I Love You, Dad...

Lagi, tentang orang- orang yang sangat kucinta…

AKU, seperti biasa, kehilangan kata- kata…

Bukan karena tak ada rasa. Bukan pula karena tak punya cerita.

Tapi justru karena rasa itu, cerita itu, dan berjuta kenangan itu mendesak.. desak.. desak… memenuhi pikiran dan hatiku dan membuatku tak tahu harus menulis apa…

***



Kali ini tentang ayahku.

best-father1


 
Konon, semua anak perempuan mengidolakan ayahnya. Semua anak perempuan menganggap ayahnya adalah seorang pahlawan.

Begitu pula aku.

Dan begitu banyak yang ingin kukatakan tentang ayahku, maka hampir tak mungkin sebetulnya menceritakannya dalam sebuah posting di blog. Tapi, seperti juga betapa sulitnya, sebenarnya pada saat yang sama, betapa mudah pula mengatakan mengapa aku sepanjang hidupku selalu mencintai dan berterimakasih padanya.

Ini jawabnya: karena ayahku menunjukkan padaku seperti apa seharusnya seorang laki- laki bersikap.

Aku sungguh amat berterimakasih padanya karena ayahku tak pernah mencederai pikiran dan perasaanku sebagai anak perempuan yang begitu bangga pada ayahnya. Karena ayahku tak pernah meninggalkan kenangan kelam tentang seorang suami, seorang ayah, seorang laki- laki.

Karena, dengan semua sikap yang ditunjukkannya itu maka aku selalu percaya bahwa ada laki- laki baik di dunia ini.

Dan kepercayaan yang amat kuat itu sungguh memudahkan langkahku…

***



Ayahku yatim piatu saat berusia empat tahun.

Sejak itu, kakek dari pihak ayahnyalah yang merawat dan membesarkannya.

Dan kakek ini, kemudian meninggal dunia pada saat ayahku duduk di bangku SMP.

Jadi, tugas membesarkan ayahku beralih sepenuhnya pada neneknya.

Yang bahkan bukan nenek kandung.

Nenek ini adalah nenek sambung. Nenek kandung ayahku telah meninggal dunia. Kakeknya kemudian menikah lagi, dan nenek sambung inilah yang kemudian merawat ayahku setelah suaminya, kakek kandung ayahku, meninggal dunia.

Tidak, aku tidak akan bicara tentang cinta. Sebab itu tak perlu dipertanyakan lagi.

Aku mengenal nenek buyutku ini cukup lama sebelum nenek buyut ini meninggal dunia ketika aku mahasiswa. Karenanya aku tahu, amat tahu, bahwa nenek buyutku ini mencintai ayahku dengan amat sangat. Tak ada pertanyaan tentang itu.

Dan begitulah. Aku yakin bahwa hidup sebenarnya tak sesederhana itu. Tak pernah mudah bagi seorang anak untuk menjadi yatim piatu bahkan pada usia balita. Dan kemudian ditinggalkan pula oleh kakek yang membesarkan saat mulai memasuki masa remaja.

Tapi itulah yang terjadi pada ayahku.

Walau tak pernah cerita itu disampaikannya dengan nada sedih yang berlebihan. Sepanjang yang dapat kuingat, ayahku selalu menceritakan hal- hal tersebut dengan gaya ‘just a matter of fact’.

Tapi barangkali, Yang Kuasa memang mengirimkan para malaikat dan bidadari untuk melindungi anak- anak yang kehilangan orang tuanya di usia sangat belia. Sebab dalam keadaan seperti itu ayahku tumbuh dengan baik.

Lulus dari SMP dengan nilai terbaik, ayahku memasuki sebuah SMA di sebuah kota besar yang bersebelahan dengan kota tempat tinggalnya saat itu. SMA di sebuah ibukota provinsi tersebut, hingga sekarang masih menjadi SMA favorit.

Aku ingat, selalu sambil tertawa- tawa, ayahku bercerita bahwa perjalanan ke sekolahnya ditempuh dengan kereta api. Dan jika anak- anak lain yang terlambat datang ke sekolah selalu mendapatkan hukuman dari para guru – yang konon luar biasa galak – tak begitu dengan ayahku. Jika terlambat tiba di sekolah, maka ayahku hanya perlu mengatakan “ Kereta “ dan guru- guru tak lagi akan bertanya. Semua guru tahu bahwa ayahku harus menempuh perjalanan sejauh puluhan kilometer dengan kereta api setiap harinya untuk tiba di sekolah. Demikian pula seringkali sebelum jam pulang sekolah ayahku sudah mengangkat tangannya dan kembali berkata “ Kereta “ untuk membuat gurunya mengijinkan untuk meninggalkan sekolah lebih awal agar ayahku dapat mengejar jadwal kereta pulang ke kotanya.

Ayahku selalu tertawa makin lebar saat ceritanya tiba pada hal ini: padahal pada banyak hari, keterlambatannya tiba di sekolah saat SMA itu bukan karena kereta yang ditumpanginya terlambat, tapi karena ayahku memang sengaja berangkat lebih siang dari rumah. Ha ha ha.

***



Dimanapun di seluruh dunia, selalu ada banyak manusia berhati malaikat.

Dan salah satu diantaranya adalah orang tua kawan sekelas ayahku di SMA.

Orang tua kawannya yang di kemudian hari selalu mengakui ayahku sebagai anak mereka, demikian pula sebaliknya ayahku selalu mengakui mereka sebagai orang tuanya serta seluruh kakak adik kawan sekelasnya ini sebagai kakak adiknya juga, mengupayakan jalan agar ayahku dapat memperoleh beasiswa.

Ayahku, yang kemudian saat lulus SMA tercatat sebagai lulusan terbaik kedua di seluruh kotamadya dimana SMA-nya berada, kemudian mendapatkan beasiswa dari departemen sosial untuk kuliah di perguruan tinggi yang konon adalah perguruan tinggi terbaik di negeri ini.

Selama masa kuliahnya, ayahku tinggal di asrama departemen sosial.

Dan ketika pada suatu saat entah sedang menceritakan apa aku bertanya berapa lama sekali ayahku pulang ke kota kelahirannya selama kuliah itu, jawabannya adalah: tak tentu.

Jawaban yang mulanya membingungkan aku, tapi kemudian membuatku tersadar bahwa pertanyaan itu yang salah, bukan jawabannya.

Tentu saja tak tentu, sebab, ayahku tak cukup mempunyai uang saku untuk membeli karcis kereta api…

***



Ah, akan ada banyak cerita lain yang dapat kuceritakan di sini. Tapi itu mungkin akan membuatku harus menulis cerita bersambung.

Tapi memang tak bisa juga tak kuceritakan.

Baiklah, kupilih saja salah satunya.

Yaitu tentang bagaimana ayahku mengajarkan keberanian. Mengajarkan bahwa ketakutan- ketakutan yang tak beralasan tak usah dituruti.

Aku masih dapat mengingat dengan sangat jelas suatu hari ketika ayahku memanggilku. Di tangannya ada selembar daun dengan ulat berwarna hijau. Ulat itu tak berbulu, tidak gatal dan bukan pula jenis ulat yang menempel kuat di rambut atau semacamnya

Seperti semua anak kecil lain, apalagi anak perempuan, aku juga takut ulat.

Hari itu, ayahku menunjukkan ulat berwarna hijau yang ada di atas selembar daun padaku dan berkata, “ Pegang deh… “

Pegang?

Kutatap ayahku tak percaya.

Pegang? Itu ulat dan ayahku meminta aku untuk memegangnya?

Tapi rupanya aku tak salah dengar. Sebab, ayahku kembali menyodorkan daun tersebut dan menunjuk ke bagian punggung ulat tersebut. “ Pegang deh di sini… “

Setelah sekian kali ayahku berkata begitu, dengan takut- takut kusentuhkan telunjukku di punggung ulat tersebut. Masih dengan rasa geli, dan ngeri. Hanya sedetik lalu kuangkat lagi tanganku.

Kemudian, keesokan harinya, ayahku menunjukkan lagi ulat sejenis. Dan meminta aku membelainya.

Kulakukan itu.

Di hari lain lagi, ayahku memintaku untuk membuka telapak tanganku dan meletakkan ulat itu di sana.

: Sejak hari itu, aku tak takut ulat sama sekali.

***



Ayahku, mengajarkan banyak keberanian padaku.

Termasuk keberanian untuk menjadi berbeda.

Untuk berani mengatakan sesuatu yang kuyakini benar walau semua orang di sekitarku mengatakan hal yang berlawanan sekalipun. Untuk berani mengambil sikap dan menunjukkan dengan jelas dimana aku berdiri. Untuk juga berani membalikkan badan dan pergi ketika tahu bahwa aku berada di tempat dimana aku tak seharusnya berada. Walau seisi dunia ada di sana sekalipun.

Dan untuk itulah, aku sungguh berterimakasih padanya…

p.s:

I love you, Dad. I will always love you. Thank you for loving me in that special way…

** picture taken from: www.flowgo.com **

7 comments:

cici silent said...

Wuah... jd pengen nulis jg ttg Ayah...

alienindo said...

*sambil mengangkat tangan dan berkata... "kereta" :mrgreen: *

^ah, sungguh posting yang menyentuh. membuat aku berkaca-kaca dan teringat pada ayahku yang jauh di planet xuxaxaja...^

^sebuah posting yang patut dibaca semua ayah dan calon ayah yang menetap di planet bumi^

^salam kereta^ :twisted:

mechta said...

Duuh..mbak, tulisan ini sukses membuatku terharu karena ingat swargi bapak...hiks!
Alhamdulillah kita mempunyai ayah terbaik sementara mungkin banyak anak2 lain yg tak seberuntung kita...

iLLa said...

sulit untuk tidak meneteskan air mata jika membaca cerita tentang Ayah, ah... really miss him..

matanaga said...

jadi inget bapak saya juga, heheh!
merantau hanya bawa gembolan kecil terus numpang sama abangnya..?
asyik, lucu & terharu kalo baca ttg bapak :p
salam sama ayahnya ya?
i love bapak.. i love pakde...

ias said...

sip mbk dee...sepakat untuk berani beda! ^^
~terimakasih ayah... :)

Tayusani Yuza said...

Aku terharu. Sekaligus ingin menangis ..
Dulu aku pernah mengecewakan ayah..

Kak, mampir ke blog ku ya, aku sedang belajar menulis, aku juga sering baca blog kk sbg pembelajaan untuk menulis ^ ^

mohon bantuannya.

Post a Comment