Tentang Angkot Dan Mobil Impian

Tentang kendaraan umum dan mobil impian...

PERTAMA kali orang tuaku melepas aku untuk naik kendaraan umum sendiri adalah saat aku masuk SMP. Sebelas tahun usiaku saat itu. Dan jika saat di TK dan SD orang tuaku mengantar dan menjemputku ke sekolah, ketika aku duduk di SMP, hanya pada pagi hari – untuk mengejar waktu – orang tuaku mengantarkan aku ke sekolah. Di siang harinya, aku pulang dengan kendaraan umum.

Senang?

Tentu. Senang sekali.

Ada banyak kawanku yang rumahnya searah dengan rumahku dan biasanya kami pulang beramai- ramai. Uniknya, walau ada jalur angkot yang melalui sebuah jalan tak jauh dari sekolah kami, kami seringkali malah memilih jalur lain yang membuat kami harus berjalan kaki lebih jauh sebab dengan begitu kami bisa lebih lama mengobrol dan bercengkrama. Ha ha ha.

Kebiasaan naik kendaraan umum sambil bercengkrama dengan teman- teman berlanjut hingga aku duduk di bangku SMA. Bahkan walaupun jika ingin efisien seharusnya kami memilih rute yang berbeda, adakalanya yang kami lakukan adalah memilih rute yang sama dan baru di suatu titik kami berpencar, menyambung dengan angkot lain yang menuju arah rumah masing- masing.

Kadang- kadang, jika titik pencar itu tak lagi jauh dari rumah, aku memilih untuk berjalan kaki saja sampai ke rumah, menikmati jalan yang teduh dengan pohon tanjung berjajar rapi di pinggir jalan. Seringkali aku memunguti satu-dua kembang tanjung yang putih mungil itu untuk menikmati keharumannya…

Di kemudian hari hingga aku dewasa walau aku kemudian bisa mengendarai mobil dan memiliki SIM, aku tak pernah berhenti naik kendaraan umum. Sampai saat ini…

***



carBeberapa waktu yang lalu, sempat ada pertanyaan berantai beredar diantara para blogger. Salah satu pertanyaannya adalah ‘ apakah mobil impianmu ’ ?

Mudah bagiku untuk menjawab pertanyaan itu. Bukan karena aku memiliki mimpi tentang sebuah merk mobil tertentu. Justru sebaliknya. Aku tak pernah mempunyai mimpi semacam itu.

Kendaraan, termasuk mobil di antaranya, bagiku hanyalah semata alat transportasi. Sehingga bagiku, mobil apapun jadilah. Tak terlalu penting apa merknya. Sama saja.

Kawan- kawan yang dekat denganku tahu benar hal ini. Dan kadangkala, sebab menurut mereka aku ‘keterlaluan’, topik ini menjadi bahan gurauan mereka. Salah satu gurauan yang populer adalah pertanyaan apakah aku bisa membedakan Mercy dengan angkot atau tidak, ha ha ha.

Gurauan itu ada latar belakangnya.

Jadi, suatu hari beberapa tahun yang lalu, keluar satu seri Mercy terbaru. Saat itu kebetulan dalam team kerjaku di kantor aku adalah satu- satunya perempuan. Anggota team yang lain adalah para lelaki. Dan mudah diduga, salah satu topik pembicaraan favorit mereka adalah tentang mobil. Tak terkecuali soal Mercy terbaru yang saat itu menjadi topik pembicaraan dimana- mana. Mulai dari bentuknya yang lebih kecil , bentuk lampunya serta beragam feature lainnya

Dan pada suatu hari di sekitar saat itu, aku training ke Bangkok. Training yang seperti biasa, dihadiri oleh orang- orang dari banyak negara yang beragam. Dari Indonesia, aku berangkat bersama seorang kawan.

Selama training itu, pihak hotel menyediakan shuttle bus untuk kami, sebab semua peserta training menginap di hotel yang sama. Jadi, di pagi hari kami diantarkan ke kantor, dan sore hari shuttle bus yang sama telah menanti untuk membawa kami pulang ke hotel.

Lalu, pada suatu hari rupanya seorang kawan dari negara lain terlambat sehingga tak dapat berangkat ke kantor dengan shuttle bus. Dan akhirnya, dia diantarkan dengan sedan Mercy model terbaru milik hotel ke kantor.

Sampai beberapa saat kemudian, di Jakarta, pada suatu hari aku kembali mendengar kawan- kawanku mempercakapkan mobil Mercy seri tersebut, lengkap dengan komentar tentang betapa inginnya mereka mencoba naik mobil semacam itu. Tentu nyaman sekali, kata mereka.

Aku tertawa, lalu dengan iseng kukomentari percakapan itu dengan “ Wah, sayang aku selalu tepat waktu saat training di Bangkok kemarin. Kalau saja aku pernah terlambat, aku kan juga bisa nyoba naik mobil seperti itu ya… “

Dengan segera aku menyadari bahwa ada yang salah dengan komentarku ketika kawan yang bersama- sama denganku berangkat training ke Bangkok ketika itu menatapku dengan pandangan heran. Tatapan keheranan yang lalu disambung dengan tawa geli saat dia berkata, , “ Lho, tapi kita kan memang sudah pernah naik mobil itu! “

Oh.

Pernah?

Kapan?

Kawanku tertawa makin geli, “ Waktu mau pulang. Dari hotel ke airport kita kan naik mobil itu… “

Bisa dibayangkan, kawan- kawanku yang lain serentak berteriak iri dan dengan serentak menanyakan bagaimana rasanya naik mobil semacam itu.

Kawan yang bersama- sama training denganku itu, seorang lelaki, memenuhi rasa keingin tahuan kawan- kawan lain dengan bercerita secara detail, sementara aku sendiri malah menggumam dalam hati, “ Oh ya ampun… jadi sebetulnya mobil yang jadi bahan percakapan itu ‘segitu aja’? Nggak ada bedanya kalau buat aku sih… “

Mudah diduga seperti apa reaksi kawan- kawanku saat kalimat ‘nggak ada bedanya’ itu kukatakan pada mereka. Dengan ‘putus asa’ mereka berusaha meyakinkan aku bahwa tak mungkin tak ada bedanya, pasti beda sekali kenyamanannya, sementara di pihak lain aku bersikeras menyatakan tidak, tak ada bedanya, tak terasa bagiku. Ha ha ha.

***



Lalu sekitar beberapa bulan setelahny, aku diundang untuk menghadiri rapat di Kuala Lumpur.

Kali ini aku pergi sendiri, dan dalam perjalanan pulang menuju airport dari hotel, aku teringat pada kawan- kawanku satu team itu dan percakapan mereka tentang mobil. Dalam hati aku tersenyum dan berniat untuk meledek mereka setibanya kembali di Jakarta nanti.

Aku tak tahu apa merk sedan yang kutumpangi untuk pergi ke airport saat itu. Yang jelas sedan itu nyaman ditumpangi. Kuniatkan untuk melihat merknya nanti saat turun di airport, agar dapat kukatakan pada kawan- kawanku bahwa aku menaiki sedan merk X – entah apa – yang sungguh kenyamanannya toh tak ada bedanya dengan Mercy seri terbaru yang menghebohkan yang konon (aku sungguh tak ingat!) pernah kutumpangi saat perjalanan ke airport di Bangkok dulu.

Jadi, begitulah. Setibanya di Kuala Lumpur International Airport , saat menurunkan barang- barang dari bagasi mobil, kusempatkan melihat logo mobil tersebut. Dan aku ( terpaksa ) terbahak sendiri mentertawakan ke-error-anku, sebab… ha ha ha… mobil yang kutumpangi itu… ya ampun... mobil Mercy juga, ternyata!

***



Lho, Mercy lagi?

Ha ha ha, alih- alih kagum, aku kembali berpikir, jadi apa bedanya Mercy dengan yang lain, sebab saat menumpanginya aku toh tak segera bisa melihat bedanya dengan mobil lain?

Ha ha ha.

Kuceritakan hal tersebut pada kawan- kawanku di kantor, para lelaki di team-ku, yang menyambut ceritaku dengan tawa lebar. Salah satu dari mereka kemudian menggodaku, mengajukan pertanyaan yang di kemudian hari sering sekali dijadikan bahan gurauan di antara kami, tentang apakah aku bisa membedakan antara angkot dengan Mercy atau tidak? Atau jangan- jangan, keduanya tak ada bedanya bagiku? Ha ha ha…

p.s. i love you




( bersambung )

* gambar diambil dari: jokesprank.com

3 comments:

mechta said...

haha..tak penting jenis mobilnya, yg penting nyampai ditujuan tepat waktu & selamat tak kurang suatu apa ya mbak.. :)
Utk masa2 sekolah, saking seringnya diantar jemput aku jadi ketergantungan & tak tahu jalur angkot :(

iLLa said...

pertama kali naek angkot, pas pulang ke rumah, ayah ibu saya sudah mondar mandir nungguin di rumah.. khawatir saya dibawa kabur sm sopir angkotnya,, palagi waktu itu kan belom ada hape :D
sekarang juga kalo berangkat kerja masih naek angkot.. tapi saya ga segitu parahnya kok, sampe ga bisa membedakan angkot sm mercy :lol: kalo mercy sm sedan biasa mungkin memang iya *eh..

http://gehirngerecht.info/seo/mercedes-benz-mobil-mewah-terbaik-indonesia/ said...

pada suatu hari saya naek angkot......dan saya kebentur atap angkot :D

Post a Comment