Boneka Beruang Bergambar Hati

Hadiah- hadiah kecil yang manis itu…

TADI, dengan iseng aku menaruh status dengan bunyi seperti ini di facebook: " Pagi- pagi ada yang ngasih boneka beruang dengan gambar hati di dada – haduh koq jadi ingat berjuta tahun yang lalu saat beragam hadiah kecil begini suka mampir dari banyak orang ( eh?! hahaha… ) "

Status iseng itu kemudian berlanjut dengan percakapan kecil antara aku dan Wina, seorang ibu muda yang cantik. Wina, yang mungkin juga sedang iseng mengomentari status itu dengan permintaan jika hadiah yang kuterima banyak, hibahkan saja padanya...

Ha ha, aku tertawa geli saat melihat komentar Wina itu.

Pertama, hadiah yang kuterima hanya satu.

Kedua, bahkan yang satu itupun, walau aku berterima kasih karenanya, sebetulnya telah membuatku heran dan terkejut. Wah, hari gini terima hadiah boneka beruang?

bear



Dan percakapanku dengan Winapun berlanjut. Wina berkomentar lagi. Begini ujarnya: sama dong nasibnya, lain dulu lain sekarang.

Komentar itu kujawab lagi dengan: Lho, hadiah terbesarnya sudah dapat kan?

Dan aku bersungguh- sungguh saat mengatakan itu. Sebab aku berani bertaruh, Wina yang cantik itu tak akan bersedia menukarkan suaminya, juga si kecil cerdas yang mewarnai banyak ceritanya di facebook serta seorang calon bayi lain yang sedang dikandungnya dengan boneka beruang atau coklat sebanyak apapun… he he.

Tapiiiii…

Sejujurnya, sebelum menikah dulu, aku sendiri selalu senang menerima hadiah- hadiah kecil beragam rupa.

Seperti semua gadis lain, ada masanya banyak pemuda ( eh? hahaha… ) yang memberikan ini dan itu padaku. Dari sticker, t-shirt, beragam souvenir mungil, juga puisi- puisi manis, bermacam coklat, termasuk sekotak coklat berbentuk hati dengan satu diantaranya terbungkus kertas metalik merah yang diantarkan sendiri oleh pemberinya sampai ke depan pintu rumahku (ehm!).

Dan tak akan aku pungkiri sampai kapanpun bahwa semua itu menggembirakan hatiku.

Walau…

At the end of the day, kusadari bahwa bukan hadiah itu yang menyenangkan hati.

Semua itu terasa menyenangkan karena… si pemberinya.

Bukan hadiahnya.

Sebab, jika itu hadiahnya, maka hadiah yang satu akan kusukai lebih dari yang lain. Faktanya tidak begitu sebab apapun yang diberikan padaku, apakah bentuknya sticker, atau coklat, atau puisi, semua kusukai karena para pemberinya memang orang- orang yang menyenangkan.

Ditambah sebuah fakta lagi, bahwa…

Ha ha.

Dari semua hadiah yang pernah diberikan padaku, satu yang selalu tersimpan di sudut hati terdalamku adalah sebuah novel Hemingway second hand, yang diberikan oleh lelaki yang kini menjadi suamiku, ayah anak- anakku.

Aku yakin hal tersebut tersimpan di sudut itu karena aku mencintai pemberinya dengan amat sangat.

***



Dulu, aku senang menerima beragam kartu bergambar lucu dan surat- surat bersampul merah jambu.

Tapi… kesenangan yang luar biasa ternyata juga kurasakan ketika surat- surat dari ( orang yang di kemudian hari menjadi ) suamiku mengalir saat dia sedang menempuh pendidikannya jauh dari tanah air.

Dan dia, lelaki terkasih itu, adalah orang yang sangat sederhana dan apa adanya.

Kuingat jelas hingga saat ini bahwa dia bahkan tak pernah memusingkan urusan kertas surat. Jika kertas surat yang dimilikinya habis ( kertas itu polos, berwarna putih dan tipis – untuk menghemat biaya perangko, ha ha! ) maka tanpa pikir panjang akan dipergunakannya kertas buram yang dipakainya untuk membuat draft thesis Masternya untuk menulis surat padaku, ha ha ha…

Surat- surat itu, beserta print out begitu banyak e-mailnya, plus satu dua kartu yang dikirimkannya, masih aku simpan hingga saat ini.

Omong- omong, saat lajang dulu aku tak pernah bersedia menerima hadiah mahal.

Dari siapapun. Sebab aku tak mau merasa berhutang budi atau kehilangan kebebasanku untuk memilih dan bersikap karena hadiah- hadiah yang terlalu mahal dan mengikat. Aku hanya bersedia menerima hadiah kecil, tidak yang mahal atau terlalu berharga. Hadiah- hadiah kecil itu mewarnai banyak hari- hari lajangku dahulu, menjadi kenangan manis yang tak akan terlupa.

Tapi sungguh, seperti yang kukatakan di awal tulisan ini, hadiah terbesar yang pernah kuterima sama sekali bukan berupa benda.

Hadiah terbesar itu adalah, lelaki terkasih yang kini menjadi suamiku.

Hadiah itu, masih pula kemudian ditambah dengan anak- anak yang menjadi matahari sekaligus embun yang menyejukkan yang satu persatu hadir dalam rumah tangga kami.

Bahwa suamiku ternyata memang sangat baik hati dan penuh cinta, bahwa kami dikaruniai anak- anak yang sehat dan cerdas, itu sudah merupakan hadiah tak ternilai bagiku.

Kini, setiap hari aku telah selalu mendapatkan begitu banyak hadiah besar.

Menjalani hidup bersama suami yang kukasihi, melihat anak- anak tumbuh besar, menyaksikan kelucuan mereka, menikmati ketika saat tumbuh makin besar, anak- anak itu juga makin ‘nakal’ dan memiliki beragam cara untuk menggoda dan meledekku, semua adalah hadiah bagiku.

Kunikmati beragam kelucuan dan tingkah polah anak- anak itu.

Termasuk, misalnya, saat anak perempuanku dengan nada kaget yang dilebih- lebihkan ( atau jangan- jangan itu memang kaget betulan ya, bukan pura- pura? ha ha ha ) mengamati album foto lama dan mempertanyakan fotoku saat SMP dulu.

“ Ibu, “ katanya, “ Ini betulan foto ibu? “

Kujawab, “ Ya iyalah, memangnya foto siapa lagi? “

Dia, tanpa berusaha menghaluskan kalimat menjawab, “ Lho… jadi… ibu itu dulu cantik ya, bu? “

Hah? Enak saja. Dulu cantik, katanya? Sembarangan, ha ha ha.

Kujawab begini komentarnya itu, “ Oh, tentu dong, ibu cantik. Mbak itu cantiknya darimana kalau bukan dari ibu? “

Anakku ( yang suka mengaku- ngaku bahwa dirinya cantik itu ), dengan tenangnya berkata, “ Ibu, cantiknya aku ini nggak ada hubungannya dengan ibu… “

“ Wah, mana bisa, “ jawabku.

Dan anakku menjawab dengan tenang, “ Bisa saja, sebab cantik itu sifat resesif… “

Ha ha ha ha ha. Aku terbahak mendengar jawaban itu.

Dasar! Dia pasti baru saja mempelajari ilmu genetika yang ‘sesat’, ha ha ha.

Kali lain lagi, saat bergurau dengannya kukatakan padanya, “ Ibu dong, keren… “

Dan anakku menjawab, “ Tapi masih kalah keren sama aku kan… “

Kutimpali jawabannya, “ Baiklah. Yang waras ngalah… “

Lalu, apa yang dapat kulakukan selain tertawa geli saat anakku menjawab dengan tangkas, “ Ibu kalah. Aku mengalah… “

Oh, ya ampun. Ha ha ha…

Sungguh. Mereka, suami dan anak- anakku yang entah kenapa selalu senang menjadikan aku sasaran keisengan dan ledekan mereka, merupakan hadiah tak ternilai yang tak akan kutukar dengan apapun. Tidak boneka beruang, tak pula sekotak coklat atau seikat bunga mawar…

p.s:

I love you, dear hubby. I love you my sweet girl and lovely boys. I love you all. Very much…

** gambar diambil dari: mymemorybears.com **

4 comments:

funnie said...

So sweets....

jenkqy said...

weleh weleh....ikut senang ne...:D

ias said...

waw...cerdasnya anak jaman sekarang... :p

rice2gold said...

dijaga baik-baiklah hadiah "istimewa" itu ;)

hahaha...dulu ibunya cantik ya dek?

kalau sekarang?...........!!!!! :)

Post a Comment