Anak- anak Unik, Guru dan Keadilan

Tentang the gifted children dan keadilan.

KEADILAN, bagi anak- anak yang tergolong 'gifted' merupakan sesuatu yang sangat penting. Dan sebab pada dasarnya anak- anak ini sensitif, maka mereka juga sangat sensitif terhadap ketidak adilan atau kesewenang- wenangan yang terjadi. Reaksinya terhadap hal semacam ini bisa jadi merupakan hal serius yang membutuhkan proses cukup panjang untuk dapat diatasi.

Aku duga, tercederainya rasa keadilan inilah yang menjadi masalah utama bagi adikku ketika dia mogok sekolah di masa SMP-nya dulu.... 

keadilan


***



Satu hal sangat unik tentang adikku yang kuingat adalah apa yang terjadi saat dia duduk di kelas 3 SD. Ketika itu, dia mulai merepotkan gurunya dengan tingkah laku dan pertanyaan- pertanyaan yang ‘gampang- gampang susah’. Salah satu diantaranya adalah bahwa saat menjumlah, adikku tidak menjumlah dari angka satuan seperti yang biasa diajarkan tapi jika yang dijumlahkan adalah ribuan, misalnya, dia akan menghitung dari depan, menjumlah ribuan, ratusan, puluhan baru satuan.

Ketika guru kelas 3 SD-nya mendapati bahwa begitulah cara adikku menjumlah, gurunya itu mengajari adikku bahwa seharusnya yang dilakukan adalah menjumlahkan satuan dulu, baru puluhan, ratusan dan ribuan. Bukan sebaliknya.

Yang menjadi masalah adalah bahwa walau urutan menjumlahnya terbalik, hasil perhitungan adikku selalu benar. Dan ibu guru di kelas 3 SD ini tak bisa menjawab pertanyaan adikku yang mempertanyakan apa bedanya dijumlahkan mulai dari satuan atau dijumlah dari ribuan, sebab toh hasil perhitungannya sama.

Untungnya, ibu guru ini walau tak bisa menjawab, tak berhenti begitu saja, tak pula mengabaikan pertanyaan adikku. Dia mengatakan pada adikku bahwa nanti pada jam istirahat ibu guru akan mengajak adikku bertemu guru kelas 5 yang mungkin bisa menjelaskan pada dia alasannya.

Dan begitulah yang terjadi. Sepanjang yang bisa kuingat, setelah kejadian itu hampir setiap hari adikku itu pada jam istirahat atau pulang sekolah harus dipertemukan dengan Bapak guru kelas 5 yang memang sangat cerdas dan bijaksana itu, sebab setiap hari ada saja pertanyaan ‘aneh- aneh’ yang diajukannya pada ibu guru kelas 3 yang membuat ibu gurunya ‘menyerah’.

Kudengar kemudian bahwa ibu guru ini, saat adikku kemudian naik ke kelas 4 merasa lega sekali sebab dia terbebas dari pertanyaan- pertanyaan rumit adikku. He he he.

Sekarang saat aku sudah dewasa, sungguh kuhargai sikap ibu guru kelas 3 SD itu. Sebab ketika adikku mengajukan pertanyaan- pertanyaannya yang ‘ajaib’ ibu guru itu walau tak dapat menjawab tidak mematahkan hasrat ingin tahu adikku dan membawanya pada guru lain yang dapat memenuhi keingintahuan adikku itu.

Juga ketika adikku kemudian naik ke kelas 4, ibu guru kelas 3 ini secara spesifik menyampaikan pada guru kelas 4 tentang adikku dan pertanyaan- pertanyaan rumitnya disertai pesan jika itu terjadi lagi di kelas 4 lalu guru kelas 4 itu kesulitan menjawab, bawa saja adikku bertemu pak guru wali kelas 5 agar pak guru wali kelas 5 itu dapat membantu menjawabnya.

Karena guru- guru yang bijaksana inilah maka adikku dapat melalui masa Sekolah Dasarnya tanpa gonjang- ganjing yang berarti. Seingatku, tak pula banyak kesulitan dihadapi saat kelas 1 dan 2 SMP. Insiden serius justru terjadi di saat- saat kritis ketika dia hendak menghadapi ujian SMP-nya.

thank-u-teacher


***



Aku tak pernah turut serta saat orang tuaku membawa adikku berkonsultasi kepada psikolog dulu itu sehingga tak kuketahui pasti apa yang dibicarakan. Tapi sekarang, kurasa yang terjadi adalah bahwa aksi mogok adikku sebenarnya adalah cara memprotes ketidak adilan yang dihadapinya. Ketika dia yang merasa benar dipersalahkan semata karena dia menggunakan cara yang berbeda untuk menyelesaikan soal fisika.

Anak- anak unik, the gifted children,  justru gemar mencari cara- cara alternatif untuk memperoleh sebuah solusi. Dan apa yang terjadi pada adikku saat dia duduk di kelas 3 SMP itu justru membatasi digunakannya cara alternatif yang berbeda ini, ditambah dengan ketidakadilan sebab memarahinya dan mempersalahkan sesuatu yang tidak salah.

Lalu, apakah setelah insiden ini adikku dapat dibujuk untuk masuk sekolah kembali?

Ya.

Beberapa hari setelah insiden tersebut, adikku masuk sekolah kembali. Dan seperti permintaan ayahku, pihak sekolah memberikan dispensasi pada adikku untuk mengerjakan PR sejumlah yang dia bisa kerjakan saja, juga mengijinkannya menggunakan cara- cara alternatif saat menyelesaikan soal- soal di sekolah, dan…

Adikku lulus ujian SMP dengan nilai baik.

Kiat utamanya, selain hal- hal yang telah disebutkan di atas itu adalah membebaskannya dari trauma dengan justru tak memintanya untuk belajar ketika menghadapi ujian dan sebaliknya membiarkan dia melakukan hal yang sangt disukainya, yaitu bermain sepeda.

Di saat kawan- kawannya yang lain berkutat dengan buku untuk mempersiapkan ujian akhir SMP, adikku menghabiskan waktunya untuk berkeliling di area sekitar rumah kami dengan atas sepedanya.

Dengan cara itulah justru dia dapat menghadapi ujiannya dengan mulus.

Konsultasi dengan psikolog berjalan selama 6 bulan. Dan syukurlah bahwa sesi terapi itu rupanya berjalan dengan baik. Setelah insiden yang terjadi di akhir masa SMP-nya tersebut, sepanjang ingatanku tak pernah lagi ada insiden apapun yang terjadi di masa sekolah adikku.

Masa SMA dilaluinya dengan nyaman. Juga saat mahasiswanya, tampaknya dilewatkan dengan gembira.

Adikku ini di kemudian hari menjadi seorang arsitek. Dia menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat pasca sarjana dan memperoleh gelar Master di bidang arsitektur dari Perguruan Tinggi terbaik di negeri ini.

Cerita memang berakhir dengan ‘happy ending’. Dan tidak bisa tidak, kurasa dalam hal ini penghargaan besar juga harus diberikan pada ayah dan ibuku.

Yang tetap tenang saat menghadapi situasi semacam itu.

Yang berani mengambil keputusan sangat tak biasa dengan justru membebaskan adikku dari tuntutan belajar dan mendorongnya untuk bersenang- senang bermain sepeda saja ketika dia akan menghadapi ujian.

Yang, tentu saja, aku yakin, bahkan jauh sebelum insiden saat SMP itu terjadi, sudah banyak menyelesaikan sendiri ‘masalah- masalah’ yang harus dihadapi sebagai orang tua sehubungan dengan perkembangan anak- anaknya.

Jika sekarang aku menghadapi tingkah ‘ajaib’ anak- anakku, serta mendengar cerita adikku yang kuceritakan disini tentang anak perempuan sulungnya yang sungguh 'merepotkan' sebab energinya seakan tak ada habisnya serta senantiasa membutuhkan tantangan ekstra, dalam hati aku tersenyum sendiri, sebab bisa kubayangkan bahwa di masa silam hal serupa terjadi di rumah orang tuaku.

Tentu tak terbilang kehebohan serta keriuhan yang terjadi di rumah saat mereka menghadapi tingkah kami, aku dan adik- adik dulu itu. Sungguh, kata- kata tak akan dapat mengungkapkan dengan tepat betapa dalam rasa terimakasihku pada mereka berdua atas segala yang telah dilakukan bagi kami anak- anaknya...

p.s. i love you...

picture taken from: s89768772.onlinehome.us & plasticardplus.com

0 comments:

Post a Comment