Selangkah Kemuka...

Satu langkah.. dua langkah.. dua puluh langkah?

AKU tersenyum membaca komentar sukangeblog dalam posting yang kubuat. Tanpa sengaja, komentar tersebut menyentuh suatu topik yang memang sudah kuniatkan untuk kutulis dalam posting  lanjutannya.

Yaitu bahwa ukuran satu langkah bagi seseorang dengan orang lain mungkin tidak sama.

Ibarat bermain catur, mungkin saja para grand master itu tidak berpikir dua puluh langkah ke depan, tapi hanya satu langkah. Namun satu langkah yang dipikirkan para grand master tersebut karena logika, latihan dan pengalaman serta pemahaman yang dimilikinya setara dengan dua puluh langkah bagi orang lain...

catur1





Ah, aku jadi teringat pada Enong, tokoh utama dwilogi Padang Bulan yang ditulis Andrea Hirata.

Padang Bulan, dengan sukses membuat aku sangat terharu bahkan sejak membaca lembar- lembar pertamanya. Dan Enong, sungguh menginspirasi. Dia menunjukkan ketegaran dan keteguhan hati, jiwa yang tak hendak menyerah dan perlawanan terhadap kesewenang- wenangan termasuk dengan cara… menjadi juara catur pada peringatan 17 Agustus di kampungnya.

Enong, di kemudian hari, dijuluki sebagai Maryamah Karpov karena kepiawaiannya memainkan bidak catur dengan taktik serupa yang digunakan Anatoly Karpov, grandmaster dunia kelahiran Rusia.

Tapi tentang ini nanti sajalah. Mari kita kembali ke topik utama. Tentang prestasi kerja, dan cara berpikir yang efisien serta menjangkau ke muka.

***



Aku pernah punya pengalaman unik tentang ‘berpikir satu langkah ke depan’ ini. Yaitu ketika suatu hari, bertahun- tahun yang lalu, seseorang yang bekerja di perusahaan yang sama denganku di negara lain meminta aku menjadi mentornya.

Mentor, dalam struktur kerja di kantorku saat itu adalah sesuatu yang dianjurkan untuk dimiliki setiap orang. Siapa yang menjadi mentor bagi seseorang, dapat dipilihnya sendiri, dan jika orang yang diminta menjadi mentor tersebut menyetujui permintaan itu, maka program mentoringnyapun akan disusun berdasarkan kesepakatan bersama antara mentor dan sang mentee-nya.

Berbeda dengan hubungan antara manager dan anak buah yang formal serta ‘tak ada pilihan’, karena dalam banyak kasus kondisinya adalah ‘given’ bagi kedua belah pihak, hubungan antara mentor dan mentee lebih cair.

Sebisa- bisanya, setiap kali aku diminta menjadi mentor, tak kutolak permintaan tersebut.

Alasanku untuk sebisanya tidak menolak permintaan menjadi mentor adalah sebab kupahami bahwa permintaan menjadi mentor hanya akan diberikan jika seseorang melihat ‘sesuatu’ pada calon mentornya. Sesuatu yang dirasanya akan dapat membantu untuk mencapai jenjang yang lebih baik dalam karirnya. Dan selain aku senang bisa membantu, hal tersebut juga merupakan penghargaan bagiku.

Ditambah lagi, seringkali dengan menjadi mentor, pemahaman kita juga bertambah. Kita banyak belajar. Baik mengenai hal- hal teknis pekerjaan maupun pemahaman terhadap manusia (lain) atau diri sendiri.

Dan pemahaman terhadap diri sendiri inilah yang pada suatu hari kuterima saat aku menjadi mentor seseorang dari negara yang berbeda itu…

***



Ketika itu, setelah beberapa kali pertukaran email serta kesepakatan untuk menjadi mentor dan mentee tercapai, langkah berikutnya adalah mengatur waktu teleconference. Karena tidak berada di negara yang sama, maka diskusi dilakukan melalui hubungan telepon.

Masih kuingat hingga hari ini bagaimana jalannya pembicaraan pertama kami saat itu.
Setelah basa basi pertanyaan apa kabar, dan sebagainya, kuminta mentee-ku menceritakan tentang karirnya saat ini agar aku dapat memperoleh gambaran awal. Yang pertama, di level berapa dia berada. Dia menyebutkan level kepangkatannya. Setelah itu, kuminta dia menceritakan apa rencana dan keinginan yang ingin dicapainya dalam karir.

Di ujung saluran telepon sana, dia bicara. Panjang lebar. Kubiarkan saja dia bicara dan akhirnya pada suatu titik, baru kukeluarkan suaraku. “ Jadi maksudnya, “ kataku, “ Pekerjaan yang dicita- citakan setelah ini adalah jabatan anu? “ Kusebutkan sebuah jenis pekerjaan dan jabatan.

Diam di ujung sana.

Sedetik, dua detik…

Lalu, kudengar suara.

“ Koq tahu? “ itulah kalimat pertama yang dikeluarkan mentee dari belahan dunia lain itu setelah jeda panjang tersebut.

Lho? Koq tahu bagaimana? Kan dari tadi dia panjang lebar cerita?

“ Tapi aku belum katakan bahwa itulah yang kuinginkan, “ begitu jawabnya saat kusampaikan jawabanku seperti di atas.

Hmmmmm.

Benar juga, dia memang tak mengatakan secara eksplisit apa sebetulnya cita- citanya. Tapi dari apa yang dia ceritakan, sangat jelas bagiku apa yang dia inginkan.

Kukatakan padanya, baiklah, tak perlu dibahas bagaimana aku bisa tahu apa yang dia maksudkan (sebab jika dibahaspun aku toh tak dapat menjelaskan, ha ha ha.. " Aku tahu ", itu saja yang bisa kujawab. Dan tentu tidak lucu jika jawaban semacam itu yang kuberikan padanya.. ha ha ). Yang penting, kesimpulanku benar, dan yang lebih penting lagi, menurutku hal tersebut dapat dicapai. Dan tak terlalu sulit.

“ Jika itu yang diinginkan, “ kataku, “ Maka yang perlu dilakukan hanya melompat selangkah ke depan. Begini, lakukan hal ini… “

Kuberitahukan satu langkah saja yang perlu dia lakukan, “ Dan itu akan tercapai. Perkiraanku, tak akan lebih dari enam bulan itu sudah bisa diraih… “

Diam lagi.

Sedetik…

Dua detik…

Tiga detik…

Kali ini, diamnya sungguh lama.

Kunanti dia bicara. Tak juga ada suara yang keluar.

Akhirnya kupecahkan keheningan itu.

“ Bisa kan? Ayo lakukan satu langkah itu. Dan enam bulan lagi, kalau sudah jadi pindah ke tempat yang dituju itu, traktir aku ya… “ gurauku padanya.

Belum juga ada suara.

Lalu sekian detik kemudian, ketika kudengar suaranya, nada yang kudengar sangat berbeda dengan yang kubayangkan.

Tadinya, kupikir akan kudengar suara penuh semangat yang mengatakan “ Ya, aku bisa !” , dan bereslah semuanya.

Tapi alih- alih suara yakin, nada sangat ragulah yang tertangkap pendengaranku. “ Mmm… mmm… satu langkah ya? “ tanyanya.

“ Iya, satu langkah saja, “ jawabku. " Lakukan langkah yang tadi kusebutkan, dan titik tujuan itu akan tercapai, " begitu aku mendorongnya.

“ Mmm… “ terdengar lagi suara ragu. “ Masalahnya… “

Diam lagi.

“ Masalahnya… “ katanya, “ Aku tidak tahu bagaimana caranya melakukan langkah itu… “

Gubrakkkk !!!

Aku tercengang.

Dan jadi bingung.

Tidak tahu bagaimana cara melakukan langkah itu? Hanya satu lompatan kecil ke muka untuk mencapai tujuan yang dia inginkan, dan dia tidak tahu bagaimana cara melakukannya?

Satu langkah saja…

~ Kali itu, aku yang harus terdiam lama...

p.s. i love you

( bersambung lagi… wah, Kuti pasti senang sekali sebab giliran nulisnya mundur lagi, ha ha ha ! )

picture taken from: inchesswetrust.wordpress.com

8 comments:

RAHMAT said...

selamat dan sukses atas blognya..

thank you... d.~

rinagu said...

selamat jg :D

*noleh-noleh nyari kuti* : kita lagi selametan apa? koq aku ngga tau? :P :mrgreen:
@rinagu: thanks anyway :-) d.~

INEZ SiMaNaDaLaHI said...

slalu menarik tunk dibaca..
salam
:)

makasih... salam juga :-) d.~

sukangeblog said...

ikutan bilang selamat ah, biar rame ;)

tengkyu linkbacknya ya :)

terimakasiiihhhhh... kadonya mana dong? hahaha :mrgreen: d.~

sigitarinto said...

hahahaha... itulah perbedaan seorang seorang master dengan rookie :)

Suara Hati said...

Waah bagus banget ada program mentoring seperti itu dikantor mba...patut dicontoh tuh....mentoring dari atasan langsung mgkin sebenarnya yg paling efektif, tapi itu kalo kebetulan punya boss yang memang pintar (dari segala sisi), kalau di perusahaan swasta mungkin yang bisa jadi boss krn memang pintar beneran, tp kalau di BUMN seringnya yg bisa jadi boss krn 'pinter' ngelobi....hehehehe...

aha! ini topik menarik untuk dibahas... kapan2 kita bikin posting khusus tentang topik semacam ini deh... boss2 yang 'pinter omong doang' dan yang menyengsarakan anak buah ( he he ) .

pada umumnya sih, manager itu, seperti juga semua manusia, punya kekuatan dan kelemahan. tapi aku juga tahu, ada manager- manager ( atau apapun nama jabatannya ) yang sebetulnya tidak layak duduk di situ karena tidak cukup kapabel yang yang dipikirkannya semata kepentingan diri sendiri saja.

omong2... aku pernah nulis hal semacam ini di daunilalang, terinspirasi dari quotenya mario teguh. ini dia:

http://daunilalang.blogdetik.com/2010/10/11/chapter-41-karena-kita-bukan-pelacur/

( boss2 omdo itu, kalo ditinggalin balik badan juga belum tentu bisa ngerjain apa yang sehari- hari dikerjain anak buahnya, he he he... tapi omong2, jalan ekstrim untuk balik badan dan pergi gini hanya boleh digunakan sebagai 'emergency exit' aja sih... kalau situasi benar2 buruk dan bos tersebut memang not at all deserve to be supported... ) d.~

Suara Hati said...

Eh jangan-jangan kepiawaian dalam '
melobi' termasuk salah satu dari langkah2 yang mba maksud dalam
artikel di atas yah??....hehehehe.......ditunggu lanjutannya yah....

'melobi' dalam arti menyampaikan pendapat dan berdiskusi sehat tentu keterampilan yang perlu dimiliki ya mou. tapi jika 'melobi' ini terjemahannya adalah 'menjilat', jadi 'yes man', ABS, atau menghalalkan segala cara... oooohhhh... tiiidddaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk... !!! d.~

funnie said...

artikel yang menarik.....:)
saatnya membuat perubahan, maju satu langkah...:)

Post a Comment