Cita- cita Luhur Itu...

Tentang cita- cita...

BEBERAPA hari yang lalu aku menemani si kecil menonton serial Ipin dan Upin di televisi. Episode hari itu membahas tentang cita- cita. Seperti biasa, yang muncul dalam film tersebut adalah: ingin jadi guru, ingin jadi wartawan, ingin jadi pembuat roket, ingin jadi astronot…

Aku tersenyum melihat tayangan film tersebut. Teringat pada apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu.

Teleponku berdering siang itu. Dari guru TK dimana anakku bersekolah.

Saat itu menjelang akhir tahun ajaran. Untuk kenang- kenangan, para orang tua yang bergabung dalam BMOG berniat membuat rekaman yang akan diperbanyak dalam sebuah CD untuk dibagikan pada setiap anak. Dalam rekaman itu anak- anak diminta menyebutkan data pribadinya seperti nama, kelas, juga beberapa hal lain termasuk cita- cita.

Dan disinilah timbul 'masalah’ itu.

peluit



Anakku ingin menyebutkan ‘tukang parkir’ sebagai cita- citanya sementara para ibu panitia dari BMOG dan gurunya membujuk dia untuk mengatakan sesuatu yang lain yang lebih ‘normal’ dan ‘keren’.

Ha ha ha. Anakku tak terbujuk dan malah mogok tak mau bicara sebab tidak diijinkan menyebutkan cita- cita sesuai keinginannya.

Konon, di sekolah, para guru dan orang tua yang hendak merekam adegan tersebut mengatakan bahwa “ Nanti Bapak dan Ibunya malu lho… masa’ Bapak dan Ibunya pintar, anaknya ingin jadi tukang parkir. “

Komentar yang bukannya berhasil memotivasi malah membuat anakku berkata, “ Ya sudah, kalau gitu aku nggak usah direkam saja… “ Ha ha ha.

Aku mengatakan pada ibu guru yang menghubungiku agar anakku diijinkan saja menyebutkan ‘tukang parkir’ sebagai cita- citanya. Dan rekaman itu akhirnya berhasil dilakukan dengan sukses keesokan harinya setelah anakku diperbolehkan mengatakan hal tersebut.

***



Kejadian serupa pernah dialami oleh seorang ibu lain yang aku kenal.

Anaknya, juga saat duduk di TK, ditanya cita- citanya di sekolah. Dan anak lelaki ini dengan yakin menjawab “ Mau jadi buaya darat. “

Ha ha ha. Ibu gurunya tercengang. Dan cerita itu rupanya kemudian beredar diantara para orang tua. Bukan semata karena sang anak menjawab ‘jadi buaya darat’ sebagai cita- citanya tapi terlebih karena ibunya dengan santai mengomentari hal tersebut dengan “ Wah, bagus itu… “

Aku tertawa- tawa bersama ibu tersebut saat kisah tentang cita- cita ‘jadi buaya darat’ itu diceritakan ibu itu padaku. Terutama di bagian dimana setelah kejadian itu saat sang ibu datang ke sekolah anaknya, banyak orang tua lain yang dengan jelas- jelas menatapnya sambil berbisik- bisik. Ha ha ha.

Padahal, dengarlah kenapa ibu tersebut menjawab ‘bagus’ untuk cita- cita anaknya menjadi buaya darat tersebut.

Konon, di rumah, dia bertanya pada apa alasan anaknya mengatakan bahwa dia bercita- cita jadi buaya darat. Anaknya menjawab bahwa dia ingin memiliki cita- cita yang berbeda dengan anak lain di kelasnya dan menurutnya menjadi buaya darat yang disukai banyak perempuan adalah cita- cita unik sekaligus menyenangkan.

Ibunya lalu mengatakan pada sang anak bahwa biasanya orang yang bisa menjadi buaya darat itu pangkatnya tinggi, dan uangnya juga banyak. Selanjutnya, ibu tersebut mengatakan agar bisa berpangkat tinggi dan memiliki uang banyak seseorang harus jadi pintar dan sekolah tinggi. Supaya jadi pintar dan bersekolah tinggi, maka anak itu harus rajin belajar.

Jadi ibu tersebut sebetulnya menggunakan cita- cita anaknya menjadi ‘buaya darat’ itu sebagai jembatan untuk memotivasi anaknya agar rajin belajar. Kreatif, kan? He he he.

***



Menjadi pusat perhatian dan bahan pembicaraan di sekolah karena cita- cita anak yang unik bukan hanya dialami oleh ibu- ibu yang aku ceritakan di atas. Hal tersebut juga aku alami dulu.

Segera setelah acara rekaman di TK itu selesai, banyak orang tua yang saat bersua menyapaku lalu berkata, “ Eh, katanya anaknya ingin jadi tukang parkir ya? “

Ha ha ha. Tampaknya seisi sekolah tahu bahwa anakku bercita- cita menjadi tukang parkir. Pertanyaan serupa itu selalu kujawab dengan anggukan dan tawa geli walau aku tahu bahwa beberapa orang tua menanyakan hal tersebut dengan serius.

Aku sendiri tak dapat menemukan alasan mengapa hal semacam itu harus ditanggapi dengan serius.

Apa sih ajaibnya kalau anakku yang berusia lima tahun mengatakan dia ingin jadi tukang parkir? Aku sendiri sejujurnya malah menganggap hal tersebut lucu dan mungkin akan menjadi kenangan manis kelak bagi anakku kelak.

Dulu itu saat aku dan ayahnya bertanya tentang alasan kenapa anakku ingin jadi tukang parkir, dia berkata, “ Kan asyik, bisa main peluit terus, setelah itu dapat uang, lagi... “

Barangkali dalam angan anakku mendapatkan uang seusai membunyikan peluit adalah sesuatu yang sungguh akan menggandakan kesenangan bermain peluitnya itu. He he…

Aku dan ayahnya sama sekali tak pernah menganggap hal tersebut sebagai suatu pemikiran yang perlu dikuatirkan. Bagi kami wajar sekali seorang anak berusia lima tahun mengatakan sesuatu seperti itu.

Dan memang dengan berjalannya waktu, cita- cita menjadi tukang parkir tersebut terlupakan dengan sendirinya. Saat ini, sekian tahun kemudian, jika ditanya cita- citanya, anak yang sama tidak lagi menjawab ingin jadi tukang parkir.

Sekarang, inilah jawabannya, “ Nggak tau, gimana nanti aja. Aku sih cuma ingin cepat selesai sekolah. Abis itu aku kan boleh nggak ngapa- ngapain setahun. “

Hah??!!!

Pertama kali mendengar kalimat semacam itu reaksi spontanku adalah, “ Enak aja. Kalau sudah selesai sekolah ya kerja… “ dan anakku menjawab begini, “ Ibuuuu… aku kan selesai sekolahnya sudah lebih cepat satu tahun jadi artinya nanti aku punya jatah satu tahun untuk nggak ngapa- ngapain dong… “

Statement ini dengan gembira segera diamini oleh kakaknya yang perempuan.

Ya ampun!

Kedua anakku itu memang lulus SD dari kelas akselerasi. Mereka menyelesaikan SD-nya dalam waktu 5 tahun. Nah lalu menurut logika mereka, karena menyelesaikan masa sekolah lebih awal setahun, maka kelak mereka boleh tidak melakukan apapun selama setahun penuh setelah selesai sekolah. Ha ha ha.

Seperti dulu, kinipun aku serta suamiku ( mau tidak mau ) menanggapi pernyataan itu dengan tawa ringan saja.

Kami tahu bahwa statement- statement semacam itu akan terus bermunculan dari anak- anak sampai nanti, bertahun- tahun kemuka.

Jadi sudahlah, lebih baik hemat energi saja. Tak usah dipusingkan, tanggapi saja dengan tawa setiap kali mereka mengatakan sesuatu yang lucu semacam itu. He he he…

p.s. i love you

picture taken from: www.wholesalecentral.com

10 comments:

erryandriyati said...

huahaha...
pinter bangeeeeeet anaknya mba Dee...
Tapi emang sih...
Kadang aku juga gak mau nanggapin terlalu serius celotehan spontan nya Kayla...
Ntar juga lupa...

secara...
Kayla cita citanya mau jadi...
MONSTER...hihihi...

*keseringan nemenin Fathir nonton Ksatria Baja Hitam*

hahaha... bersiap siap sajalah Ry untuk menemukan beribu kelucuan semacam itu lagi :-) d.~

cyperus said...

hehehe... bisa libur setahun deh..
pasti besok juga akan berubah kembali, bisa dikata itu sebuah dorongan positif, setidaknya ada kemauan keras untuk segera meluluskan studinya.. halaaaaaaaaaaaaaah..

hahaha frans... if only you know them... hahaha, anak2ku itu ingin cepat selesai sekolah bukan karena rajin tapi karena mereka berteguh hati untuk menyatakan baha 'sekolah itu sama sekali nggak asyik' ( dan aku berteguh hati untuk pura- pura nggak tau hal tersebut, ha ha ha ha ha :P ) d.~

yoszuaccalytt said...

jadi wasit sepakbola aja nanti si kecilnya..masih banyak lowongan tuh..hehehehe #kaburrr :D

lho, kenapa kabur, mas mt? memangnya ada yg salah dengan usul jadi wasit bola? :-) d.~

meiy said...

kamu sama santainya dg aku menanggapi anak ya...jd inget naysa dulu waktu 2-3 tahun (aku lupa persisnya), dia bilang tar mau jadi kucing, ato catwomanlah. trus sekarang mau jd polisi.

Santai aja, itu mmg sikap aku dan suami dlm mendidik mrk, bahkan dulu waktu uqan gak mau masuk sd waktu usia 5.5 kami biarin aja. jadinya skul usia 6.5. anak2 hanya perlu di bimbing, mereka akan jadi dirinya sendiri. bagiku yg penting mereka berakhlak baik, dan bertaqwa insya Allah...

ada temnaku malah membiarkan saja anaknya tidak sekolah di sekolah formal. dia membawanya ke pulau terpencil tempatnya bekerja, dia dan alam gurunya. trend home schooling juga byk ya sekarang.

hahaha... waktu mengajarkan bahwa menanggapi dengan santai akan berakibat lebih baik pada kedua belah pihak... anaknya ngga tertekan, orang tuanya ngga jantungan... :D

tapi ngga selalu juga sih kita nyantai. ada banyak saat dimana kita serius banget juga.. ya liat2 situasi ajalah.

tapi aku setuju meiy, yg paling penting itu membekali basic-nya. ajarkan tentang ketekunan, disiplin, jujur, kehalusan budi, kekuatan mental, dsb plus ketakwaan dan keikhlasan pada Yang Kuasa -- jika semua itu telah tertanam pada diri anak2, 'jadi apa nanti' itu bukan lagi menjadi urusan utama... biarkan saja mereka memilih dan memutuskan kelak. itu hidup mereka, kan.. jadi hak utama untuk membuat keputusan ada pada mereka (kecuali jika keputusan itu sangat menyimpang, baru kita turun tangan. kalo masih dalam range yg wajar mah.. biarin aja :D ) *wah, jadi panjang ternyata jawabanku. ntar mending dibuat posting aja kali ya* d.~

rubiyanto19 said...

ha ha, ada-ada aja ya, namanya juga anak-anak, biar jadi pelajaran buat yang masih lajang kayak saya, kan besok punya anak juga, he he
salam kenal.

haha, sip sip... makasih ya. salam kenal kembali. d.~

duadua said...

biasa mbak, lugunya anak-anak. hehehehe
adiknya temen pas ditanyain cita-citanya, katanya ingin jadi tukang balon. mungkin karna balonnya banyak. tapi, kok saya jadi merenung ya, soalnya apa yang kita cita-citakan dulu banyak yang tidak kesampaian....

Tapi banyak juga yg tidak dicita- citakan dan kesampaian kan? barangkali memang itu semata diganti saja dengan yang setara atau bahkan lebih baik oleh Yang Di Atas? Atau bukan tidak tapi belum, jadi... tetaplah taro di daftar cita- cita, siapa tau nanti- nanti kesampean? :-)

Btw, jadi tukang balon pasti asyik ya.. punya banyak balon warna warni... ;-) d.~

handout said...

terimakasih tas postingnya
semoga sukses selalu..
Butuh tulisan-tulisan seputar peternakan,
REPOSITORY UNAND

semoga sukses juga... d.~

mechta said...

haha...jadi ingat serunya kami sekelg ketawa-tawa kemarin waktu sikecil bilang cita2nya mau jadi sopir...truk sampah! Ibunya santai2 saja dan kami semua maklum karena sebelumnya sikecil menyatakan cita2nya ingin jadi siluman harimau! *yg ini karena si mbak sering nonton senetron ttg itu..hehe*.

hehehe.. bagus kan, artinya dia kreatif :D d.~

hes said...

.. tunggu tunggu aku tanya dulu bimbul. kalo sudah besar mau jadi apa?'

bimbil (4 tahun): balerina
bumbum (2 tahun): truck! :lol:

haaa... ballerina cantik, dan... truck? warna merah atau biru nanti truknya, dik? ( dan bumbum jangan2 jawab: NO. Green. Ha ha ha :D )

wahyubramastyo said...

hmmm...emang buat mereka yang tidak berada di dalam kurva normal, entah karena deviasi berapa persen pun biasanya ikut menanggung judgement dari masyarakat yang memiliki stigma-stigma buat kelompok tertentu di kepalanya.

bener seperti katamu sih Mbak, yg penting ttp menjaga keluarga sbg tempat teraman utk kembali pulang. sebagai tempat yg bisa mengisi kembali tanki penerimaan kalau sudah seharian terkuras habis di luar.

komunikasi jadi musti sering dibuka dg anak2 ya, terutama mengenai kelebihan-kelebihan yg mereka miliki dan bagaimana kadanag2 hal tersebut dilihat di masyarakat, jadi anak2 bisa punya pijakan ketika menghadapi 'penolakan' dlm bentuk apapun dan sehalus apapun.

agenda orangtua yg utama jadinya menjaga konsep diri anak ttp positif dan menumbuhkan penerimaan mereka thd diri sendiri. sekali anak2 sdh memiliki penerimaan diri yg baik, mereka biasanya lebih santai membawa p[erbedaan yg mereka miliki ke masyarakat.

trus dukung juga anak2 untuk melihat perbedaan yg mereka miliki sbg sebuah keunikan yg berharga sebagaimana orang2 lainnya jg punya keunikannya masing2--jdi inget lagu yg sering dinyayiin anak2 di Living Values : "Each one of us is beautiful, as beautiful as can be--if you can see my beauty, you know how to look at me ^_^"

apa perlu dibangunin sekolah buat para mutant, kaya sekolahnya Prof X-Xaviour buat para X-Men ?hehehe

wow. aku suka sekali dengan kalimat " each one of us is beautiful, as beautiful as can be--if you can see my beauty, you know how to look at me " itu.

tujuan posting ini sebetulnya itu siihhhh... agar kita semua belajar untuk bisa menangkap apa sebetulnya kunci dibalik sikap, perkataan dan perbuatan tertentu... yaaa, jangankan anak- anak, kita bisa lihat kan bagaimana orang dewasa bisa dengan semena- mena menyerang dengan keji serta melecehkan orang lain yang pendapatnya berbeda?

minoritas ( dalam hal apapun ) sebenar- benarnya kan bukan lalu harus direndahkan oleh yang mayoritas? sebab bisa jadi semuanya baik, atau kadangkala bisa jadi, yg berbeda itu yg benar. seperti yang dikatakan mahatma gandhi, " if you are a minority of one, the truth is the truth " -- ngga ada urusan mayoritas atau minoritas dalam hal kebenaran, kan?

thanks komennya tyo, senang deh liat komen tyo lagi di rumahkayu :-) d.~

Post a Comment