Jaring Pengaman Itu...

Myanmar gempa.

SAAT kudengar berita tentang gempa terjadi dua hari yang lalu di Myanmar, aku teringat peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika pada suatu hari aku dan suamiku berbagi halaman koran.

Ada berita tentang beberapa peristiwa pemberontakan di Myanmar yang kubaca di koran tersebut. Suamiku sendiri, memegang halaman lain dari koran hari itu, entah sedang membaca berita apa.

Aku, sambil masih menatap koran yang kupegang, bertanya pada suamiku, “ Yangon itu aman nggak? “

Suamiku, juga masih sambil membaca baris- baris kalimat dalam halaman koran menjawab, “ Mungkin aman. Kayaknya kerusuhannya di pinggiran, bukan di situ. “

Jeda sejenak.

Aku belum mengatakan apa- apa lagi sama sekali ketika suamiku berkata lagi, “ Kalau kamu ingin kesana, hati- hati. Militer yang berkuasa disana. Disana nanti, kalau dibilang matikan handphone, matikan saja, nggak usah terlalu banyak tanya kenapa, apa alasannya harus dimatikan… “

Haaaaa?

Aku terbahak. Sekian lama menikah dengan suamiku, masih saja aku terkejut dan takjub jika dia seakan dapat membaca pikiranku seperti itu.

Mmm, sambil masih tertawa- tawa kutanyakan padanya, “ Tau darimana aku ingin pergi ke Yangon? “

Suamiku tersenyum tak menjawab. Kembali meneruskan membaca koran.

Aku penasaran.

“ Memangnya aku sudah bilang aku ingin pergi ke sana? “ tanyaku lagi.

Suamiku menggeleng.

Nah, belum kan?

“ Jadi tau darimana aku mau minta ijin untuk pergi ke sana? “

Suamiku tertawa lagi.

He’s cool, as usual. He he he.

Wis tho, “ jawabnya, “ Sudahlah. Pokoknya benar begitu kan? “

Aku mengangguk. Memang sebetulnya pertanyaan tentang Yangon kuajukan sebab aku berniat minta ijin untuk pergi ke Myanmar.

“ Boleh? “ tanyaku.

Dia mengangguk. “ Boleh, “ jawabnya, “ Asal ya itu tadi, kamu mesti tau, kalau urusannya dengan tentara, ngga perduli kamu benar atau salah, kalau mereka mau bilang kamu salah ya salah. Jadi kalau kamu mau kesana, hati- hati dan jangan terlalu banyak tanya… “

Aku terbahak lagi.

Lelaki terkasih itu, seperti biasa, memahami aku sampai hal- hal terkecil dalam diriku. Aku ingat betul, dan begitu pula yang dia katakan, bahwa aku belum mengatakan niatku untuk pergi ke Myanmar padanya.

Bahkan ketika kutanyakan pada dia apakah dia tahu aku memiliki seorang kawan yang saat itu tinggal di Yangon, dia juga menjawab tidak, dia tidak tahu. Seingatku, dia memang belum pernah bertemu dengan kawanku yang ini, tak pula cerita mengenai kawann di Yangon ini pernah kebetulan tersampaikan olehku sebelumnya.

Tapi memang beberapa saat sebelum itu sudah kuberitahukan pada suamiku bahwa beberapa bulan ke depan ada rencana training yang terjadwal bagiku di Bangkok. Dan entahlah, dia tampaknya menyambungkan informasi yang kuberikan beberapa hari sebelumnya itu dengan pertanyaanku tentang aman atau tidaknya Yangon, dan dengan segera mengambil kesimpulan bahwa aku berniat minta ijin untuk memperpanjang perjalananku satu dua hari dengan pergi ke Myanmar setelah training di Bangkok nanti.

Ada penerbangan langsung dari Bangkok ke Yangon. Tak ada rute itu dari Jakarta. Apalagi ada kawan baikku di sana, saat itu aku memang berniat untuk pergi ke sana.

Telah kubayangkan sebuah perjalanan eksotis. Kubayangkan mengunjungi Shwedagon Paya, stupa emas yang besar, kubayangkan kenikmatan menikmati pagoda, candi- candi serta menelusuri jalan- jalan dengan bangunan berarsitektur kolonial Inggris yang bersejarah di sana.

Kubayangkan…

shwedagon-paya


***



Tentang peringatan  ‘jangan terlalu banyak tanya, ingat yang berkuasa di sana rezim militer’ itu, ha ha…

He knows me very well, my husband

Dia tahu bahwa aku tak dibesarkan atau dididik dengan gaya militer dimana perintah hanya diberikan satu arah dan bahwa kebebasan berpendapat sangat dibatasi atau dinihilkan. Dia juga tidak besar dengan cara begitu, suamiku itu. Tapi dia bertindak praktis dalam hal ini. Aku ingin mengunjungi suatu negara dimana militer berkuasa dan aturan yang berlaku mungkin sangat berbeda dengan nilai- nilai yang kuanut. Dan karenanya dia merasa perlu memberikan peringatan di muka kepadaku.

Baiklah, aku mengangguk. Akan kuingat pesan itu.

Sayangnya, kudapat kabar bahwa training itu diundur. Dan karenanya perjalanan ke Myanmar tertunda juga.

Lalu tak lama setelah itu kudengar bencana alam terjadi di sana. Ada banyak bangunan bersejarah roboh.

Kemudian dua hari yang lalu kudengar berita tentang gempa yang terjadi di Myanmar. Lalu niat untuk pergi kesana yang masih tertunda muncul dalam angan.

Bersamaan dengan itu, kisah tentang suamiku yang dalam banyak saat memberikan cukup ruang bagiku untuk bergerak tapi juga jika dirasanya perlu, memberikan peringatan di muka kepadaku tentang hal- hal yang perlu kuperhatikan atau kuwaspadai muncul pula dalam ingatanku...

***



“ Ah gila kamu... yang bener! “

Lalu, “ Ya ampun... tahu nggak sih, itu bahaya sekali !”

“ Yang naik kereta itu kan orang kulit hitam semua, serem banget. Kalau ada apa- apa gimana. Aduh, kamu ini... dst dst dsb dsb... “

Komentar semacam itu bertubi- tubi menghampiriku pada suatu hari saat kuceritakan pada beberapa kawan bahwa beberapa waktu sebelumnya aku bepergian naik subway, kereta bawah tanah di Atlanta sendiri.

Dan aku menjadi heran.

Semua, tanpa kecuali, kawanku yang mendengar cerita bahwa aku mencoba bepergian dengan subway sendiri berkomentar senada dengan itu.

Aku jadi teringat pada suamiku.

Jika naik subway sendiri di Atlanta begitu berbahayanya, mengapa tak kudengar peringatan apapun darinya sebelum aku berangkat ke Amerika?

Suamiku, untuk keperluan suatu pelatihan pernah berada di Amerika Serikat selama beberapa bulan. Dia bahkan berpindah tinggal di beberapa kota saat itu sebab program yang terjadwal memang dijadwalkan di tempat- tempat yang berbeda. Jadi kurasa dia cukup mengenal Amerika. Dan sebab dia tidak memperingatkan apapun tentang subway, saat semua kawanku mengatakan naik subway sendirian itu mengerikan dan berbahaya, aku malah ingin mencobanya.

Dan kulakukan itu.

Lalu kuterima reaksi tercengang, protes dan setengah marah dari kawan- kawanku.

Jadi, karena aku heran, kemudian saat kuceritakan pada suamiku bahwa aku mencoba naik subway sendiri, kutanyakan padanya kenapa semua orang berpendapat begitu sementara dia sendiri tidak mengatakan apapun kepadaku?

Aku tertawa geli saat mendengar jawabannya yang sungguh diluar dugaanku.

Beginilah jawaban yang diberikannya, “ Waktu di Amerika dulu, aku ngga sempat nyobain naik kereta bawah tanah, “ kata suamiku.

Oh ya ampun… ha ha ha ha ha… pantas saja! Ha ha ha...

p.s:

Omong- omong, suamiku tak berkomentar terlalu banyak saat kuceritakan padanya soal naik subway sendirian itu. Seperti biasa, dia bersikap praktis saja. Saat itu aku sudah selamat sampai di rumah, jadi artinya… tak ada yang terlalu perlu dipusingkan, bukan? He he he…

i love you !

** gambar diambil dari wikipedia **

1 comments:

blacktiger said...

he really know you very well :)

Post a Comment