Tandan Pisang dari Bi Inah

Pagi yang cerah

KUTI sedang bersiap-siap ke kantor ketika seorang perempuan setengah baya memasuki halaman.

“Selamat pagi, ibu Dee ada?” Perempuan itu bertanya sopan.

Kuti menatap perempuan itu. Usianya sekitar 60-an. Rambutnya sudah memutih dengan kerut di wajah. Perempuan yang mengenakan pakaian sederhana ini menenteng tas besar.

“Eh Bi Inah, ada apa Bi?” Dee yang baru saja mandi tiba-tiba muncul.

“Ibu Dee, ibu mau membeli pisang? Saya membawa pisang yang sudah mengkal. Enak untuk digoreng dan bisa juga untuk direbus…”

penjual-pisang1

Dee menatap tas Bi Inah yang dipenuhi pisang.

“Aduh gimana ya? Pisang yang saya beli dari Bi Inah masih ada di dapur…”

Wajah Bi Inah seketika menjadi buram. Dia terlihat sangat kecewa.

“I…Ini pisang enak bu. Rasanya manis. Gak sepat…” Bi Inah berujar setengah berpromosi.

Dee menatap tas penuh pisang, menatap Bi Inah, dan kemudian menatap Kuti.

“Baiklah. Berapa harga satu tandan?”

“Sepuluh ribu. Tapi jika ibu Dee membeli dua tandan, bisa 15 ribu…”

Dee mengangguk.”Sebentar ya, aku ambil uang…”

Dee meninggalkan Bi Inah dan Kuti.

“Ibu sudah lama jualan pisang?”

Bi Inah menggeleng. “Belum lama. Saya berjualan pisang setelah suami meninggal. Anak-anak di jauh dan gak peduli… Sejak suami meninggal anak-anak gak pernah menengok. Mungkin mereka sudah melupakan. Atau menganggap saya hanya akan menjadi beban…”

Dee tiba-tiba muncul membawa selembar 20 ribu rupiah.

“Ini uangnya Bi…”

Bi Inah membuka dompet, mencari uang kembalian.

“Biar aja Bi, kembaliannya untuk Bi Inah saja,” kata Dee.

Bi Inah tersenyum. Kecukacitaan terpancar dari wajahnya.

“Ah, terima kasih ibu Dee. Terima kasih….” Bi Inah meninggalkan rumahkayu. Sambil menenteng tas yang isinya tinggal separuh.

“Bi Inah tinggal di kampung sebelah. Dia bertetangga dengan Shanti, teman kuliahku dulu. Shanti pernah bercerita tentang Bi Inah. Setelah suami Bi Inah meninggal, anak-anaknya seperti melupakannya. Bi Inah terpaksa bekerja banting tulang untuk membiayai hidupnya. Selain berjualan, Bi Inah juga kerap menawarkan diri untuk mencuci baju atau menyeterika. Padahal usianya tak lagi muda…”

Kuti mengangguk. Ternyata masih ada juga yang seperti bi Inah. Yang tidak pasrah dengan deraan kehidupan. Yang tetap tegar dan berusaha sekuat tenaga demi mencari sesuap nasi. Yang berusaha menghidupi diri dengan pekerjaan yang halal. Dan bukannya mencari jalan pintas menjadi pengemis atau peminta-minta…

“Lalu kau mau apakan pisang itu? Yang di dapur juga masih ada kan?” Tanya Kuti.

“Artinya,” balas Dee sambil tersenyum nakal, “Sebentar malam kita gak makan nasi. Tapi pisang.”

Kuti terdiam. Makan malam dengan menu pisang? Dia tak yakin apakah bisa. Seperti orang Indonesia lainnya Kuti tak akan pernah kenyang jika belum menyantap nasi.

Ah, semoga saja Dee menemukan resep masakan dari pisang yang bisa menjadi pengganti nasi….

p.s

Posting ini terinspirasi dari kisah nyata…

I love you….


Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Berhikmah di BlogCamp


Hikmah/ pesan moral utama cerita ini adalah tentang ketegaran menghadapi hidup, tidak putus asa dengan deraan kehidupan, tetap berusaha sekuat tenaga demi mencari sesuap nasi, menghidupi diri dengan pekerjaan yang halal dan tidak  mencari jalan pintas menjadi pengemis atau peminta-minta…





** foto diatas hanya ilustrasi, dan diambil dari kfk.kompas.com **



 



12 comments:

dirtyharry said...

Pisang adalah makanan pengganti nasi dengan nutrisi yang lengkap dalam komposisi yg ideal buat diet.Saya terpaksa melakukannya sewaktu masa anak-anak th 60an, saat peceklik mencekik mayoritas rakyat Indonesia. Hasilnya saya tetap survive sampai usia 62sekarang, sehat, tidak pernah sakit kecuali batuk pilek ringan. Saya menjadi banana mania dan sering diejek dng panggilan Pak Banana...dan saya bangga lahir batin, obsesi saya punya kebon pisang diatap rumah...

blacktiger said...

hahaha.. ya bisalah... kan karbohidrat juga... malah lebih sehat dibanding nasi menurutku :P

rice2gold said...

pisang? saya paling suka sama buah yang satu ini *maklum masih belum sembuh juga*

Sosok seperti bi Inah yang menjual pisang untuk menyambung hidup mungkin masih sedikit beruntung, ada bi Inah lainnya yang malah hanya menjual tali dari pelepah pisang, entahlah kalau bertemu orang-orang seperti mereka bisa membatin dan menusuk sanubari. Dengan segala keterbatasannya masih mampu "menghasilkan" sesuatu yang sangat mungkin itu tak cukup sama sekali buat hidupnya hari itu. Tapi mereka tetap konsisten melakukannya setiap hari, bahkan sebelum waktu shubuh menjelang....

Kalau boleh usul dibuat "lapek pisang" saja atau bikin bolu pisang he..he..he.. tanya deh tetangga sebelah bagaimana mengolahnya ;) . Jangan lupa kirim-kirim ya ;)

mechta said...

Hm..dua tandan pisang? kaya'nya ga cuma malam itu pisang akan jadi menu utama di RK, hehe... Salut dg semangat berbagi keluarga ini...

hes said...

.. iya sering kali aku merasakan banyak orang yang tulus dan jujur. padahal mereka entah kenapa selalu dibilang rakyat kecil padahal berhati besar dan gigih.

makan nasi pake pisang? hmmm. btw kalau tetangga sebelah dah ngasih resep bolu pisang kasih tahu aku yaa :mrgreen:

hes said...

Btw btw tadi nyobain makan nasi pake pisang :mrgreen:

Shohibul K.U.C.B said...

Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam K.U.C.B
Artikel anda akan segera di catat
Salam hangat dari Markas New BlogCamp di Surabaya

hilal alifi said...

mantap. ceritanya bagus....

sukses...

Jumialely said...

Hidup adalah perjuangan tak kenal menyerah, dan Tuhan akan mampukan kita dalam keadaan dan kondisi apapun. Atas stempel komandan Blogcamp JURI datang menilai. Terima kasih atas cerita kehidupan penuh hikmah, salam hangat

wi3nd said...

sedih membacanya..
kasian sama bi inah..

tapi salut membeli bukan karna ingin,tapi karna empati :)

udah dibikin cake kan bang sama kak dee?
bagilah ke hutan he he..

good Luck yaaa.. :)

melly said...

Semoga Bi Inah tetap tabah yah mba..

melly said...

commentku ilang yah?

Post a Comment