Cinta itu Berbagi. Cinta itu Kebersamaan.

Snorkeling, karang laut, ikan- ikan dan cinta...

KARANG- karang cantik dan ikan yang berwarna warni itu memanjakan mata kami.

Aku, dan kedua anakku.

Kami berada di Bunaken saat itu.

bunaken



Udara cerah. Langit biru. Laut di sekitar kami beriak tenang. Dan bertiga, kami berenang bersisian menyusuri pantai taman laut di Bunaken. Menjauh dan makin menjauh dari perahu yang mengantarkan kami menyeberang dari Manado ke sana.

Berulang kali kami terkesiap takjub.

Keindahan karang- karang itu. Beragam ikan yang kami lihat. Bermacam bentuk tanaman laut dan berjuta keindahan yang kami saksikan saat itu, hanya membuktikan satu hal saja: Kebesaran Tuhan.

Tak ada yang lain dari itu.

Indah, sungguh indah.

Kami bergerak perlahan, berenang tanpa tergesa.

Pemandangan yang tampak di sekitar kami makin, dan makiiin indah.

Aku menunjuk ke sebuah titik yang terlihat dari tempat kami berada. Tampak ada beberapa orang ada di sekitar situ. “ Di situ, katanya bagus sekali, “ ujarku. Informasi tersebut tadi aku dapatkan dari pengemudi perahu kami.

Bergeraklah lagi aku dan kedua anakku menuju titik tersebut. Sebentar lagi saja, tempat itu sudah akan tercapai. Dan ketika itulah salah satu anakku tiba- tiba berhenti berenang...

Aku turut berhenti. Anakku yang lain juga.

“ Ibu, “ anak sulungku yang tadi menghentikan laju renangnya berkata, “ Kita balik saja. “

Lho?

Aku bingung. Balik?

Seakan mengerti kebingunganku, anakku berkata, “ Iya, kita balik aja ke perahu, Bu. “

Balik ke perahu? Aku belum mengerti logika permintaan putri sulungku itu. Karena siang itu, kami berada di Bunaken, sebetulnya justru karena memenuhi permintaannya…

***



Aku beruntung, ketiga anakku tumbuh menjadi anak- anak yang tak banyak menuntut. Sekali- sekali saja mereka meminta sesuatu. Itupun selalu hanya disampaikan dengan gaya ringan yang “ kalau dikasih ya syukur, tak diberipun tak apa.” Tak pernah mereka memaksa.

Dan snorkeling itu juga begitu. Pada suatu hari menjelang liburan sekolah, anakku meminta aku, untuk keseribu kalinya, menceritakan pengalaman snorkeling di masa gadisku dulu. Ketika aku berenang di sekitar sebuah pulau dan saat aku bergerak makin ke tengah, aku terkesiap. Di sisi sebelah kananku gelap-gelap-gelaaappp sekali. Aku duga, aku tiba di batas jurang di bawah laut. Aku yang gelagapan kaget dengan segera menoleh ke samping kiri. Dan pemandangan di samping kiriku sangat berbeda. Laut dangkal di situ, dengan karang- karang dan ikan- ikan yang berwarna- warni berenang kesana- kemari.

Kelak ketika aku sudah menikah, pengalaman tersebut kuceritakan pada anak- anak dan entah mengapa, hal tersebut menjadi salah satu cerita favorit yang seringkali diminta untuk diceritakan ulang oleh mereka.

“ Bintang laut birunya bagus, Bu? “ salah satu anakku bertanya.

Ini juga pertanyaan yang telah beribu kali diajukan dan beribu kali pula kujawab. “ Bagus sekali,” jawabku.

Lalu, “ Kena bulu babi itu sakit nggak, bu? “ Juga, pertanyaan yang entah telah berapa kali ditanyakan dan dijawab.

Dan di tengah perbincangan semacam itulah putri sulungku berkata ringan, “ Snorkeling, yuk, Bu…”

Hmmm…

Snorkeling?

Sebetulnya, kami pernah mengajak anak- anak untuk snorkeling. Dulu, bertahun- tahun yang lalu, di Lombok. Tapi memang mereka masih kecil saat itu. Dan menurut pengakuan anak- anak, memang mereka ingat bahwa kami pernah berlibur ke Lombok, tapi tak bisa mengingat bahwa ada acara snorkeling terlibat di dalamnya.

Kubicarakan hal tersebut pada suamiku. Kami menghitung anggaran dan mengatur waktu. Dan akhirnya, di sanalah kami saat itu berada. Di Bunaken, pada suatu hari Minggu yang cerah, berenang menikmati keindahan karang dan ikan- ikan.

Lalu, putri sulungku, anak yang mengusulkan untuk snorkeling saat liburan kali itu, yang justru bahkan saat kami menuju tempat dimana konon keindahan pemandangan laut itu makin bertambahlah yang mengusulkan untuk kembali saja ke perahu.

Usulan yang aneh…

***



“ Keanehan “ tersebut terpecahkan ketika sulungku berkata, " Adik sedang apa ya? " dan sebelum dia menyambung kalimatnya, anakku yang kedua berkata, “ Kasian adik, ngga bisa lihat ini… “

Sang kakak  menyepakati. “ Iya ini kan bagus sekali, masa adik nggak lihat. Kita balik aja ke perahu, nanti ajak adik…”

Oh, jadi itu ternyata pasalnya.

Kami menyeberang dari Manado ke Bunaken sekeluarga. Aku, suamiku, berserta ketiga anak kami. Dan sayangnya, saat itu ternyata anak bungsuku kurang sehat. Saat kami baru tiba di Bunaken lalu mencemplungkan diri ke laut di sisi perahu, tampak sekali bahwa dia tak menikmati hal tersebut. Belum berapa lama berada di air, dia menggigil dan bibirnya mulai membiru kemudian bersikeras ingin naik ke perahu serta mengajak ayahnya untuk menemani. Akhirnya, suamiku meminta padaku untuk mengajak kedua anak kami yang lain berenang menikmati acara snorkeling hari itu sementara dia menemani si bungsu di perahu.

Dan begitulah, seperti yang telah kuceritakan, kami berenang menikmati semua keindahan itu, sampai ternyata anak- anakku tak lagi dapat menahan perasaan mereka.

Mereka tak sanggup terus menyaksikan semua keindahan itu saat tahu bahwa saudara kandungnya, adik mereka, berada di perahu, sakit dan tak bisa menikmati semua yang saat itu mereka nikmati. Mereka juga tak mau terus berenang menjauh karena ingat bahwa ayah yang sangat mereka cintai juga tak menyaksikan beragam bentuk karang dan ikan yang kami saksikan saat kami berenang ke tengah laut itu.

Kukatakan pada anakku, jika kembali ke perahu sekarang, karena waktu terbatas, ada kemungkinan bahwa kami tak akan bisa lagi kembali berenang menuju titik yang kami tuju tadi sebab tak lama lagi waktu untuk menyeberang kembali ke Manado telah tiba.

Kuberikan alternatif agar kami berenang saja ke titik tujuan kami dengan cepat lalu kembali.

Kedua anakku menggeleng. Ikan- ikan yang sangat indah, bintang laut biru yang kami temukan, karang- karang yang menakjubkan, justru membuat ingatan mereka pada adik dan ayahnya menguat.

Mereka berdua bersikeras untuk kembali saja ke perahu, dan andaikan bisa, membujuk adik bungsunya untuk turun kembali sebentar ke laut di dekat perahu untuk menikmati ikan- ikan sekedarnya. “ Jadi adik juga bisa lihat, Bu, “ kata anakku. “ Bapak juga bisa lihat ikan- ikan lagi sebentar…”

“ Nggak nyesel? “ tanyaku. “ Belum tahu lagi lho, kapan kita bisa kesini…”

Keduanya menggeleng. Tidak. Mereka tidak akan menyesal melakukan itu.

Jadi, kami berenang kembali ke perahu. Anak bungsuku berhasil dibujuk turun dari perahu ke air. Kakaknya membawa bintang laut biru yang kami lihat dan diletakkan di dalam air, di karang laut di dekat perahu, agar sang adik juga dapat melihat bintang laut itu.

Semua tampak gembira. Tak tampak sama sekali bahwa mereka menyesal melewatkan kesempatan untuk mencapai tempat yang tadinya kami tuju.

Ah, aku sungguh terharu.

Sebenarnya, aku sendiri mengerti apa yang mereka rasakan.

Aku mengerti, karena kami, aku dan suamikulah yang memang mengajarkan hal tersebut pada mereka.

Ajaran bahwa cinta itu berbagi. Cinta itu kebersamaan.

Dan begitulah, kedua anak kami itu merasa bahwa keindahan yang mereka lihat hanya akan terasa benar- benar indah dan lengkap jika adik dan ayah mereka juga turut menikmati keindahan yang sama. Tanpa itu, kenikmatan liburan kami akan terasa timpang…

p.s. i love you

picture taken from: tourismbeauty.blogspot.com

6 comments:

sigitarinto said...

Cinta yang indah mbak.. selamat karena telah berhasil menanamkan cinta seperti itu kepada semua anak-anak mbak..

erryandriyati said...

Aiiiiih...
Kebersamaan memang selalu indah ya mbaaaa...
Ade kaka walopun kadang suka berantem beranteman *curhat*..
Tapi sebenernya kompak dan saling sayang...

iya, memang begitu.. kalo salah satu ngga ada, trus dicari.
kalo punya makanan, ditunda makannya supaya bareng- bareng.
tapi nanti trus ada salah satu yang mulai iseng.. dan.. berantem lagi.. trus peluk-pelukan lagi
( jangan2 that's what sibling for, ya? he he he ) d.~

asmarie said...

kapan yah bisa seperti itu
hehe

semangat cinta yang hebat

kapan bisa ke bunaken atau kapan bisa punya rasa cinta yang hebat? :-) d.~

andivan said...

jadi terharu mba...
kebersamaan memang tidak bisa dibayar dengan apapun..
bunaken memang salah satu ekosistem terumbu karang tercantik di negeri tercinta ini...

eh... ada dina lagi... * ajrag-ajragan kesenengan lagi dulu... :P *
kumaha din.. damang? dan dina sudah akan berkumpul semua sekeluarga dalam waktu dekatkah?
semoga ya...

iya din, bunaken itu cantiiikkkkk sekali *bermimpi bisa kesana lagi suatu hari nanti* :-) d.~

mechta said...

sungguh suatu jalinan rasa yg indah....selamat ya mbak...

bukan cuma rasa cintanya yang indah... bunakennya juga indah lho, mechta... yuk kesana yukkkk... d.~

Eri Irawan said...

Asyik. Saya tak berhenti membaca sejak awal. Yang keren dari tulisan ini adalah gaya ungkapnya yang luwes, jujur, jauh dari kesan dibuat-buat. Tulisan macam ini mustahil lahir dari pemikiran orang-orang yang tak pernah merasakan dan menghikmati Cinta (dengan "C" besar) dengan tulus. Saya yakin, Tuhan sedang bertepuk tangan untuk setiap hela dan nafas dalam kehidupan Cinta kalian.

Salut untuk Rumah Kayu.

ah... speechless deh dapat komentar semacam ini... terimakasih banyak, eri... d.~

Post a Comment