Kisah Dari Kendaraan Umum...

Tentang kendaraan umum…

AKU selalu menikmati saat- saat ketika berada di kendaraan umum.

Kendaraan umum memungkinkan kita untuk mengamati beragam tingkah polah manusia. Mengijinkan kita untuk menyerap banyak hal yang menghaluskan rasa.

Misalnya saja, aku selalu terenyuh dan berpikir betapa beratnya perjuangan hidup yang harus dilakukan oleh banyak orang saat mengamati para penumpang KRL, terutama KRL Ekonomi.

Lihatlah bagaimana di pagi hari banyak pedagang yang membawa beragam barang dagangan dalam jumlah besar dan tentunya berat berpacu dengan waktu untuk memuat barang- barangnya ke dalam KRL yang hanya berhenti sekejap di setiap setasiun.

krl-jabotabek

Ada suatu peristiwa lain yang juga tak pernah kulupakan hingga saat ini.

Sudah larut malam saat itu, dan KRL Ekspres terakhir sudah lewat. Aku memutuskan untuk pulang dengan KRL ekonomi. Seperti biasa, ada banyak orang yang rupanya saling mengenal duduk bergerombol di ujung gerbong. Mereka bercakap- cakap sambil tertawa- tawa, dan, sebuah percakapan tertangkap oleh telingaku.

Seseorang dalam kelompok itu bertanya pada temannya, “ Gimana, dapat uang hari ini ?”

Temannya menjawab pendek, “ Tidak. “

Si penanya menjawab, “ Saya juga tidak. “

Temannya yang lain menimpali, “ Susah sekarang…”

Dan terdengar lagi sebuah suara, “ Iya. Sedih juga. Sudah tidak dapat uang, sampai rumah dimarahi istri pula (sebab tidak dapat uang ini).”

Oh.

Percakapan yang sungguh menikam jantungku.

Betapa orang- orang ini, yang saling menghibur dengan tertawa- tawa bersama ini sebenarnya menghadapi kehidupan yang keras setiap hari…

***



Tak selalu situasi dalam kendaraan umum begitu suram, tentu saja.

Anak- anakku saat masih kecil dulu bahkan menganggap naik kendaraan umum semacam angkot sebagai sebuah acara rekreasi.

Bahkan ketika situasinya tercipta sama sekali bukan karena hendak bersenang- senang.

Pernah suatu kali, saat anak bungsuku masih bayi, suamiku bertugas ke luar kota dan ditempuhnya perjalanan itu dengan mobil. Karenanya selama beberapa hari, tak ada mobil di rumah.

Dan si bungsu ternyata sakit saat itu. Badannya panas dan demam.

Ayahnya baru akan pulang beberapa hari kemudian. Kuputuskan untuk tak menunda kunjungan ke dokter. Kusiapkan beberapa barang yang dibutuhkan ke dalam tas dan bersiap untuk membawa si bungsu ke dokter dengan naik angkot saja.

Saat itulah kedua kakaknya menghampiri aku.

“ Ibu mau kemana? “ tanya mereka.

“ Ke dokter, adik sakit, “ jawabku.

“ Naik apa? “ tanya mereka.

“ Naik angkot, “ jawabku.

“ Aku ikut kalau naik angkot,  “ jawab anakku yang tengah. Dia memang selalu senang jika diajak naik angkot.

“ Aku juga ikut, “ si sulung menimpali.

Aku menimbang- nimbang. Akhirnya kuputuskan, mereka boleh ikut.

Dan begitulah, sore itu aku pergi ke dokter naik angkot dengan tiga anak kecil, satu diantaranya adalah bayi yang sedang sakit dalam gendongan.

Cuaca cerah saat kami berangkat, tapi tak begitu saat perjalanan pulang. Ketika kami sedang menyeberang jalan untuk mencapai tempat angkot, titik air hujan mulai turun.

Singkat cerita, kami berhasil mencapai angkot itu. Si bungsu masih demam, tapi dia tenang dalam gendongan. Kedua anakku yang lain, tak perduli hujan turun dengan deras saat itu, tetap riang gembira di dalam angkot yang kami tumpangi.

Yang lucu, rupanya pemandangan seorang ibu yang bepergian sendiri dengan tiga anak kecil merupakan pemandangan yang ‘memprihatinkan’ bagi orang yang melihatnya. Sebab dalam perjalanan di angkot itu, seorang ibu mengajakku mengobrol. Menanyakan dari mana tadi. Lalu dimana kami tinggal. Dan kemudian, keluarlah pertanyaan yang mungkin sejak tadi sudah dipendamnya dalam hati, “ Kemana Bapaknya? “

Ha ha ha.

Kujawab bahwa suamiku sedang bertugas ke luar kota. Dan ibu itu mengangguk tanpa bertanya- tanya lagi.

Kejadian itu bertambah lucu sebab keesokan harinya ketika kuceritakan pada kawan- kawanku bahwa kemarin aku pergi ke dokter dan naik angkot dengan ketiga anakku yang masih kecil- kecil, seorang kawanku berkomentar, “ Untung kamu nggak ketemu nenekku kemarin. Kalau kamu ketemu nenekku, pasti kamu dikasih uang seribu, soalnya nenekku paling kasihan kalau lihat ibu- ibu yang pergi sendiri naik angkot bawa anak kecil banyak  begitu… “

Ha ha ha, kukatakan pada kawanku, artinya, bukan untung namanya jika aku kemarin tak bertemu dengan neneknya, tapi rugi. Andai saja aku bertemu, mungkin senang juga jika aku diberi uang seribu rupiah oleh neneknya yang baik hati itu… ha ha ha…

p.s. i love you


** gambar diambil dari detiknews.com

5 comments:

hes said...

hehehe, aku ngga pernah ditanya gitu kalau naik angkot bawa dua anak balita. mungkin kalo bawa tiga anak beda kali ya :p

Ocehanburung said...

Rumah kayu,

saya comment di blog anda sukangeblog.blogdetik.com

tapi kenapa comment saya tidak muncul ya...

NB : saya comment di tulisan anda yang membicarakan comment saya di blog bona...

Ocehanburung said...

Rumah kayu,

saya comment di blog anda sukangeblog.blogdetik.com

tapi kenapa comment saya tidak muncul ya...

NB : saya comment di tulisan anda yang membicarakan comment saya di blog bona...

azlan kadir said...

yang baik hati i love you p.s :D

jokos5758 said...

emang sih bagi sebagian anak kecil naik angkot bisa jadi sarana mereka rekreasi. klo anakku sukanya naik kereta api. hampir setiap minggu aku ajak naik kereta api meskipun hanya melintasi 2-3 stasiun kereta api kemudian kembali lagi.

di kereta api kita juga menjumpai banyak hal. intinya setiap orang tentu punya masalahnya masing-masing, dan kadangkala di kereta api kita bisa mendapatkan pencerahan bahwa selama kita hidup pasti ada masalah datang menghampiri.

trouble is a "friend".....

Post a Comment