak menikah ya, Dee? “

“ Setahuku tidak.”

“ Ya pantas. Kalau aku tidak menikah juga aku mau aja tinggal di rumah di tepi pantai seperti itu…”

Aku terbahak.

Kuti ‘menyebalkan’, pikirku. Kenapa sih dia tidak membiarkan aku bermimpi dan mengkhayal lebih lama?

rumah-kayu




***



Pembicaraan di atas adalah kepingan obrolanku dengan Kuti.

Saat itu kuceritakan padanya, betapa menyenangkannya hidup Andera Hirata. Menurut apa yang tertulis pada kata pengantar di buku dwilogi Padang Bulan karyanya, Andrea yang lulus dari postgraduate program di Inggris dan pernah bekerja di sebuah institusi keuangan di London dan di perusahaan negara telekomunikasi di Indonesia tapi tidak mendapatkan kebahagiaan disana kini lebih banyak tinggal di tempat kelahirannya, Belitong.

Di pulau itu, Andrea tinggal bersama kedua orang tuanya, walau dia sendiri lebih banyak melewatkan waktu disebuah kabin di tepi sungai, di tepi kampungnya. Tanpa jaringan telepon, tanpa internet dan tanpa listrik.

Aku yang mungkin saat itu kurang teliti membaca informasi ini mengatakan pada Kuti bahwa kabin tersebut berada di tepi pantai, bukan sungai, dan respons Kuti atas khayalanku tentang ‘betapa senangnya jika bisa melakukan itu’ adalah seperti yang dikatakannya di atas, bahwa dia juga akan senang melakukan hal tersebut kalau dia tidak menikah.

Ha ha ha.

Persahabatan erat kami selama dua tahun terakhir membuat Kuti mau tak mau, suka tak suka, terpaksa atau dengan senang hati, mendengar banyak khayalanku. Dari yang masih masuk akal sampai yang akan sangat rumit untuk diwujudkan.

Dan untunglah (sekaligus ‘menyebalkan’ tadi itu!) pada kebanyakan waktu Kuti tetap logis dan seringkali menarikku kembali ke bumi, dengan jawaban- jawaban semacam yang diberikannya tentang tinggal di kabin itu.

Jawaban telak yang membuatku tertawa geli.

Sebab alasan yang sama dengan apa yang dikatakannya itulah yang membuat aku, sejauh apapun khayalku melambung, tetap hidup dengan cara yang ‘biasa’. Tinggal di sebuah kompleks perumahan, dengan keluarga – suami dan anak- anakku. Hal yang sangat normal dan populer bagi keluarga- keluarga masa kini.

Bahagiakah aku?

Tentu. Tak perlu ditanyakan lagi.

Hanya saja, kebahagiaan itu tampaknya tidak ada hubungannya dengan kebiasaanku untuk mengkhayalkan adanya rumah lain di tempat- tempat yang berbeda- beda.

Khayalanku tentang rumah melibatkan bentuk rumah yang mirip, yaitu rumah yang komponen utamanya terdiri dari kayu, tetapi lokasinya terentang dari mulai Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta sampai… daerah Minahasa.

Dari rumah di ketinggian kota Bandung dimana saat malam hari lampu di seluruh kota akan tampak dari halaman belakang. Atau rumah dimana gunung Merapi tampak tegak menjulang. Rumah dengan halaman luas dan bunga berwarna- warni tertiup angin di udara sejuk yang terletak di sebuah lokasi sangat indah diantara dua buah gunung Merapi dan Merbabu. Rumah diantara keindahan dan keanggunan deretan perbukitan dan kehijauan memikat sekitar Bukit Menoreh. Rumah di tepi pantai di sekitar Wonosari. Rumah dimana terdapat telaga, kawah, gunung, dan perkebunan teh dengan mawar- mawar liar yang merambat tumbuh di pematangnya di seputaran Dieng dan Wonosobo. Rumah diantara rimbunnya deretan pohon kelapa di Tomohon yang sejuk berlatar belakang pemandangan gunung Lokon yang amat memanjakan mata. Rumah di tepi pantai di sekitar Minahasa, dan…

Tentu saja: rumah kayu yang dari jendelanya yang terbuka akan tampak pemandangan hutan cemara dan gunung- gunung yang indah…

Entah dimana.

Semua mimpi- mimpi itu masih ditambah dengan beragam detail: tentang sungai yang mengalir di belakang rumah, tentang pohon bungur dan jacaranda penuh dengan bunga ungu, tentang pohon- pohon willow yang merunduk menyentuh air, tentang…

Intinya, aku tak pernah berhenti bermimpi…

Dan orang- orang yang dekat dengan akulah – termasuk Kuti – yang menjadi ‘korban’ karena harus mendengar khayalan tentang beragam rumah yang melibatkan kehidupan nomaden tersebut.

Ha ha ha…

Di luar kawan- kawan baik, suami ( dan anak- anakku ) tentu saja merupakan ‘korban utama’ khayalanku ini...

***



Mari aku ceritakan tentang rumah yang kami tinggali saat ini.

Rumah pertama kami, seperti kebanyakan rumah pasangan yang baru menikah, adalah rumah mungil yang terletak di sebuah kompleks perumahan.

Rumah itu menyenangkan. Karena kontur tanah di kompleks kami memang berbukit- bukit, maka ketinggian rumah tidak sama satu sama lain.

Rumah kami kebetulan letaknya agak tinggi, mungkin sekitar dua meter di atas jalan. Karenanya, kami putuskan bahwa kami tak lagi perlu menaruh kursi- kursi di teras. Teras kami biarkan saja polos apa adanya dan kami biasa duduk di lantai teras yang tinggi itu. Enak, adem dan ‘pemandangannya bagus’ karena kami melihat jalan di depan rumah kami dari ketinggian.

Rumah mungil tersebut, sayangnya, tak dapat menampung kesukaanku akan tanaman. Dan buku. Serta keinginan memiliki pohon rambutan di halaman rumah.

‘Masalah’ yang berulang saat kami tinggal di rumah tersebut adalah ketika di akhir minggu aku berdiri kebingungan dengan pot di tangan yang tak tahu lagi akan diletakkan di mana.

Suamiku yang baik hati, pada suatu hari tanpa banyak cakap mengambil sepedanya lalu pergi ke tukang kayu di pinggir jalan, memilih beberapa ruas kayu dan seharian sibuk dengan beragam kayu, paku, palu dan ampelas serta pelitur. Dibuatnya sebuah rak yang ketika sudah jadi ditunjukkannya padaku.

“Untuk pot tanaman kamu, “ katanya.

Aha. Pernyataan cinta yang sungguh manis!

***



‘Masalah besar’ lain dengan rumah mungil kami adalah…

Sesaat setelah menikah, kami baru menyadari apa ‘harta karun’ yang masing- masing dari kami bawa ke dalam pernikahan kami, yaitu buku.

Aku,  yang saat itu sudah bekerja, dengan berkardus- kardus barang yang kubawa pindah dari tempat kost, dan suamiku dengan koper- koper yang belum dibuka sejak kepulangannya dari negara tempatnya mengambil Master Degree beberapa saat sebelum itu. Dus serta koper- koper tersebut, ketika dibuka, isinya tak lain dan tak bukan: buku.

Wah.

Rumah mungil kami tak cukup memiliki ruang untuk menaruh buku- buku tersebut.

Akhirnya, koper dan dus- dus berisi buku itu kami tutup kembali.

Suamiku menyuruh tukang membuat semacam para- para di bawah atap dari kayu. Dijadikannya tempat ini gudang. Buku- buku kesayangan kami, apa boleh buat, terpaksa menjadi penghuni gudang ini selama bertahun- tahun sampai pada suatu saat kami memiliki rejeki cukup untuk membeli sebidang tanah yang agak luas di kompleks perumahan yang sama.

Dan aku dengan gembira mulai membangun mimpi lagi…

p.s. i love you.

( bersambung)

2 comments:

rice2gold said...

hah....impian demi impian akan rumah tempat kita nyaman berdiam diri didalamnya memang terasa menyenangkan ya untuk masuk dalam "awan-awan" di otak kita :)

iyaaaaaa :D d.~

dirtyharry said...

Kalau ada keong pertapa berniat tukar guling rumahnya dengan cangkang keong racun di pojok halaman rumah mbak Dee, kira-kira diizinin kan?

keong racun? ahay. ada2 aja.. :-) d.~

Post a Comment