Matematika, Fisika dan Trauma itu...

Ujian dan main sepeda.

ADA yang tahu hubungan antara ujian akhir SMP dengan main sepeda?

Dilarang main sepeda oleh orang tua menjelang dan selama ujian agar bisa fokus belajar?

Mmm, memang pada umumnya yang terjadi seperti itu. Tapi ada juga kejadian yang tidak umum, dimana seorang anak lelaki yang hendak menghadapi ujian SMP didorong oleh orang tuanya untuk bermain sepeda saja dan tak perlu belajar untuk menghadapi ujian.

books



Anak lelaki itu adalah adikku. Dan orang tua yang diceritakan ini, adalah ayah dan ibuku.

***



Aku masih dapat mengingat dengan jelas hari itu. Suatu malam ketika tak ada hujan tak ada angin, adikku yang saat itu duduk di kelas 3 SMP menghampiri kedua orang tuaku dan tak mengatakan kata- kata apapun yang lain selain meminta maaf kepada kedua orang tuaku, yang tentu saja tak mengerti dan menjadi bingung karenanya.

Tak ada kalimat lain yang dikeluarkan oleh adikku selain permintaan maaf tersebut. Tak ada informasi dapat digali. Orang tuaku yang makin bingung kemudian meminta aku untuk bicara dengan adikku.

Aku tak ingat lagi detailnya, tapi setelah sekian lama bicara tertangkap sedikit cerita bahwa adikku meminta maaf sebab dia... ingin berhenti sekolah saja. Rupanya hari itu dia dimarahi oleh gurunya di sekolah yang lalu membuatnya menggambil keputusan untuk tak usah lagi melanjutkan sekolah.

Hampir tengah malam ketika informasi yang sangat sedikit itu diperoleh. Tapi hal tersebut melegakan hati. Paling sedikit, sumber masalahnya sudah diketemukan.

Karena tak ada lagi informasi yang dapat diperoleh dari adikku yang kemudian mogok, tak mau berangkat ke sekolah keesokan harinya, maka orang tuaku menghubungi pihak sekolah.

Pendek kata, akhirnya informasi yang cukup lengkap diperoleh.

Rupanya yang terjadi adalah bahwa adikku pada hari itu datang ke sekolah dengan PR matematika yang hanya separuh selesai. Dan guru matematika marah padanya. Adikku yang panik sebab dimarahi guru matematika kemudian berusaha mengerjakan PR matematika yang belum selesai itu di jam pelajaran berikutnya, yaitu pelajaran Fisika.

Lalu, bahwa dia mengerjakan matematika di jam pelajaran Fisika membuat guru fisikanya gusar. Dan untuk kedua kalinya hari itu, adikku dimarahi oleh guru di sekolah sebab guru Fisika juga marah padanya.

Kemudian, sebagai hukuman sebab adikku yang dianggap oleh guru Fisika tersebut telah mengabaikan pelajarannya diminta maju ke depan kelas untuk mengerjakan sebuah soal di papan tulis untuk menguji apakah adikku 'yang sudah merasa pintar sehingga merasa tak perlu memperhatikan pelajaran' itu dapat mengerjakan soal tersebut dengan baik.

Begitulah.

Adikku maju ke depan kelas, mengerjakan soal di papan tulis tersebut, dan… dimarahi lagi habis- habisan oleh guru Fisikanya tersebut.

Kenapa? Apakah karena dia tidak bisa mengerjakan soal itu? Atau jawabannya salah?

Tidak. Bukan begitu.

Adikku bisa mengerjakan soal itu. Dan hasil akhir perhitungannya juga benar.

Hanya saja, dia menggunakan cara perhitungan yang tidak sama dengan yang diajarkan di sekolah. Yang dia gunakan adalah cara menghitung yang dipelajarinya dari sebuah buku yang dibelikan ayahku untuknya. Buku yang berbeda dengan yang sehari- hari digunakan di sekolah sebagai buku panduan Fisika.

Orang tuaku dengan segera mengerti apa masalahnya.

Mereka, tentu saja, tidak marah atau kecewa. Keputusan dengan cepat diambil. Saat itu juga ayahku meminta pada pihak sekolah untuk sementara mengijinkan adikku tidak mengerjakan PR atau mengerjakan PRnya hanya sebagian.

“ Saya yang bertanggung jawab, “ begitu ayahku mengatakan pada pihak sekolah atas permintaannya tersebut.

Pasal pekerjaan rumah, memang sudah beberapa waktu belakangan ketika itu menjadi perhatian ayahku. Saat adikku duduk di SMP itu, jumlah PR yang diberikan menurut pendapat ayahku sudah diluar batas kewajaran. Kadangkala jumlahnya puluhan, atau bahkan pernah lebih dari seratus soal yang harus dikerjakan. Dan itu baru satu mata pelajaran saja. Padahal bukan sekali dua kali dalam sehari ada beberapa pelajaran yang memberikan jumlah PR seperti itu. Membuat beban yang harus dilakukan murid setiap harinya menjadi sangat banyak.

Mengingat jumlahnya yang tak masuk akal itu, orang tuaku sendiri sebetulnya sudah seringkali menyarankan pada adikku untuk mengerjakan PR semampunya saja, dan jika memang sudah mengantuk, tidur saja. Tapi selama itu adikku memang selalu bersikeras untuk menyelesaikan semua PR yang diberikan tersebut.

Kecuali hari itu. Mungkin dia sedang lelah, dia hanya mampu mengerjakan sebagian dari PR matematika yang diberikan. Dan terjadilah semuanya…

***



Setelah langkah pertama dilakukan, yaitu meminta pihak sekolah untuk sementara membebaskan adikku dari kewajiban mengerjakan PR, langkah berikutnya, yang lebih sulit, harus dilakukan.

Adikku tetap menolak untuk berangkat ke sekolah. Hal yang terjadi di sekolah hari itu rupanya mencederai hatinya cukup dalam. Dia terutama mempertanyakan mengapa dia dimarahi (lagi) di pelajaran fisika ketika dia bisa mengerjakan soal yang diberikan semata karena dia mengerjakannya dengan cara yang tak sama dengan yang diajarkan gurunya.

Dan pada dasarnya orang tuaku menyepakati pendapat adikku. Apa yang salah dengan mengerjakan soal fisika dengan cara lain yang berbeda, sepanjang hasil akhirnya sama?

Bukan hanya pada adik bungsuku ini saja orang tuaku memberikan buku- buku alternatif atau mengajarkan cara penyelesaian soal yang mungkin berbeda dengan apa yang diajarkan di sekolah. Aku sendiri masih ingat bahwa dulu aku sering sekali diajari oleh ayahku beragam logika dan cara menyelesaikan soal- soal dengan cara yang menurutku memang lebih mudah dan cepat dari apa yang diajarkan di sekolah.

Dan cara yang diajarkan ayahku itulah yang biasanya kugunakan saat mengerjakan soal- soal, baik di kelas, PR maupun saat ulangan.

Aku beruntung sebab hampir tak menemukan masalah ketika mengerjakan soal dengan cara yang berbeda itu. Tapi adikku rupanya tak seberuntung aku.

Dan begitulah. Dia trauma.

Kejadian yang terjadi sesaat saja itu ternyata akibatnya tidak sederhana. Melihat trauma yang dialaminya cukup serius, orang tuaku memutuskan untuk meminta bantuan seorang ahli. Mereka membawa adikku untuk datang berkonsultasi pada seorang psikolog.

Aku ingat bahwa kunjungan ke psikolog itu dilakukan seminggu sekali, selama… enam bulan.

Benar, enam bulanlah waktu yang dibutuhkan untuk membuat adikku dapat mengatasi situasi yang dihadapinya tersebut, ketika dia kecewa terhadap ketidak adilan yang dihadapinya sebab dimarahi untuk sesuatu yang sebenarnya menurutnya sendiri tidak salah...

***



Eh, tadi aku mengatakan sesuatu tentang naik sepeda ya? Apa hubungannya naik sepeda dengan semua ini?

Tentang naik sepeda, aku sambung di posting yang berikutnya saja ya? Sebab tulisan ini sudah panjang, jadi aku berhenti di sini dulu sementara...

p.s. i love you

picture taken from: transitionculture.org/

5 comments:

yoszuaccalytt said...

Sistem pendidikan di Indonesia harusnya berubah..sebagian besar guru mengajar terlalu text book..padahal hakekat ilmu pengetahuan itu bagaimana mendapatkan sesuatu yang baru...

ikke wijaya said...

hiks...jadi inget kasus yg sama jaman sekolah dulu...T_T

hes said...

.. menjadi orangtua yg baik perlu pemahaman 100%, menjadi orangtua yg bijak perlu pemahaman 1000% ;)

boyhidayat said...

sistem pendidikan Indonesia yang sangat aneh, guru pintu kebenaran semuanya padahal engga, mama ku jug aguru, tapi engga gitu2 amat

daniel said...

saya happy happy tuh waktu pelajaran fisika dan matematika.

Post a Comment