Berpikir Positif

The power of positive thinking…

BEBERAPA waktu yang lalu, aku berkesempatan untuk menghadiri sebuah sesi dimana pembicaranya adalah Samuel Mulia.

Benar, Samuel Mulia yang itu. Mantan wartawan mode sebuah majalah yang kini terkenal dengan kolom Parodi di Kompas.

Topik utama yang dibicarakan hari itu adalah tentang berpikir positif.

positive-thinking



Samuel membuka sesinya dengan bertanya apakah ada diantara kami semua yang ingin mengajukan pertanyaan.

Seseorang mengangkat tangannya. Mengatakan bahwa dia pembaca setia dan penggemar kolom yang ditulis Samuel, tapi walaupun menyukai tulisannya, dia tak dapat mengerti mengapa Samuel sering sekali mengutarakan kebencian dan hal- hal negatif tentang almarhum ayahnya, padahal tentunya dia tahu bahwa kolom itu akan dibaca begitu banyak orang.

Menarik untuk menanti jawaban Samuel, sebab aku sendiri memiliki pendapat lain tentang hal tersebut. Aku tak dapat dikatakan sebagai fans berat Samuel ( sejujurnya aku lebih suka membaca tulisan- tulisan yang dibuat Kuti daripada tulisan Samuel, ha ha ha… ) tapi aku cukup sering membaca tulisannya. Dan aku sama sekali tak melihat bahwa Samuel membenci ayahnya.

Sebaliknya, menurutku kalimat- kalimat yang diutarakan oleh Samuel tentang ayahnya justru sebetulnya menunjukkan betapa dalam cinta dia kepada sang ayah. Sedemikian dalam sehingga ya… begitulah, orang memang memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikan rasa cinta.

Aneh?

Mmmmm… ya dan tidak.

Sebab cinta adalah rasa, bukan semata kata- kata. Dan aku sungguh mengenali cara semacam ini untuk mengatakan cinta.

Suamiku, makhluk lembut hati itu, selain dengan tindakan dan kalimat bernada sayang dalam susunan kata- kata yang ‘normal’, sangat sering menggodaku. Mengatakan ini dan itu sambil tertawa- tawa dalam kalimat ledekan dan gurauan yang sama sekali tak mengandung kata cinta, tapi sungguh, setiap kali dia mengatakan hal semacam itu, aku tahu bahwa dia sedang mengulangi ungkapan cintanya padaku lagi… lagi… dan lagi… (ehm! )

Kembali ke laptop Samuel, pertanyaan diatas dijawabnya dengan bahwa untuk dapat menarik perhatian orang harus memiliki ciri khas, dan ciri yang dipilihnya untuk menulis kolom tersebut adalah dengan mentertawakan serta menuliskan hal- hal buruk tentang diri sendiri (dan lingkungannya) seperti itu.

Samuel juga mengatakan bahwa jika misalnya dia menuliskan hal- hal yang negatif tentang ayahnya, maka yang diharapkan adalah sebab tahu bahwa hal tersebut negatif, para pembaca kolomnya akan terhindar dari melakukan hal negatif yang sama, sehingga pada akhirnya akan melakukan hal- hal yang positif.

***



Aku membuat beberapa catatan dari sesi tersebut.

Yang paling menarik adalah bahwa menurut pendapat Samuel, berpikir positif sebetulnya berhubungan dengan kemampuan untuk menerima bahwa manusia memiliki dua sisi dalam dirinya. Yaitu positif dan negatif. Dan jika dari hal- hal yang negatif dari manusia itu bisa dihasilkan sesuatu yang positif, maka sebetulnya kata negatif itu menjadi absurd. Sebab dari hal negatif itulah yang positif dihasilkan, bukan?

Kita tentu semua tahu ungkapan ‘ambil hikmahnya saja…’ yang biasa dikatakan ketika seseorang mengalami sesuatu yang tak diharapkan. Pada saat seseorang bisa mengambil hikmah dari kejadian negatif, maka yang negatif tadi akan menjadi positif. Begitu juga contoh tentang ayahnya tadi, bahwa tindakan negatif sang ayah yang dituliskannya bisa jadi membuat orang menghindari hal yang sama dan melakukan sesuatu yang positif.

Tapi, tentu saja hal negatif tak dapat begitu saja berubah menjadi positif. Hal ini hanya dapat terjadi jika manusia yang menghadapi atau mengalami hal itu dapat berpikir positif. Sebab pikiran positiflah yang akan dapat mendorong seseorang melakukan tindakan yang positif, sementara sebaliknya, pikiran negatif dengan mudah bisa memanipulasi perilaku seseorang.

Yang dimaksud dengan memanipulasi adalah misalnya seseorang yang merasa kesepian, hampa di dalam hati, merasa diperlakukan tak adil dalam kehidupan lalu menganggap karena kondisi itu maka dia berhak berpacaran dengan suami orang. Karena pikiran- pikiran negatifnya tentang hidup, maka tindakan semacam itu tak akan dipandangnya sebagai suatu kesalahan, sebab dia memiliki beragam justifikasi untuk membuat hal tersebut seakan- akan benar. Padahal tidak.

Aku juga mencatat bahwa Samuel memberikan penekanan pada kata ‘benar’.

Dia mengatakan bahwa orang harus menjalani hidup dengan benar, bukan semata baik.

Kembali ke contoh tentang mencintai dan berpacaran dengan suami orang itu, Samuel mengatakan bahwa kita semua tentu sepakat bahwa ‘mencintai’ adalah sesuatu yang baik. Tapi mencintai suami orang (dan berpacaran dengannya) tak dapat dikatakan benar.

Contoh lain mengenai hal ini adalah bahwa selalu bersikap baik pada orang lain bahkan ketika orang lain itu melakukan sesuatu yang tak sepatutnya juga bukan hal yang benar.

Karena itulah melakukan sesuatu yang baik saja tidak cukup. Sebab yang baik belum tentu selalu benar.

Catatan berikutnya dari sesi ini adalah menurut pendapat Samuel, menjadi positif itu tak berarti mengeliminir masalah. Sebab masalah akan selalu ada. Tidak mungkin manusia menghindari masalah sepanjang hidupnya. Jadi nikmati saja hal-hal negatif itu sambil tetap berpikir positif untuk menghadapinya.

Saat mendengar hal ini, aku jadi teringat pada suatu kalimat yang pernah aku baca lama berselang. Kalimat tersebut mengatakan bahwa kualitas manusia tidaklah tercermin pada apa yang pernah dialaminya dalam hidup, tapi pada apa yang dilakukannya saat menghadapi hal- hal tersebut.

Samuel mengatakan bahwa perlu disadari hal- hal negatif adalah bagian dari hidup. Jadi, ‘enjoy aja’ hal negatif itu, tapi tak usah dipelihara. Enjoy, let it go.

Begitu katanya.

Samuel juga mengatakan bahwa dengan menyaradi bahwa hidup ini tak sempurna, sadari juga bahwa wajar jika ada saat- saat tertentu dimana seseorang berteriak marah, kesal, dan memiliki perasaan- perasaan semacam itu.

Samuel juga menggaris bawahi bahwa berpikir positif itu sesuatu yang berhubungan dengan ‘soul’. Dan karenanya ini tak dapat dipisahkan dari hubungan manusia dengan Tuhan. Ini adalah masalah bagaimana manusia mengelola hubungannya secara horisontal dengan sesama manusia, serta hubungan vertikalnya dengan Tuhan.

Dan Samuel mengatakan bahwa yang pertama harus ‘diurus’ adalah hubungan vertikal. Baru setelah itu yang horisontal. Tak ada manusia bisa berpikir dan bertindak positif jika hubungannya dengan Tuhan tidak baik.

Jadi, motto yang digunakan Samuel adalah ini: Ora et Labora. Berdoa dan bekerja. First thing first. Berdoa dulu baru bekerja, bukan sebaliknya.

p.s:

Karena penasaran, dalam kesempatan terpisah di luar sesi di atas, aku menanyakan pada Samuel apakah persepsiku benar bahwa apa yang dia tuliskan tentang ayahnya sebenarnya justru ungkapan cinta yang sangat dalam. Samuel mengkonfirmasi pemikiranku ini. Ya, benar begitu katanya.

Lalu ketika aku bertanya mengapa dia tidak menjelaskan seperti itu saat ada yang bertanya ketika sesi presentasinya, dia mengatakan padaku bahwa dia memang sengaja membatasi jawaban sesuai tema yang sedang dibahas hari itu saja yaitu tentang berpikir positif.

i love you!

** gambar diambil dari: l2lgroup.com **

4 comments:

cici silent said...

way of thinking makes difference ;)

Mechta said...

Berpikir positif = mampu menerima hal negatif yg terjadi padanya dan mengubahnya menjadi hal positif utk masa depan yg lebih baik. Begitukah?

febri said...

benar2 aneh

tips berpikir positif said...

praktekkan terus kebiasaan berpikir positif tuk masa depanmu.

Post a Comment