Ulang Tahun RT, Lomba Kursi dan Kontes Menulis

Senja hari…

DEE duduk di beranda rumahkayu dengan Nareswari di atas pangkuan, sementara saudara kembarnya Nareswara duduk di pangkuan Kuti.

Pradipta, seperti yang banyak terjadi di hari- hari lain, bermain dengan sepedanya, berkeliling di seputar halaman rumahkayu.

Dee menatap dengan senang hati pohon mangga yang tumbuh di halaman. Pohon itu berbunga banyak sekali. Beberapa buah mangga tampak mulai bergelantungan di sana- sini.

“ Lihat ‘yang, “ kata Dee pada Kuti, “ Mangganya berbuah banyak sekali…”

Kuti mengangguk. “ Iya Dee, kayaknya lebih lebat dari tahun lalu ya? “

Dee mengangguk.

Jeda sejenak, lalu suara Dee terdengar lagi.

“ ‘yang… “ katanya pada Kuti, “ ‘yang… seandainya pada suatu hari, katakanlah acara ulang tahun RT kita, aku mengadakan lomba… “

Kuti tercengang. Ulang tahun RT? Memangnya kapan ulang tahun RT 07 di lingkungan tempat mereka tinggal ini ? Dan kenapa pula Dee tiba- tiba bicara tentang lomba?

Kuti menatap Dee. Dee tampak serius tapi matanya gemerlap penuh tawa. Dengan segera Kuti mengerti apa yang terjadi.

Baiklah, pikir Kuti, tak penting urusan ulang tahun RT itu, Dee bisa saja menggantinya dengan timing lain, ulang tahun kadal yang biasa lewat di halaman mereka, misalnya,  atau bahkan ulang tahun pernikahan kupu- kupu biru yang dia sukai. Apapun.

Dan lomba…

rose-chair





Ah baiklah. Dari buah mangga ke lomba. Seperti biasa, Dee melompat- lompat dari satu topik ke topik lain sesuka hatinya.

Kuti menanti. Terdengar lagi suara Dee, “ Saat ulang tahun RT itu aku ingin bikin lomba untuk memeriahkan,  lalu aku mengumumkan pada para tetangga tentang lomba yang kuselenggarakan.

Isi lombanya: keluarkan kursi- kursi yang mereka miliki, lalu pamerkan di halaman rumah masing- masing. Mereka diminta mendaftar pada aku, dan aku akan menilai kursi mana yang paling bagus menurut aku, lalu nanti aku beri hadiah.

Aku bilang bahwa lomba kursi ini nantinya mungkin akan aku kembangkan menjadi proyek amal , kursi- kursi tersebut bisa jadi modal awal proyek amal itu… “

“ Lalu? “ kata Kuti menahan senyumnya.

“ Ya lalu banyak orang mendaftar dan memajang kursi yang mereka miliki di halaman. Lalu aku berkeliling berkunjung ke rumah para tetangga yang terdaftar dan menilai kursi mana yang paling aku sukai, lalu aku umumkan pemenangnya dan aku beri hadiah… “

“ Hmmm… “ Kuti berkomentar pendek. Dia melihat Dee tersenyum makin lebar sementara matanya makin gemerlapan penuh tawa.

“ Nah terus.. kamu tau kan, banyak pengamen cilik sering keliling mampir ke rumah- rumah di sekitar sini, dan banyak anak kampung sekitar yang orang tuanya miskin yang sering mengais- ngais sampah dan mendorong gerobak? “

Kuti mengangguk.

“ Kasihan mereka, kan? Aku ingin bantu mereka. Aku rasa tetangga- tetangga kita juga tak akan keberatan membantu mereka. Jadi, nanti aku akan cari orang- orang yang berminat pada kursi- kursi yang diikutkan lomba dan menjual kursi itu pada mereka yang berminat itu…”

Haaaaaa???!!! Kuti menatap Dee dengan tercengang.

“ Aku nggak akan ambil untung apapun, ‘yang… “ kata Dee pada Kuti. “ Dan aku akan gunakan teleponku sendiri saat menghubungi orang- orang yang mungkin berminat pada kursi- kursi tersebut. Maksudku, biaya pulsanya aku tanggung. Aku sumbangkan juga tenagaku. Intinya ini proyek sosial…

Nah nanti kalau para pembeli sudah berkeliling melihat kursi- kursi yang diikutkan lomba di halaman rumah para tetangga kita, para pembeli diminta daftar pada aku dan membayar padaku, lalu mereka bisa membawa pulang kursi yang mereka pilih… Uang yang terkumpul mungkin ngga seberapa sih, tapi kan tetap saja jika disumbangkan itu akan jadi amal… “

Kuti terbahak.

“ Eh, jangan ketawa- ketawa terus dooongggg… “ kata Dee, “ Senang kan kamu kalau aku aktif menggalang kegiatan amal begitu? Apalagi melibatkan banyak tetangga. Guyub dan gotong royong. Oh ya, nanti biar nggak repot, aku mau bilang sama calon pembeli bahwa kursi- kursi itu milik aku... “

“ Koq aku dapat kesan kamu begitu saja akan menghubungi pembeli, nggak minta ijin lagi pada para tetangga yang memajang kursi mereka di halaman rumah. Memangnya semua tetangga pasti setuju kursinya dijual, Dee? Dan gimana bisa kamu mengatakan pada calon pembeli bahwa kamulah pemilik kursi- kursi milik tetangga yang dipajangnyapun di halaman rumah masing- masing?“ tanya Kuti.

“ Lho, “ kata Dee, “ Kan aku sudah bilang di depan bahwa setelah lomba ini aku akan membuat proyek amal dan kursi- kursi itu akan jadi modal awal. Dan aku koordinator proyek itu. Boleh kan kalau koordinator yang mengambil inisiatif untuk menjual kursi- kursi ini. Alaaahhh… lagipula memangnya kenapa sih? Kan ngga seberapa. Tetangga- tetangga kita, aku yakin, mampu membeli kursi baru… “

“ Tapi Dee, “ kata Kuti, “ Gimana kalau ada yang nggak mau beli kursi baru? Gimana kalau kursi lamanya itu, misalnya, peninggalan neneknya dan ditawar berapapun dia nggak mau jual? “

“ Iiih… rese’ amat sih… kursi aja, lhoooo… Gitu aja koq repot… “ Dee menjawab sambil tersenyum, “ Masa’ sih tetangga kita ngga mau diajak berbuat baik. Ada- ada aja… “

Kuti membalas senyum istrinya, “ Ini bukan semata masalah mau beramal atau tidak, Dee… tapi menurut aku konsep kamu itu 'lucu'. Kursi- kursi itu walau diikutkan lomba yang kamu selenggarakan kan tetap milik mereka, bahkan dipajangnyapun di halaman rumah mereka, kalau kamu mau bikin lomba dan kasih hadiah nggak masalah, tapi setelah itu kamu nggak punya hak terhadap kursi- kursi tersebut kan? “

“ Tapi kan aku sudah bilang di depaannnnnn… Aku sudah bilang tentang proyek amal yang modalnya kursi- kursi ini… “ Dee ngeyel sambil tertawa makin lebar.

“ Haduh Dee, “ Kuti tertawa, “ Kamu lagi mikirin apa sih sebetulnya? “

Dee tertawa lagi. “ Mikirin lomba, “ jawabnya. “ Aku mau beramal dari lomba dan aku mau ngajak tetangga untuk berbuat baik, tapi kamu nggak setuju, “ katanya sambil pura- pura cemberut.

Kuti tertawa geli. Sekian lama menikah dengan Dee, dia tahu ada saat- saat dia harus membiarkan Dee melontarkan ide- ide ‘yang aneh- aneh dan tak masuk akal’ seperti barusan.

Mereka lalu tertawa bersama berdua, dan Kuti masih tertawa ketika Dee tiba- tiba teringat sesuatu.

“ Eh ‘yang, aku dengar tulisan- tulisan dari salah satu kontes yang dulu kita ikuti itu sudah jadi ebook serta lalu jadi buku ya? Jadi tulisan yang kamu buat ada di situ juga? Keyen doong yaaa… kamu daftarin itu pakai nama kita berdua, kan untuk biodatanya? Asyik…. “ kata Dee pada suaminya.

Kuti tersenyum, “ Aku nggak kirim biodata apa- apa koq Dee, “ jawab Kuti.

“ Oh, kenapa? Kamu terlambat baca email permintaan biodatanya? “

“ Enggak, “ jawab Kuti sambil tersenyum. “ Aku nggak terima email.”

“ Ooo… jadi mereka memuat tulisan itu tanpa biodata? Hanya ditulis Kuti dan Dee, gitu aja? “

Kuti tersenyum lagi, “ Nggak, tulisan itu nggak ikutan dimasukkan ke dalam ebook maupun buku edisi cetak koq Dee… “

Dee tercengang.

“ Lho, kenapa? Katanya semua tulisan yang diikutkan kontes akan dibuat jadi bagian dari ebook dan/ atau buku yang dicetak? Gitu janjinya di depan kan? Kenapa tulisan kamu nggak dimasukkan? Alasannya apa? Eh, berapa tulisan lagi selain tulisan kamu itu yang nggak dijadikan bagian dari ebook dan buku? “

Kuti tertawa. Dia bangkit dari duduknya dan menggamit istrinya, “ Dee, yuk jalan- jalan ke tepi sungai sebentar… Mumpung hari lagi cerah. Anak- anak pasti senang… “

Dee mengangguk setuju. Dia bangkit dan memanggil Pradipta. Dia senang mereka bisa berjalan- jalan sore itu walau heran mengapa ada perbedaan perlakuan yang diskriminatif terhadap tulisan yang dibuat Kuti untuk kontes yang tadi mereka perbincangkan. Apa alasannya, ya?

p.s. i love you

** picture taken from: http://weblogsurf.com/edra-amazing-red-rose-beautiful-chair/ **

8 comments:

blacktiger said...

Duh jadi juga posting yang ini ya? ff('^ ^) IMHO, asli kreatif banget.... :) Btw, jadi pengen tahu apa komentar teman2 lain nantinya :P

kreatif? ah masa' sih? bukannya ini justru cara berpikir yang sangat sederhana dan back to basic aja? :) d.~

blacktiger said...

btw, lupa ngomong..Sekali lagi lomba imajiner diatas adalah contoh ek
strem yang bagus dari isu "niat baik yang tidak disertai dengan ilmu dan pelaksanaan yang baik"

sebenarnya ya..kalau menurut aku..ada satu sumber informasi dan standar yang bisa digunakan saat ilmu tak lagi dapat memberi jawab (dan/atau jika kita memang tidak punya ilmunya), yaitu: hati nurani.

logika bisa bengkok, pikiran bisa sesat, kata-kata dapat dikemas, bahkan pasal-pasal hukumpun bisa dijungkir balikkan.dan oleh siapa semua itu dilakukan? oleh manusia.

disinilah titik kunci yang membedakan kualitas manusia.bukan semata apa yg dialaminya, tapi apa yg dilakukannya saat mengalami situasi tersebut.keputusan dari hati bisa membedakan hasil sebab konon hati bisa melihat apa yg tak terlihat oleh mata dan bisa mengerti apa yang tak dapat dipahami oleh pikiran.

eh pendekar,omong2..diskriminasi itu boleh ngga? kenapa tindakan diskriminatif masih juga terjadi hari gini yaaa kira-kira? aku koq ra mudheng.. :mrgreen: d.~

melly said...

hahahaha..

aku lg mikir, kursi mana yang akan ku ikutkan lomba.
hmmm :D

he he... yg mana jadinya? ;-) d.~

funnie said...

kalo kursi di pemerintahan, boleh gak diikutin lomba...hahahaha....xixixixixi..

he he he :P d.~

Mechta said...

hahaha...untung ga majang kursi kesayangan...bisa patah hati nantinya klo kejual... ;)

retak, atau patah? ha ha ha... :mrgreen: d.~

blacktiger said...

halah.. gak di padiemas, gak disini, semua manggil pendekar...:)
terus aku manggil apa dong ke mbak dan mas?
gadis tak bernama bermata bintang dan pendekar misterius? :)

ha ha... jadi ingat eps 28 yang belum juga tayang...
pendekar misterius itu... nama istrinya nyai daunilalang ya kalo di padepokan? ( ngga usah dicari, sampai saat ini belum pernah muncul... ha ha ha ha :lol: ) d.~

LUV said...

Ooh saya kira ini cerita ttg lomba 'berebut kursi sambil joget' yang biasa dimainkan waktu acara gathering hehehe.. Agak unik juga..
Oh iya,sedikit komen tentang bahasan terakhir,ada seorang teman blogger yang mengadakan kontes menulis dengan format yang kurang lebih sama seperti yg dibicarakan,tetapi pada ground rules nya disebutkan dengan jelas disebutkan bahwa tulisan yg masuk akan dipilih, disunting untuk dikompilasi dalam ebook ,jadi memang ada proses pemilihan tulisan di situ... Di groundrules disebutkan demikian sy rasa supaya menghindari kesan diskriminatif pada pemilihan posting..
(Atau jangan2 kita membicarakan kontes yang sama? Hehehe)

ooohh bukan koq, ini post tentang ulang tahun kadal yang suka lewat di halaman :mrgreen:

mengenai pertanyaan tentang kontes, wah... aku malah agak bingung dengan pertanyaannya apakah kita membicarakan kontes yang sama atau bukan. apa maksud luv teman luv itu fiksi/imajiner ( dan/ atau kontesnya juga fiktif/imajiner ) ? sebab jika pertanyaannya adalah 'apakah kita membicarakan kontes yang sama' , maka yang bisa sama dengan kontes fiksi dalam posting ini hanyalah yang fiksi/imajiner juga, kan?

tapi jika seandainya maksud luv kontes dunia nyata ( eh, nyata dengan fiksi/ imajiner itu ngga sama kan? ) mmmmm, kontes mana yang dimaksud? apakah kontes ini adalah salah satu kontes yang pernah diikuti rumahkayu?

dan jadi ingin tahu deh.. kenapa luv sampai menduga bahwa kontes teman luv itu adalah kontes yang disebutkan di post fiksi ini ya? kata kunci apa yang menggiring ke arah situ? atau... barangkali ada indikasi/ persepsi atau bahkan fakta bahwa rumahkayu diperlakukan diskriminatif dalam kontes teman yg dimaksud luv itu makanya jadi teringat ? :) d.~

p.s:
btw, kontes teman luv itu... akhirnya berapa jumlah absolutnya dan berapa % dari tulisan yg disertakan yang akhirnya masuk ke dalam ebook/buku cetak? dan kriteria pemilihannya gimana ya? ( ingin tau aja sih, siapa tau kapan2 rumahkayu ingin bikin kontes serupa kan sudah punya infonya... :) )

runaway said...

Harusnya Kuti mendukung istrinya yang sudah berniat mengadakan lomba untuk tujuan amal. Kalau memang menganggap gagasan istrinya salah dan aneh, baiknya diluruskan dan dijelaskan bagaimana seharusnya. Bukan malah mentertawakan. Mungkin saja Dee mengadakan lomba hanya sebagai jalan untuk mengumpulkan sumbangan, dan menjadikan lomba sebagai alat untuk menarik perhatian tetangga.
Suami istri kan harus saling mendukung - untuk kebaikan dan saling mengingatkan :)

Salam Kenal, ya... :)
yuk mari mampir ke "rumah" saya :)

ha ha ha... tampaknya kuti sudah terlalu mengerti istrinya... dia tahu istrinya sebetulnya ngga se-error itu... ha ha ha... dia bisa membaca yang tersirat dari apa yang dikatakan istrinya, dan dia tahu istrinya sebetulnya bukan betul- betul minta pendapat, hanya ingin bicara saya ( ini cara perempuan berpikir kan? sambil bicara, tanpa betul- betul minta pendapat... :P )

anyway, thanks for the comment ... salam kenal kembali, nanti mampir deh... d.~

Post a Comment