Bagaimana Kita Bisa Begitu Tak Perduli?

Gemas, dan geram.

Itu yang kurasakan saat beberapa hari yang lalu melihat kejadian ini di dalam KRL ekonomi menuju Jakarta.

Kami naik dari stasiun pertama setelah Bogor. Artinya, itu stasiun ke dua jika Bogor dihitung sebagai stasiun pertama. Kami yang aku maksud adalah aku dan anakku.

Masih ada sedikit space tersisa di deretan bangku yang saling berhadapan. Jadi aku duduk ‘nyempil’ diantara ibu- ibu di suatu sisi, dan anakku duduk di sisi yang lain. Bisa mendapat tempat duduk seperti itu dalam KRL ekonomi, sungguh suatu kemewahan.

Di sisi anakku, duduk seorang bapak setengah baya. Mungkin berusia limapuluhan, atau kurang. Entahlah. Di sampingnya, lagi, berderetan empat orang anak lelaki yang aku duga berusia sekitar 8-10 tahun yang saling mengobrol sesamanya. Seperti layaknya kanak- kanak, mereka tampak gembira dan menikmati perjalanan itu.

Karena duduk persis di depanku, penampilan keempat anak lelaki itu langsung dapat terlihat. Salah satu dari mereka mengenakan celana seragam SD berwarna merah yang sudah agak lusuh, dengan kaus berwarna orange, yang juga sama lusuhnya. Anak di sebelahnya, tak jauh berbeda.

Dan ah… kusadari kemudian bahwa keempat anak itu, walau tak seragam, tapi semua menggunakan kaos berwarna orange. Barangkali mereka baru saja menghadiri acara tertentu di sekolah, atau memang saling berjanji untuk menggunakan baju yang sewarna? Aku tak tahu.

Kereta berhenti lagi di stasiun berikutnya. Stasiun ke tiga dari arah Bogor.

Masuk ke dalam kereta dua orang ibu dengan tiga anak perempuan yang dengan sekejap dari penampilan mereka bisa kunilai kondisi ekonominya. Kedua Ibu itu bersih, pakaiannya bagus dan rapi. Salah seorang diantaranya menggendong ransel -- pasti milik anaknya – yang bertuliskan Ipin dan Upin. Artinya, ransel itu usianya belum terlalu tua, karena Ipin dan Upin baru populer akhir- akhir ini.

Kereta mulai bergerak, dan…

Aku terpana.

Tak percaya pada apa yang kulihat.

dont-care



Salah seorang dari kedua ibu tersebut… mengusir anak- anak lelaki berkaus orange yang sudah duduk lebih dahulu di dalam kereta.
Aku bingung. Apa sih maunya ibu ini?

Kedua ibu itu berpakaian rapat dan tertutup dari ujung kepala sampai ujung kaki. Hanya muka dan telapak tangannya yang terlihat. Artinya, menurut logikaku, seharusnya mereka tahu dengan baik apa yang diajarkan oleh Yang Maha Pengasih di atas sana tentang bagaimana hubungan antar manusia seharusnya, bagaimana mereka sepatutnya berlaku pada anak- anak kecil.

Anak siapapun itu. Dan bagaimanapun kondisi ekonomi anak- anak tersebut.

Aku mengamati lagi.

Kupikir, ibu itu akan meminta tempat bagi anak- anak perempuan yang digandengnya itu. Salah satu dari anak perempuan itu kira- kira sebaya dengan para anak lelaki berkaus orange, yang dua sedikit lebih kecil.

Dan…

Dadaku nyeri.

Hatiku sakit luar biasa.

Bisa menebak apa yang kulihat?

Dua dari empat anak berbaju orange itu berdiri sebab diusir oleh salah seorang ibu tersebut. Jelas terdengar olehku yang duduk di seberangnya bagaimana salah satu ibu tersebut mengatakan “kamu berdiri, pindah sana… “ dan tak akan terlupakan olehku bagaimana tatap mata para anak lelaki tersebut. Tatap mata bingung tapi tak berani membantah. Dan begitulah, dua anak tersebut lalu berdiri.

Aku masih mengamati.

Lalu... blarrrrr…

Sungguh, batas kesabaranku bobol.

Jika hanya anak- anak perempuan itu yang duduk, masih kumaklumi tindakan itu, walau menurutku, tetap sedikit tak adil karena anak- anak lelaki itu toh sudah duduk lebih dulu. Tapi apa yang kulihat, sungguh mencengangkan.

Salah seorang dari dua ibu tersebut ikut duduk di tempat duduk itu! Dua anak perempuannya duduk bersama dia. Dan.. dengan tenangnya dia meletakkan tas-nya di tempat duduk di sampingnya.

Gemas, geram, sebal, kesal, marah… Entah apalagi yang kurasakan di dalam dada.

Jelas kulihat dua anak lelaki kecil tersebut menjadi bingung. Berdiri salah, hendak dudukpun tak lagi ada tempat.

Aku memandangi mereka. Salah satu dari ibu- ibu tersebut, yaitu ibu- ibu yang tadi mengusir para anak lelaki itu dari duduknya, memutar kepalanya dan matanya bertemu dengan mataku.

Ah, hatiku menjadi penuh prasangka. Karena ibu- ibu berkulit putih bersih dan berbaju rapi yang tadi mengusir kanak- kanak berbaju orange itu saat menatapku seakan menemukan ‘kawan sekelompok’ (walau tak suka berdandan berlebihan, aku tahu, aku memang sama sekali tak dapat disebut lusuh). Dia mengajakku tertawa dan menunjukkan gesture serta memberikan kode yang aku yakin tak salah menangkap yaitu meminta persetujuanku bahwa apa yang barusan dilakukannya adalah patut.

Mungkin dia pikir, kenapa harus pusing, anak- anak lelaki itu jelas lusuh penampilannya. Dan entahlah, apakah mereka naik kereta dengan membeli karcis atau tidak. Dan anak- anak dari keluarga kurang mampu, seperti kita tahu, selalu termajinalkan serta dianggap tak perlu ‘dimanusiakan’.

Ibu itu tertawa padaku.

Aku sama sekali tak tersenyum. Hatiku yang terasa sangat nyeri membuat bibirku terkatup rapat. Tatapanku tajam menusuk. Aku menyampaikan sinyal yang mudah- mudahan tertangkap olehnya: apa yang kau lakukan sebenarnya? Bagaimana bisa kau begitu tak perduli?

Aku makin geram ketika ibu- ibu yang duduk bersama dua anaknya itu dengan tenang membuka tas yang dia letakkan di tempat duduk di sampingnya, mengambil kue dari dalam tas tersebut dan bersama anaknya memakan kue- kue tersebut. Tak kulihat dia menawarkannya pada dua anak lelaki yang masih duduk di sampingnya.

Aku menimbang- nimbang. Anakku, juga lelaki, duduk di sisi anak- anak berbaju orange tersebut. Dalam kondisi biasa, tak kan sulit memutuskan. Akan kuminta segera anakku berdiri dan memberikan tempat duduknya pada kedua anak lelaki berbaju orange yang sekarang berdiri dan mondar- mandir di dalam gerbong itu. Kuduga, usia anak- anak tersebut sedikit lebih muda dari anakku, jadi sepatutnya anakku mengalah.

Tapi, masalahnya, hari itu anakku sedang berpuasa. Dia sedang menggenapkan puasa Syawalnya saat itu. Sudah lima hari dijalaninya puasa Syawal tersebut. Tinggal satu hari keesokan harinya yang tersisa. Dan saat itu kami bepergian sekitar tengah hari, saat matahari terik membara. Kita semua tahu apa artinya itu, apalagi bagi kanak- kanak yang berpuasa.

Tak ada cara lain.

Aku bukan hendak menjadi pahlawan. Tidak, sama sekali tidak. Aku hanya menuruti apa kata hatiku saja. Aku berdiri dari tempat dudukku dan kuberikan isyarat pada anakku untuk mengambil tempat dudukku serta memberikan tempat duduknya pada kedua anak berbaju orange yang terusir tadi.

Jika saja anakku tak sedang berpuasa, aku tak akan berdiri. Biar saja dia berdiri dan memberikan kursinya pada anak- anak berbaju orange itu. Aku ingin anakku tumbuh menjadi gentleman, dan pendidikan untuk menjadi gentleman sejati tak akan bisa dilakukan saat anak telah dewasa. Pelajaran itu harus dimulai sejak dini. Menjadi gentleman bukan urusan instan semudah membalik tangan. Tapi karena dia sedang berpuasa, kubuat perkecualian. Aku berdiri dan anakku duduk di tempat yang kududuki tadi.

Kuperhatikan terus kedua ibu tadi.

Tampaknya pada akhirnya mereka merasa bahwa aku tak sepakat dengan apa yang mereka lakukan.

Semoga begitu. Semoga begitu.

Sebab walau tak mengeluarkan sepatah katapun saat itu, sebenarnya aku menjeritkan beberapa kalimat dalam hatiku: Bagaimana kalian bisa begitu tak perduli? Bagaimana kalian bisa begitu tak punya hati ????!!!

Aku tak mengerti. Aku sungguh tak mengerti…

***



Ah... betapa sering sebenarnya dalam situasi yang berbeda kita juga tak perduli dan abai pada sekitar?

Jangan salahkan jika banyak preman berkeliaran dan berkuasa.

Pernahkah kita melihat tetangga disekitar kita diganggu oleh para berandalan dan alih- alih membantu, kita malah menutup mata, tak menunjukkan kita mengerti atas apa yang terjadi lalu malah bermanis- manis pada para berandalan agar esok lusa kita tak diganggu? Pernahkah kita melihat kesewenang- wenangan dan kita berdiam diri, karena walau kita melihat di depan mata, tapi yang terjajah adalah orang lain, dan bukan kita?

Pernahkah kita secara sadar mendekatkan diri pada pihak yang berkuasa, atau pendapat populer, walau tahu bahwa tindakan atau pendapat mereka tidak benar hanya agar dianggap teman dan tak dimusuhi?

Pernahkah kita berpikir bahwa berdiam diri itu tak selalu berarti netral, tapi seringkali sebenarnya itu berarti ignorance, tak perduli?

Pernahkah?

stop-ignorance



p.s. : i ♥ u



*** originally posted @ blog daunilalang, reposted @ rumahkayu ***



picture taken from: www.pollsb.com & ilankelman.org

6 comments:

sandalilang said...

Good example, mbak... If I'm in your position, I will do the same thing..

mechta said...

empati...mungkin sekarang menjadi sesuatu yg langka...

achoey said...

Ketika ketidakpedulian semakin membudaya
Maka nurani terusir keluar jendela

Pojok Pradna said...

*menghela napas*

penyuuuuuuuu said...

ignorance is the absence of love

LauriWooten34 said...

If you are in not good state and have got no cash to get out from that, you will require to take the loans. Just because that will help you unquestionably. I get small business loan every year and feel OK because of this.

Post a Comment