The Gifted Children

Masih tentang cita- cita…

AKU tercengang. Suatu hari, seorang kawanku yang berprofesi sebagai guru menceritakan bahwa salah seorang muridnya yang sangat cerdas tidak diterima di SMA Negeri favorit di kota tempat tinggalnya sebab ‘salah menjawab’ saat sesi wawancara yang merupakan bagian dari rangkaian test masuk SMA tersebut.

Kasihan anak itu.

Sebab, menurut aku tak ada yang salah dengan jawabannya.

Jadi, saat diinterview, pertanyaan yang diajukan pada anak lelaki cerdas yang baru lulus SMP tersebut adalah apa cita- citanya kelak. Pertanyaan itu dijawabnya dengan, “ Jadi Presiden Amerika. “

Lalu jatuhlah vonis. Anak itu tak diterima. Mungkin alasannya karena tidak nasionalis? Aku tak tahu persis. Tapi jawaban itu dianggap salah dan not acceptable.

Aku tercengang. Dan prihatin.

Memangnya apa yang salah jika anak tersebut mengatakan bahwa cita- citanya menjadi Presiden Amerika?

Tanyakan apa alasan di balik jawaban tersebut. Dan aku yakin alasannya akan merupakan rangkaian cerita berisi harapan, mimpi- mimpi serta keinginan anak tersebut untuk menggapai bintang.

Dan hal tersebut bahkan sudah diruntuhkan saat dia baru hendak masuk SMA.

Memprihatinkan.

Bukan sekali dua kali kudengar cerita tentang anak- anak sangat cerdas dan berbakat yang tersisihkan...

happy-children




***



Suatu hari saat mengantarkan anakku ke sanggar lukis, ada sebuah lukisan yang belum kering terpajang di studio lukis tersebut.

Tak perlu menjadi psikolog atau ahli lukisan untuk dapat membaca apa emosi di balik lukisan tersebut. Sangat tampak bahwa ada seseorang yang tertekan, marah, dan memprotes suatu sistem yang tak kuasa dilawannya.

Kutanyakan, milik siapa lukisan tersebut, dan jawaban yang kuterima adalah bahwa lukisan itu dibuat oleh seorang murid kelas 1 SMP. Anak sangat cerdas yang ‘nyeleneh’ dan terkucilkan di sekolah sebab dia dianggap gila.

Kawan- kawan mengolok- oloknya, bahkan kadangkala melemparinya dengan batu. Guru- guru tak pula membantu. Mereka sepakat bahwa anak tersebut memang 'gila'.

Orang tua sang anaklah yang kemudian demi kesehatan jiwa anaknya mengajak dia ke sanggar lukis dan membiarkannya melepaskan seluruh emosinya di atas kanvas.

Prihatin. Prihatin.

Aku mengerti dengan baik perasaan anak tersebut, juga orang tuanya,sebab...

***



“ Aduh, enak ya, anaknya pintar- pintar. ..“

Komentar semacam itu bukan sekali dua kali dilontarkan orang kepadaku. Dan aku biasanya hanya tertawa saja menanggapinya.

Ada banyak hal yang aku tak merasa terlalu ingin menerangkan pada orang lain. Atau memilih untuk tidak menerangkan karena tak yakin akan dipahami atau ditanggapi dengan baik. Dalam situasi seperti itu, aku memilih untuk hanya merespons komentar orang lain dengan tawa saja.

Enak punya anak pintar- pintar?

Ya. Menyenangkan memang.

Tapi kebanyakan orang sering salah duga. Komentar tentang ‘anaknya pintar- pintar’ itu biasanya tidak berdiri sendiri. Pada kebanyakan waktu, ada kalimat lanjutannya, yaitu dugaan bahwa dengan anak yang pintar- pintar itu, maka hidup akan menjadi mudah bagi orang tuanya sebab tanpa perlu terlalu banyak usaha, prestasi anak- anak ini akan sangat cemerlang di sekolah.

Nah… bagian yang ini yang perlu dikoreksi.

Punya anak- anak pintar sama sekali tak mudah. Paling sedikit, itulah yang aku dan suamiku alami.

Makin pintar mereka, dan makin tinggi tingkat intelegensi mereka, makin ‘sulit’ anak- anak ini.

Dan dikaruniai beberapa orang anak yang masuk kedalam kategori ‘gifted children’ membuatku sungguh berempati pada anak- anak sangat cerdas dan berbakat yang ditanggapi salah oleh sekitarnya itu.

Sangat menyedihkan.

Dapat kubayangkan betapa hati para makhluk belia itu terluka sebab tak dipahami, dan merasa disisihkan. Padahal, pada kebanyakan kasus, anak- anak ini justru membutuhkan dukungan yang sangat kuat yang pada saatnya nanti dapat membuat mereka berpikir “ They are OK, I am OK “.

Untuk membuat anak- anak ini paham bahwa walaupun dirinya sangat unik dan mungkin berpikir dan bertindak dengan cara yang berbeda dengan kawan- kawannya yang lain, tak ada yang salah dengan dirinya.

Langkah awal yang perlu dilakukan saat menghadapi anak- anak semacam ini adalah membantu mereka untuk merasa nyaman dengan dirinya sendiri, menyadari keunikannya dan membantunya menyesuaikan diri dengan lingkungan ( yang mungkin membingungkan mereka ). Dan kunci utama untuk membuat mereka dapat merasa nyaman dengan dirinya sendiri adalah membuat mereka merasa diterima seutuhnya.

Keluarga memang memegang peranan penting dalam hal ini. Rasa aman pertama yang akan sangat berpengaruh besar pada perkembangan dirinya adalah jika dia dibesarkan dalam keluarga yang sehat.

Tapi terlindungi dengan aman diantara keluarga dan rumah yang hangat mungkin hanya akan terjadi di tahun- tahun awal kehidupannya. Begitu dia masuk sekolah… nah… disinilah kemungkinan beragam gejolak akan dimulai.

Aku selalu sedih melihat betapa anak- anak sangat cerdas dan berbakat ini pada banyak kesempatan lalu dicap sebagai ‘anak nakal’, ‘pengacau’, ‘aneh’ dan lain sebagainya.

Lihatlah kedalam mata mereka, dan dalam bening mata anak- anak itu akan sangat tampak kebingungan dan kesedihan hati mereka sebab diperlakukan semacam itu.

Tapi memang, situasinya tidak mudah. Aku tahu bahwa di negara- negara maju ada sekolah- sekolah yang sistemnya memang dibuat khusus untuk anak- anak seperti ini.

Tapi tak mudah menemukan sekolah semacam itu disini.

Jadi… anak- anak itu akan mau tak mau dihadapkan pada kondisi dimana dia harus bersekolah di sekolah dengan kurikulum dan sistem ‘normal’, diantara anak- anak yang ’normal’ dan mungkin bertahun- tahun merasakan galau di hati sebab sistem di sekolah itu tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkannya…

Dan aku paham… sangat paham tentang hal tersebut.

Itu sebabnya aku dan suamiku selalu menyambut dengan tawa ringan apapun komentar anak- anak tentang “ sekolah yang nggak ada asyik- asyiknya” itu.

Sebab kami menyadari, saat sistem yang mapan belum tersedia bagi anak- anak semacam anak- anak kami itu, maka yang dapat kami upayakan hanya bahwa kami sendiri menjadi orang tua yang kuat, yang sedikit demi sedikit dapat menjadi jembatan antara anak- anak unik ini dengan lingkungan, dengan sekolah, dengan beragam hal lain yang mungkin bagi orang lain ‘biasa’ tapi bagi anak- anak unik ini menimbulkan berjuta pertanyaan dan mungkin ketidak nyamanan. Untuk itulah kami harus dapat menghadapi situasi ini dengan santai.

Memang tidak pernah mudah menjadi orang tua, ya?

Dan itulah sebabnya, sampai hari ini komentar “enak ya, anaknya pintar- pintar” itu selalu hanya kujawab dengan tawa saja. Sebab aku segan menerangkan bahwa karena anak kami pintar- pintar itu maka tak terhitung jumlahnya kami harus berurusan dengan psikolog, tak terbilang pula saat- saat kami harus membujuk seorang anak untuk sekedar berangkat ke sekolah yang “sama sekali tidak menyenangkan” itu… he he he...

( Wah, ceritanya sudah panjang ya? Nanti saja ya, kapan- kapan kusambung lagi kisahnya. Omong- omong, apakah ada diantara teman- teman yang memiliki pengalaman serupa yang ingin berbagi cerita? )

p.s. i love you…

picture taken from: www.zazzle.com

7 comments:

matanaga said...

lebih baik mengimbangi anak-anak dengan sabar dan tenang
walau kadang suka naik pitam juga
kalo saya hanya memantau peningkatan etikanya
jika di luar batas maka hanya memberikan krama yg membangun
kalo pemikirannya sudah gepas.. kenapa harus memaksakan dan kita hanya bersyukur sudah di berikan 'junior kita'
salam malam :)

setuju.. setuju.. yang paling penting memang pendidikan dasar, etika dan budi pekerti. sepanjang yang dasar- dasar ini beres, pendidikan mengenai hal- hal yang lebih teknis akan mudah dan berjalan dengan sendirinya. yg utama memang membuat fondasi yang kokoh dulu. kalau fondasinya rapuh, goyang- goyang dan keropos mentalnya nanti... salam pagi :D d.~

rice2gold said...

anak "ajaib" dan ibu (orangtua) "ajaib" yang diperlakukan "ajaib" pula oleh lingkungan, tentunya lebih membutuhkan energi yang lebih banyak dalam mensikapi "keajaiban" yang dimiliki, termasuk suara kanan-kiri.
Saya pribadi suka dengan "keberanian" postingan ini, semoga masih berlanjut dengan keberanian-keberanian dipostingan yang lain.

*sebenarnya masih senang dirasakan saja dalam hati dan fikiran, daripada dikomentarin*

ha ha.. apaan sih, gaya ah, mikir melulu! :P

hmmm.. jadi mikir, kalo yg kayak gini ini, yang ajaib sebetulnya siapa ya? the gifted people itu, atau lingkungan yg melakukan bullying terhadap mereka? karena sebetulnya bullying itu nggak boleh dilakukan pada siapapun kan?

orang2 yang sehat mentalnya, gifted maupun tidak, juga tak akan melakukan bullying pada orang lain -- emang apa hak mereka melakukan bullying dan melecehkan orang lain? *keheranan-yang-masih-saja-tak-terjawab-sampai-sekarang* ;-) d.~

Tyo said...

hmmm....dilahirkan sbg individu yg berada di luar kurva normal, dg bentuk deviasi apapun mmg harus berhadapan dg konsekuensi Judgement dr masyarakat yg tumbuh bersama stigma-stigma di kepala mereka.

berarti sejak dini anak-anak mmg perlu sering-sering diajak diskusi mengenai kelebihan-kelebihan mereka dan pendapat-pendapat yg mungkin muncul di masyarakat. kuncinya mmg sll membuka komunikasi sih Mbak, jd orgtua jg harus peka kalau melihat ada perubahan ekspresi sepulang sekolah atau perilaku jadi menarik diri atau yg lainnya.
intinya kalau di rumah harus menjadi tempat yang paling aman bagi anak-anak buat pulang kalau di luar penuh dengan penolakan.
di rumah harus jadi tempat anak-anak bisa mengisi kembali tanki penerimaan diri jika di luar dikuras habis-habisan. jadi konsep diri anak tetap positif.

kecerdasan kan bentuknya macem2 Mbak, dan mereka yang gifted di bentuk kecerdasan apapun biasanya memang menghadapi yang seperti ini di masyarakat--kayanya perlu ada yang bikin 'mutant' academy kaya sekolahnya Prof X-Xaviour buat para X-Men hahahah

hahaha.. mutant academy? not bad... mungkin kalau ada sekolah semacam ini anak2 gifted akan dengan riang gembira bersekolah ya? ( jadi ingat toto-chan yang sekolah di gerbong kereta api... pernah baca bukunya? lokasi ex sekolah yang ada gerbong kereta api itu, sayangnya, sekarang udah jadi lapangan parkir sebuah mall... wah, padahal kalo aja gerbong itu masih ada di situ, aku ingin sekali ngeliatnya trus foto- foto disana... -- eh lho, koq ujungnya foto2,ya ? ha ha ha... :lol: )

herry said...

ihhhh mendambakan anakku besok pinter²..
semoga aja

postinganya bagus bu
salam
http://imherry.blogdetik.com

rumahkayu said...

iya, semoga:-) d.~

biru said...

Inget dulu juga sering malas ke sekolah yang tak menyenangkan itu.... tapi rasanya bukan karena aku salah satu 'the gifted children' seperti yang digambarkan Mbak Dee...
Sepertinya semata2 karena malas.. hehhehhe

rumahkayu said...

hehehe... artinya, malas ke sekolah itu sebenarnya sangat normal, ya... semua anak juga begitu :-) thanks komennya yaaa... senang sekali lihat ada biru di sini... d.~

Post a Comment