Saat Patah Hati...

Hujan gerimis turun sejak pagi.


DEE dan Kuti duduk di teras menikmati coklat hangat di teras rumah kayu. Wangi tanah basah menghambur menyenangkan hati. Di teras yang sama, Pradipta sedang tertawa- tawa bermain monopoli dengan Mark, kawannya, dan Pratama, sepupunya. Sementara itu, duduk di dekat mereka, Cintya  membaca majalah remaja.


Mungkin karena udara dingin, si kembar Nareswara dan Nareswari tampak mengantuk tak lama setelah makan tadi dan saat ini keduanya sedang tidur.


Dee melirik jam tangannya. Ah, pikirnya, puding roti yang tadi sedang dibuatnya mungkin sudah matang sekarang. Dia bangkit dari duduknya dan menuju ke dapur. Kemarin dia membaca resep puding roti dan berniat mencoba membuatnya saat udara sedang dingin. Bahan- bahannya sederhana dan membuatnyapun mudah.


Dihampirinya kompor di dapur dan dibukanya dandang dimana dia tadi mengukus pudding roti tadi. Uap panas menyambutnya. Dee menusuk puding yang sedang dikukusnya dengan garpu lalu mengamati garpu tersebut. Ah benar, sudah matang tampaknya.


Dee mematikan kompor lalu diangkatnya pinggan tahan panas dari kukusan dan dibawanya ke teras rumah dimana Kuti dan Pradipta serta para sepupu dan kawannya berada.


“ Puding roti, ‘yang… “ kata Dee pada suaminya, “ Mau coba? “


Kuti mengangguk.


Dee mengambil piring kecil dan pisau yang semenjak tadi sudah ditaruhnya di meja teras. Dipotongnya hati- hati puding yang masih panas di pinggan dan diangsurkannya piring kecil tersebut pada Kuti. Suaminya mengangguk sambil mengucapkan terimakasih sembari menerima piring berisi puding, lalu meraih sendok kecil yang juga sejak tadi telah disiapkan Dee di meja teras.


“ Mas… Dipta, Mark, “ Dee memanggil ketiga anak lelaki yang masih dengan seru bermain monopoli, lalu disambungnya dengan, “ Kak,” seraya menoleh pada Cintya, “ Ayo coba dulu pudingnya, mumpung masih hangat… “


Anak- anak itu tak menolak. Mereka menghentikan kegiaan mereka lalu menghampiri Dee yang telah memotong- motong puding roti yang dibuatnya dan menaruhnya dalam piring- piring kecil. Mereka lalu menyuapkan perlahan- lahan puding hangat itu ke dalam mulut.


Dee memperhatikan anak- anak tersebut dan tersenyum senang melihat mereka menikmati puding roti buatannya. Untuk sementara dadu dan kartu- kartu permainan monopoli serta majalah tergeletak menanti.


Saat menatap majalah remaja itulah mata Dee menangkap judul tulisan yang sedang dibaca Cintya. Melihat judul dan ilustrasinya, Dee memahami bahwa Cintya sedang membaca sebuah cerpen. “Ketika Kinanti Patah Hati “, begitu judul cerpen yang terbaca oleh Dee.


Dee tersenyum maklum. Bagi anak remaja seusia Cintya, urusan cinta, dan patah hati, memang tampaknya menjadi topik utama yang akan ada dalam urutan prioritas yang mereka anggap penting.


Dan Dee teringat pada seorang remaja yang beberapa waktu yang lalu meminta nasihatnya urusan patah hati...


***


“ Jadi mas, “ kata Dee saat itu, “ Sakit hati sih boleh saja… tapi jangan lama- lama… rugi ! “


Remaja di hadapannya memandang Dee, memaksakan senyum.


Dee menatapnya maklum. Dia tahu, pemuda ganteng yang duduk di depannya itu mungkin sedang berpikir “ ngomong sih gampang… “ saat mendengar apa yang Dee katakan itu.


Remaja ini adalah anak kawan Dee. Ayah pemuda ganteng ini dulu bertetangga dengan Dee. Bukan kawan sebaya, usia mereka sebenarnya terpaut jauh, tapi mereka memang bergaul cukup dekat. Dee selalu menganggap tetangganya itu sebagai kakaknya.


Kini mereka tinggal terpisah kota. Kadang- kadang saja bertemu saat pulang ke kota kelahiran. Tapi kebetulan, anak sulung tetangga masa kecilnya itu kuliah di kota dimana Dee tinggal saat ini, dan di waktu- waktu senggang kadangkala dia mampir ke rumah kayu.


be-strong


“ Begini mas, “ kata Dee pada Didiet, anak kawannya itu, “ Bukan tante nggak mengerti apa yang dirasakan mas Didiet sekarang, tapi tante memang berpendapat, kalau diputuskan pacar seperti apa yang terjadi pada mas Didiet sekarang ini, salah satu cara untuk mengobati sakit hati yang terjadi adalah justru dengan memastikan bahwa hidup kita baik- baik saja.. “


Didiet mendengarkan tanpa bicara.


Dia memang tadi bercerita pada Dee bahwa dia baru saja putus dengan pacarnya. Diputuskan, tepatnya. Tak jelas apa alasannya tapi bahkan ketika Didiet masih sedih dan patah hati sang mantan pacar, Kania bahkan sudah menggandeng pemuda lain.


Dee berkata pada Didiet, “ Kalo tante sih ya, “ kata Dee, “ Selalu beranggapan bahwa ketika kita sakit hati atau merasa dipandang rendah – perasaan yang juga biasanya muncul saat hubungan cinta diputuskan secara sepihak -- maka satu- satunya cara untuk membalasnya adalah dengan meningkatkan kualitas kita sendiri, dengan memastikan bahwa hidup kita terus berjalan seperti biasa. Dengan menata hati dan mengikuti banyak kegiatan yang akan meningkatkan kemampuan diri kita, dalam bidang apapun…”


“ Sebab, “ kata Dee ketika itu, “ Jika ujian semacam itu bisa kita lalui dengan baik, maka di situlah sebenarnya kita bisa menunjukkan kualitas kita yang sebenarnya."


" Jika kita menjadi terpuruk," lanjut Dee lagi, " Dan mengabaikan banyak kesempatan dalam hidup karena patah hati, misalnya kuliah menjadi kacau, tak lagi mau mengikuti kegiatan- kegiatan ekstra kurikuler, absen dari lapangan olah raga dimana kita biasa beredar, tak lagi bersemangat membaca buku- buku yang bagus atau apapun kegiatan semacam itu dan kita kerjanya cuma melamun dan bersedih terus menerus, kita jadi rugi dua kali. Sudahlah diputuskan oleh pacar, hidup kita menjadi berantakan pula…”


“ Kalau menurut pendapat tante, “ kata Dee pada Didiet, “ Dalam kondisi seperti itu kita justru harus fokus pada diri sendiri. Pastikan walau hati sedang remuk karena putus cinta, kita tetap berprestasi dalam bidang lain di hidup kita.  "


Dan Dee ingat bahwa dengan senyum dikulum dia mengejapkan matanya pada Didiet sambil tersenyum, "Tetaplah kuat. Cara membayar sakit hati dan' membalas dendam' yang positif adalah dengan memastikan bahwa hidup tetap berjalan baik dan mas Didiet  suatu saat bisa bangga dan menatap dunia dengan kepala tegak.  Kita harus menyayangi diri sendiri. Jangan biarkan siapapun merendahkan atau membuat kita merasa rendah. Tunjukkan pada seisi dunia -- termasuk Kania --  bahwa mas Didiet memiliki kualitas diri yang baik untuk dapat mengatasi kesulitan. Bahwa dengan atau tanpa Kania, hidup tetap bisa berjalan seperti biasa. "


***


" Bunda, aku mau pudingnya lagi... "


Suara Pradipta yang mengatakan ingin menambah lagi puding rotinya membuat lamunan Dee buyar.


Dee mengangguk. " Ambil sendiri, Dipta. Itu Bunda sudah potong- potongkan, " kata Dee sambil menunjuk ke arah pinggan.


Pradipta mengangguk dan mengambil sepotong puding lagi.


Dee melirik majalah yang masih terbuka di halaman yang sama.


" Ketika Kinanti Patah Hati ", judul itu terbaca lagi oleh Dee.


Dee tersenyum dalam hati. Entah apa isi cerpen itu, tapi Dee berharap semoga isinya menguatkan dan menginspirasi para remaja pembaca cerpen tersebut.


Patah hati jika dikelola dengan baik bisa menjadi titik penting dalam hidup  Titik dimana seseorang belajar mengatasi sakit hati dengan cara positif serta mendidik diri sendiri untuk dapat tumbuh dewasa dengan jiwa yang kuat dan kualitas yang baik untuk dapat menghadapi beragam ujian dalam hidup...


p.s. no one can make you feel inferior without your consent ( eleanor roosevelt )
i love you...



** gambar diambil dari: www.uexpressit.com **

2 comments:

blacktiger said...

betul.. patah hati bisa menjadi pelajaran penting bagi pendewasaan diri... seperti yang mbak katakan diatas, kita harus bisa menunjukkan bahwa hidup kita baik2 saja dan malah makin membaik setelah patah hati..
*jadi-ingat-pengalaman-sendiri-waktu-patah-hati**

hes said...

Jurus jitu emang! *pengalaman pribadi* Walau memang ngga mudah tapi harus tetep diyakini kalau kita baik-baik aja dan akan lebih baik lagi kelak.

Post a Comment