Panggilan Itu...

Dan kami penuhi panggilan itu…

SEJAK
setahun yang lalu, pembicaraan tentang berangkat umrah berulang kali terjadi di rumah keluarga besar kami.

Dimulai dari ayahku, yang saat itu baru saja pulang ke rumah setelah beberapa lama dirawat di rumah sakit. Setelah pulang ke rumah, ayahku berulang kali menyatakan kerinduannya untuk berangkat ke Tanah Suci.

Ayah dan Ibuku telah berangkat berhaji lama berselang. Dan tampaknya kerinduan untuk kembali berada di sana menghampiri ayahku.

Tapi saat itu, kondisi memang belum memungkinkan. Baik kondisi kesehatannya sendiri, disamping tentu saja, juga diperlukan dana untuk dapat berangkat ke sana.

Tapi kami berniat, sungguh berniat.

Kami anak- anaknya bersepakat, pada kesempatan pertama yang memungkinkan, kami akan mengupayakan agar kedua orang tua kami dapat berangkat ke Tanah Suci dan pada saat itu, siapapun dari kami yang dapat menemani beliau berdualah yang akan berangkat.

Suamiku, begitu mendengar rencana itu, pernah menyampaikan beberapa rencana sehubungan dengan itu. Rencananya adalah, jika memungkinkan, kami akan menemani ayah dan ibuku berangkat ke Tanah Suci. Kami yang dimaksud adalah aku dan suamiku beserta ketiga anak kami.

Dan kami sungguh berusaha untuk itu. Tapi tampaknya hal tersebut tak semudah yang kami duga. Baik dana maupun kesempatan tampaknya tak juga datang.

Aku tahu bahwa adik- adikkupun berusaha seperti kami, dan sampai beberapa bulan berjalan, niat itu belum juga terwujud.

Sampai suatu hari sekitar sebulan yang lalu…

Ibuku menghubungiku. Mengatakan bahwa Bapak dan Ibu ada rejeki sehingga rencana ke Tanah Suci akan segera diwujudkan. Lalu karena akan diperlukan seorang perempuan dan seorang laki- laki untuk menemani beliau berdua saat berada di sana, perundingan keluarga memutuskan bahwa aku dan seorang adikku, laki- laki, yang akan berangkat.

mekah

Oh…

Sesungguhnya… aku tak dapat mengatakan apa yang kurasakan pada saat itu.

Aku senang, gembira, bersyukur, atas kesempatan tersebut.

Dapat menemani kedua orang tuaku beribadah umrah ke Tanah Suci, tentu sesuatu yang sangat patut disyukuri.

Tapi…

Hanya pada satu dua orang yang sangat dekat denganku, aku pernah mengatakan hal ini: aku senang, namun sebenarnya yang kuharapkan adalah berangkat bersama- sama, dengan suami dan ketiga anak kami…

Aku tahu, dan selalu percaya, Tuhan Maha Memberi.

Walau tak tahu bagaimana caranya, tak pula dapat membayangkan pintu atau jendela mana yang akan terbuka dan menjadi jalan, setiap hari, setiap saat, kupanjatkan doa pada Yang Kuasa. Kumohonkan pada Yang Maha Pemurah agar tak hanya mengijinkan aku berangkat ke Tanah Suci menemani orang tuaku, tapi juga mengijinkan agar suami dan ketiga putra- putriku dapat pula berangkat bersama kami.

Jarum jam berdetik. Hari berputar. Satu… dua… tiga…

Sekian hari, sekian minggu berlalu, waktu makin mendekat ke saat keberangkatan, tak juga tampak tanda- tanda bahwa doaku akan terkabul.

Aku pasrah.

Kusiapkan mentalku. Kulapangkan hatiku.

Kuucapkan doa dalam hati, jika memang kali ini baru aku yang mendapatkan undangan, ijinkanlah lain kali keinginanku untuk berangkat ke Tanah Suci bersama suami dan putra- putri kami terkabul.

Namun, aku tak hendak menyerah.

Kulapangkan hatiku, tapi tak kuhentikan doaku.

Setiap hari, setiap saat.

Sebab aku percaya, apapun dapat terjadi jika itulah yang dikehendakiNya.

Dan itulah yang terjadi.

Hanya sekitar sepuluh hari menjelang keberangkatan ketika tiba- tiba saja rejeki itu datang. Berlimpah. Lebih dari cukup untuk dapat membuat suami dan ketiga putra- putri kami dapat turut berangkat bersama.

Masalahnya tinggal, apakah waktu yang tersisa akan cukup untuk mengurus beragam hal yang perlu dipersiapkan untuk berangkat. Visa, terutama, tentu tak dapat diselesaikan secara mendadak.

Tapi sekali lagi, walau terus berdoa, kami semua melapangkan dada.

Aku sendiri percaya, sebab rejeki datang dariNya, kemudahan juga akan dapat diberikanNya. Maka, walau berusaha mempersiapkan diri jika ternyata waktu yang sangat singkat tersebut ternyata tak cukup untuk mengurus surat- surat yang dibutuhkan untuk membuat suami dan putra- putri kami dapat bergabung bersama rombongan, doa tak pernah putus kami lantunkan.

Dan siapa yang dapat menyangkal kemurahanNya?

Waktu yang sangat pendek tersebut ternyata bukan hanya cukup untuk membuat suami dan ketiga putra- putri kami bergabung, tapi juga cukup untuk membuat istri adikku dapat pula turut serta bersama kami.

Jadi, dari rencana empat orang, kini kami berangkat bersembilan.

Aku percaya, selalu percaya, bahwa jika kita memohon dengan sungguh- sungguh, maka keinginan itu akan dikabulkan…

Kuucapkan syukur, kusampaikan rasa terimakasihku yang amat sangat ke Atas sana…

Tak mungkin semua ini terjadi tanpa kehendakNya.

Tak kan dapat kami berangkat ke Tanah Suci jika bukan karena undanganNya.

Dan kami penuhi undangan tersebut…

Hari ini, kami akan berangkat menuju ke Tanah Suci. Sungguh saat ini, tak ada lagi hal lain selain rasa syukur dan bahagia yang memenuhi hatiku.

Kami datang… kami datang untuk memenuhi panggilan itu…

p.s. Teman- teman yang baik, aku menulis posting ini di bandara. Sesaat lagi pesawat kami akan terbang menuju Madinah. Mohon maaf lahir batin jika selama ini ada kesalahan yang kulakukan, baik sengaja maupun tidak sengaja pada teman- teman semua…


** gambar diambil dari: www.math.uic.edu **

4 comments:

cyperus said...

semoga selamat dan lancar menunaikan ibadah..

melly said...

ati2 ya mba..
semoga Allah memberikan jalan yang lebih luas lagi untuk keluarganya mba dee.
amin. :)

rice2gold said...

Allah maha memberi....
semoga ibadah yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kekhusyukan, amin... :)

'dee said...

@frans, melly & mas julian: terimakasih..

Post a Comment