Anak- anak, Sekolah dan Kemerdekaan

Matahari dengan murah hati membiaskan cahayanya di pagi hari kemerdekaan ini…

KUTI, Dee dan ketiga anak mereka berada di halaman rumah kayu. Pradipta, seperti biasa, tanpa henti berlarian kesana kemari. Si kecil Nareswara dan Nareswari dengan lucu berdiri sambil berpegangan pada meja dan kursi lalu perlahan melepaskan tangan mereka dan berusaha berdiri sendiri dengan ajeg.


Dee tersenyum senang. Saat- saat seperti ini selalu membahagiakan. Berada di rumah yang damai saat cuaca cerah, diantara orang- orang yang sangat dicintainya.


Kuti memegang map dengan beberapa lembar kertas di dalamnya. Hasil kerja Pradipta di sekolah yang dibawa pulang setelah diberi nilai oleh gurunya. Tampak dia berhenti agak lama saat membaca sebuah lembaran. Dee melirik sejenak. Pelajaran Bahasa Indonesia tampaknya, sebab Dee melihat ada beberapa gambar di situ. Dugaannya adalah itu tugas menyusun gambar dengan urutan yang sesuai dan menuliskan cerita atas tersebut.


Kuti membalik halaman kertas itu. Dugaan Dee kelihatannya benar, sebab di halaman kedua tampak tulisan tangan Pradipta yang dibaca Kuti dengan seksama.


Lalu tiba- tiba…


Kuti tertawa terbahak- bahak.


Dee menatap suaminya dengan heran.


Ada apa?


Kuti masih terus terbahak sambil mengangsurkan kertas yang barusan dibacanya pada Dee.


“ Bacalah, Dee, “ kata Kuti. Sambil memberikan kertas tersebut pada istrinya, dia bergerak mendekati si kembar. Saat Dee membaca, tentu dialah yang harus menjaga si kembar yang baru belajar berdiri itu.


Dee membaca lembaran itu. Dilihatnya bagaimana Pradipta menuliskan angka- angka yang mengurutkan gambar- gambar yang diacak dalam tugas tersebut sesuai urutan yang seharusnya. Kemudian dibacanya lembaran kedua dimana Pradipta membuat tulisan berdasarkan gambar itu.


MEMBUAT RUMAH, begitu judul yang ditulis Pradipta. Lalu ada karangan singkat di bawahnya.


Pada suatu hari, seorang bapak- bapak ingin membuat rumah, lalu dia ke toko bahan rumah. Lalu pegawai toko itu membuat rumah, dengan santai menyusun bata.




Setelah jadi mereka membuat atap dengan bentuk yang bagus dan kuat agar saat hujan tidak bocor. Lalu rumah itu jadi dan diisi oleh pemesan yang memesan rumah itu, tapi masih mencicil karena harganya sangat mahal.


Oh. Ha ha ha. Seperti Kuti tadi, Dee juga tertawa terbahak- bahak.


Masih mencicil karena harganya mahal, tulis Pradipta? Ha ha ha.


Urusan cicil mencicil ini tentu saja tak tampak pada gambar- gambar yang ada dalam tugas di sekolah Pradipta. Itu murni datang dari pikirannya.


Dee tertawa geli lagi.


Si kecil Pradipta pasti menulis hal tersebut sebab dia sering mengobrol dengan Kuti dan Dee yang memang biasa menceritakan hal- hal yang berkaitan dengan kehidupan nyata pada anaknya. Termasuk bahwa karena harga rumah mahal, maka kebanyakan orang meminjam uang dari bank untuk membangun rumah dan kemudian membayar sejumlah uang setiap bulan ke bank untuk mencicil pinjaman tersebut.


Tapi sungguh, saat menceritakan hal- hal semacam itu pada Pradipta, baik Kuti maupun Dee sama sekali tak menyangka bahwa cerita semacam itu akan muncul dalam tulisan yang dibuat anaknya di sekolah. Ha ha ha…


Dee memperhatikan Pradipta yang masih berlarian kesana kemari lalu dia  memperhatikan kembali lembaran- lembaran hasil kerja Pradipta. Sejauh ini hasil kerjanya baik.


Dan yang paling penting, dia tampak gembira dan bahagia di sekolahnya.


Ah, sungguh, tak ada yang lebih diharapkan Dee bahwa anak yang dikasihinya itu akan tumbuh dengan baik sesuai potensinya. Bahagia di rumah, bahagia di sekolah.


Keinginan yang tampak sederhana, tapi Dee tahu, kadangkala dalam kenyataannya tak sesederhana itu.


Ada banyak kejadian dimana pola asuh di rumah, dengan cara didik di sekolah ternyata tak sejalan. Ada banyak kebingungan yang harus dihadapi anak yang dididik dengan cara egaliter dan diijinkan bicara di rumah serta dihargai keunikan dan diijinkan untuk berbeda ketika harus menghadapi lingkungan, atau bahkan para guru yang menanamkan nilai- nilai yang berbeda.


Ada banyak kasus ketika anak- anak yang potensial justru dibungkam dan terhambat prestasinya di sekolah justru karena tak dipahami. Karena ide- ide orisinilnya tak dihargai dan lalu bahkan direndahkan atau bahkan dikucilkan.


red-and-white-baloons




Dee ingat bahwa pada suatu hari dia pernah mengantarkan Pradipta menggambar di sebuah sanggar lukis dan saat dia berjalan berkeliling sanggar, dengan kaget didapatinya sebuah kanvas lebar dengan gambar bergaya kanak- kanak, tapi apa yang digambarkan sangat tidak umum digambar anak- anak.


Juga warnanya begitu kelam.


Dee mengamati gambar itu agak lama saat itu dan dengan segera mengambil kesimpulan bahwa gambar itu dibuat oleh seorang anak yang tak bahagia di sekolah. Sebab jelas ada hal- hal yang berhubungan dengan sekolah di gambar tersebut, lalu di sekitarnya ada banyak gambar menyerupai monster, setan- setan, dan kuburan serta batu nisan.


Dee bukan ahli psikologi, tapi tak perlu menjadi ahli untuk mengetahui ada apa dibalik gambar kelam tersebut. Dugaannya terkonfirmasi ketika sang pelukis pemilik sanggar lukis untuk anak- anak itu menceritakan padanya bahwa gambar itu dibuat oleh seorang anak yang duduk di kelas 1 SMP yang karena memiliki pola pikir yang tak sama dengan kawan- kawannya lalu dianggap aneh dan dikucilkan di sekolah.


Yang menyedihkan, alih- alih melindungi anak ini, para guru di sekolah itu bahkan mengamini tindakan pengucilan tersebut. Mereka mengatakan bahwa pantaslah anak itu dikucilkan ( bahkan rupanya pernah dilempari batu oleh kawan- kawannya ) sebab dia aneh dan pendapatnya tidak umum.


Oh, betapa menyedihkan, pikir Dee. Betapa memprihatinkan. Negara ini sudah merdeka sekian puluh tahun tapi anak- anak masih juga tak merdeka untuk bicara.


Betapa banyak anak- anak yang justru cerdas, berpotensi dan berpandangan kritis dibunuh potensinya dan dikekang kreativitasnya di tempat- tempat dimana dia seharusnya dididik agar dapat berkembang dengan baik.


Dee memperhatikan Pradipta lagi.


Pradipta mungkin salah satu dari sedikit anak yang beruntung sebab dia bersekolah di tempat yang mendukung pemikiran- pemikiran progresif, mengijinkan anak- anak untuk bicara dan mengembangkan diri sesuai keunikan masing- masing tapi tetap dengan seimbang mengajarkan bahwa perlu disadari walau setiap orang berhak menjadi unik dan memiliki pendapat sendiri, begitu juga dengan orang lain.


Artinya, pada saat anak- anak itu bebas berbicara sesuai pendapatnya, pada saat yang sama mereka juga harus menjaga agar apa yang dilakukan dan dikatakannya tidak melanggar hak kawan lain.


Mereka juga diajarkan untuk tidak menggoda atau mengejek kawan yang akan membuat kawannya menjadi sedih. Pendek kata, sejak sangat awal diajarkan bahwa bullying tidak diperkenankan dilakukan oleh anak- anak ini.


Dan itulah kemerdekaan yang baik, menurut Dee. Ketika orang bebas bicara dan bertindak tapi secara otomatis juga menyadari bahwa dia tak berhak mengganggu orang lain. Sayangnya, tak di semua tempat situasi seperti itu bisa didapatkan. Di banyak hari, di banyak tempat, yang terjadi adalah pembungkaman pendapat, sementara bullying dibiarkan tetap berkembang subur.


Sungguh Dee berharap bahwa akan nada lebih banyak tempat lagi dimana anak- anak yang kelak akan menjadi pemimpin bangsa ini dapat berkembang dengan baik, seperti apa yang diharapkannya terjadi pada Pradipta…




p.s. Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka !






* tulisan 'Membuat Rumah' dipinjam dari tugas yang dibuat Raditya, 7 tahun, di sekolah

* gambar diambil dari www.brothersoft.com

5 comments:

cow said...

pertamaaax DIrgahayu republik Indonesia

jangan sampai semangat anak negri ini terhapus karena rasa suka dan tak suka dari pemimpinnya

Pojok Pradna said...

termasuk yng terusik dan terusir dari sekolah & lingkungan karena bicara jujur...

tapi memang bagaimanapun juga, ketika anak berhasil melewati semua "keterasingan" dan ketidakberpihakan itu dengan baik, insya Allah akan terlahir seorang pahlawan baru dibidangnya :)

melly said...

Hahaha..anak kecil aja tau, kalau rumah itu muahal :D

Selamat berpuasa ya..buat mba dee sekeluarga juga mas kuti :)
selamat hari kemerdekaan Indonesia juga!

Merdeka!

mechta said...

kemerdekaan berpikir dan berpendapat, yang tetap terarah agar tak kebablasan :)
selamat hari kemerdekaan !

meiy said...

Tampaknya kita mmg blm merdeka dlm byk hal termasuk pendidikan. Kdg apa yg diharapkan dsekolah malah mengecewakan. Yg pasti tugas utama ortu meengusahakan anak2 bahagia dlm pddkan mrk.

Post a Comment