Mengikuti Arus Tanpa Menjadi Hanyut

Arus yang mengalir itu…

MEMBIARKAN angin lembut membelai pipinya, Dee duduk di tepi jendela. Memandangi gunung- gunung dan hutan cemara. Mendengarkan cericit burung. Menikmati gerisik dedaunan.

Si kembar Nareswara dan Nareswari bergelung hangat di pangkuan Dee. Keduanya terlelap setelah kenyang memperoleh ASI. Dee sengaja belum meletakkan keduanya di tempat tidur, sebab ingin menikmati lebih lama kehangatan dan harum tubuh para bayinya.

Senyap di rumah kayu.

Kuti dan Pradipta sedang pergi menghadiri acara keluarga di kantor Kuti. Dee sendiri memilih tetap berada di rumah dengan kedua bayinya.

“ Pergilah, ‘yang, “ katanya pada Kuti yang saat tahu Dee lebih ingin berada di rumah hampir saja mengurungkan niatnya untuk datang ke acara tersebut. “ Ajaklah Dipta, dia pasti senang, “ kata Dee lagi.

Dan begitulah, Kuti akhirnya berangkat berdua dengan Pradipta. Dee yakin Pradipta akan senang sekali. Acaranya berlangsung di di tepi pantai. Ada kolam renang yang menjorok ke laut. Juga ada beberapa permainan untuk kanak- kanak di sana. Setelah sekian lama harus banyak mengalah setelah kelahiran kedua adik kembarnya, Dee yakin Pradipta gembira memiliki waktu bersenang- senang berdua dengan ayahnya semacam itu.

Ah. Dee tersenyum ketika melihat kucing abu- abu Pradipta terlonjak- lonjak di halaman. Bergurau dengan daun yang bergerak- gerak seakan mengajaknya bercanda. Setelah itu kucing tersebut berguling- guling di rerumputan yang pastilah terasa hangat tertimpa cahaya matahari pagi.

Dee tersenyum lagi.

fall-leaves1



Betapa sederhananya hidup kucing itu, pikir Dee. Dia teringat pada pemikiran seorang filsuf bahwa bagi seekor hewan, beda saat kanak- kanak dan dewasa terutama hanya menyangkut makanannya saja. Yang diluar itu, misalnya tabiat, perilaku dan lain sebagainya telah ditentukan oleh alam.

Tak seperti manusia, hewan tidak bersikap kritis terhadap diri sendiri dan sekitarnya untuk dapat menentukan perluatannya dengan mengambil keputusan yang merdeka. Berbeda dengan manusia yang proses kedewasaannya akan menuju pada tujuan untuk menjadi seseorang yang berdiri sendiri dan merdeka.

Di kemudian hari memang seberapa berdiri sendirinya seorang manusia memang akan pula tergantung pada apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Pengaruh lingkungan ini kadangkala bersifat positif serta menguntungkan dalam proses pembentukan manusia yang mandiri dan merdeka, acapkali pula sebenarnya merupakan perintang dalam tercapainya tujuan tersebut.

Apalagi, secara naluriah manusia juga memiliki kecenderungan untuk menyerah pada sesuatu yang dangkal, pada keinginan untk membiarkan diri terseret pada arus yang lebih terfokus pada kulit luar, pada jasmani serta hawa nafsu dibanding pada isi, rohani dan hati nurani.

Dan Dee teringat pada percakapannya dengan seorang kawan belum lama ini…

***



“ Menyelam dan membiarkan diri tenggelam dalam arus kesadaran yang tak putus- putus. Begitu caranya, Dee, “ kata sang kawan.

Dee terbahak.

“ Cobalah mengatakannya dalam bahasa yang lebih sederhana, “ komentar Dee.

“ Ikut arus, tapi bukan hanyut. Kalau menurut istilah orang Jawa sih, tapa ngeli… “ jawab kawannya.

Hmmm.

Ikut arus, tapi bukan hanyut?

Dee dan seorang kawan lama, kawan dari masa kecilnya dulu, saat itu sedang mempercakapkan betapa riuh rendahnya situasi di luar sana. Begitu banyak orang yang seperti kehilangan akal membabi buta melakukan hal- hal yang ‘aneh- aneh’, kelicikan, kecurangan, mengatakan hal- hal yang bahkan oleh logika paling sederhanapun tak dapat diterima dan tanpa malu- malu merevisi ucapannya tapi tidak tindakannya. Orang- orang yang tanpa ragu memamerkan hal- hal yang seharusnya tak dipamerkan di muka umum, melakukan hubungan- hubungan yang seharusnya dihindari…

Dan begitulah cara sang kawan mengomentari tentang bagaimana cara seseorang harus bersikap diantara beragam ‘kegilaan’ yang terjadi di sekitar.

“ Tapi, bagaimana caranya mengikuti arus tanpa ikut hanyut itu? “ tanya Dee.

Kawannya hanya tertawa saja. “ Kamu sebenarnya sudah tahu jawabnya, Dee, “ katanya. Lalu bagaimanapun Dee mendesaknya, dia tak lagi mau mengatakan apa- apa dan memilih untuk menggelitik dan bergurau dengan si kembar Nareswara dan Nareswari.

Menyebalkan, gerutu Dee dalam hati. Kawan yang satu ini memang selalu begitu. Mereka dulu bertetangga dimasa kecil, dan karena usianya yang beberapa tahun lebih tua dari Dee, kawan ini seringkali mengajarkan beragam hal tentang kehidupan pada Dee. Tapi, begitulah selalu caranya. Dia hanya mengatakan sedikit saja lalu membiarkan Dee berpikir dan menguraikan sendiri apa yang dikatakannya.

Entahlah apakah pengertian Dee benar atau tidak dalam hal ini, tapi dari apa yang dapat dia serap dari perkataan kawannya itu tapa ngeli adalah mengikuti aliran arus kehidupan yang telah ditetapkan oleh Yang Kuasa, mengikuti lekuk liku dan kelok sungai yang pada akhirnya akan mengarahkan manusia pada kebijaksanaan.

Dan pada akhirnya Dee menyimpulkan bahwa mengikuti arus tanpa menjadi hanyut hanya akan dapat terjadi jika seseorang berpijak dengan kuat ke dasar.

Dasar hati, bukan dasar sungai.

Sebab manusia pada dasarnya memang merdeka. Dan kemerdekaannya ini dapat digunakannya untuk membuat dirinya berdaulat, melakukan hal- hal yang akan meninggikan derajatnya, atau sebaliknya dapat juga digunakan untuk menjerumuskan dirinya pada keterpurukan, pada kehilangan kedaulatan pada diri sendiri -- sebab diperbudak oleh materi, sebab memilih untuk bergabung dengan kelompok yang berkuasa demi kepentingan tertentu walau dia sebenarnya tahu bahwa apa yang dilakukan kelompok tersebut sebenarnya menjajah hak orang lain di sekitarnya dan dalam jangka panjang tak akan membawa pada kebaikan, dan lain sebagainya...

***



Ah, pikir Dee, sebenarnya jika saja setiap manusia sebagai individu memiliki kesadaran untuk membangun dirinya sendiri untuk terus menerus mencapai keluhuran dan kehalusan budi, sebenarnya situasi masyarakat yang sakit akan dapat dihindari. Sebab masyarakat kan merupakan kumpulan dari individu- individu. Jika semua individu tersebut berbudi baik, tentu masyarakat yang baiklah yang akan terbentuk.

Sayangnya di banyak tempat situasi sekarang menjadi terbalik. Saat menghadapi situasi atau pendapat yang berbeda atau berlawanan, manusia seringkali hanya memperhatikan kuantitas dan melupakan kualitas. Menganggap yang banyak selalu lebih baik daripada satu. Bahwa pendapat kelompok lebih baik dari individu.

Betapapun menyimpangnya pendapat atau tindakan tersebut dari kebenaran, betapapun kotor dan curangnya suatu kondisi yang terjadi, jika itu dilakukan oleh sebuah kelompok yang lebih besar, maka pada banyak kesempatan manusia yang menentangnya yang akan dianggap salah.

Menjadi diri sendiri, berdiri tegak memiliki pendapat yang berbeda dengan suatu kelompok, menjadi waras diantara begitu banyak kegilaan, memang tak pernah mudah.

Hanya manusia- manusia kuat yang semata tujuan hidupnya adalah demi kebaikan dan melepaskan diri dari ketergantungan pada jabatan, materi, kepopuleran dan hal- hal lain yang semacamnya yang akan dapat melakukan hal semacam itu.

Dan setiap manusia diberi kemerdekaan untuk memilih apakah dia akan menjadi manusia yang berdaulat atas dirinya sendiri atau menjadi seseorang yang selalu hanyut dan terombang- ambing oleh situasi dan lingkungan sekitarnya…

p.s. i love you

picture: fallen leaves by patrick zephyr

8 comments:

haryoshi said...

nice post....

visit me ok...

rice2gold said...

itulah yang terjadi dinegeri ini pada umumnya, terbuai akan tampilan luar, terlena oleh bujuk rayu dan impian dan harapan kosong, terhanyut dalam "hegemoni" kebesaran yang kosong dan meninggalkan "keterasingan" yang sesungguhnya sarat akan nilai-nilai kebenaran hanya karena itu membutuhkan kejujuran, kerja keras, tanggung-jawab dan hal-hal yang tidak instant.

Mungkin negeri ini masih butuh "bergunung-gunung" kebobrokan yang tertampakkan agar mata dan hati kita lebih terbuka, tapi mungkin itu semua disadari setelah masuk jurang kehancuran, saat semuanya telah terlambat.

*mampir disiang hari :) sok mikir aja *

cucu said...

nice post,,,

Membangun Peradaban Indonesia dengan Internet Sehat

hes said...

.. 'ikuti arus tapi tidak hanyut' aah, itu sebuah prinsip yang indah dan tepat guna mba dee. tulisan yang bagus. as always ;) thx

hahaha.. seorang kawan mengajarkan prinsip ini padaku, hes.

aku cuma nambah2in doang biar postingnya jadi panjang.. mengarang bebas, as usual, he he he... :mrgreen:

tapi selalu senang dapat apresiasi semacam ini. makasih banyak yaaa... d.~

meiy said...

hihi paragraf kedua kok nama si kembar prameswara/prameswari?

aku ingat seseorang pernah mengatakan padaku,baginya hidup adalah mengalir,mengikuti alirannya walau ke jurang sekalipun, asal di hati dia senang melakukannya.

lalu aku jawab, aku juga mengalir, tapi bagiku mengalir, andai amsal sungai, adalah ibarat rafting di arus liar, naik perahu, tp sepenuhnya kita kendalikan, mengikuti irama, arus, agar perahu tak terbalik, atau terhempas ke cadas.

hahaha.. thanks koreksinya.. rada ngelamun rupanya pas nulis nama :P
btw, aku suka sekali paragraf terakhir komentar ini.. kadangkala kita memang ngga bisa memilih apa yg kita hadapi dalam hidup, apa yg akan kita temukan, tapi kita memang bisa mengendalikan 'perahu' itu.


aku pernah baca wise word yang mengatakan bahwa kualitas manusia bukan semata ditentukan pada apa yang pernah dialaminya dalam hidup, tapi apa yang dia lakukan saat menghadapi hal- hal tersebut. 'apa yang dilakukan' saat menghadapi situasi tertentu itu yang membedakan kualitas manusia yang satu dengan yang lain... d.~

Ve said...

Kualitas tidak dibangun dalam kejapan mata... Butuh kesabaran dan kekuatan untuk tetap bertahan dengan kualitas yang baik dalam situasi yang tidak baik

sepakat, neng... dan lebih baik lagi jika ada kawan sepaham yang bisa saling mensupport dengan tujuan kebaikan ya? ( maksudnya bukan semata setia kawan membabi buta sehingga asal kawan maka benar atau salah tidak lagi dipermasalahkan dan disupport.. he he.. ini mah kusut namanya )

btw.. good luck ya... you know i always proud of you. all the best... -- i am happy for you eventhough on the other hand will miss you very much... :-) d.~

FM said...

Mba D / Mas Kuti.. sama ga ya maknanya dengan begini: Ibarat dokter spesialis kejiwaan di RS Jiwa. dokter tsb terkadang harus berperilaku gila untuk bisa masuk dunia pasien tapi dokter tsb tidak gila.. Hampir sama dengan "mengikuti arus tanpa menjadi hanyut"???

rumahkayu said...

he he.. kalo istilah jawa-nya adalah 'ngedan tapi ora edan'... berpura- pura gila tapi sebenarnya tidak gila... tapiiii... apa iya sih untuk mengobati kegilaan orang harus berpura- pura gila? ngga bisa tetap waras dan tampil waras? d.~

Post a Comment