Kata Maaf, Kerukunan dan Kemerdekaan Bersikap

Tentang maaf...

DAPATKAH suatu masalah diselesaikan dengan (menganggap) bahwa yang lalu sudah berlalu, dan bahwa secara otomatis yang akan terjadi adalah memaafkan, dan/atau melupakan apa yang telah terjadi?

Ya, dan tidak.

Ya, dan itu mudah, jika halnya menyangkut hal- hal sepele yang tidak prinsipiil.

Tidak, jika halnya menyangkut nilai- nilai yang sangat mendasar, dan/ atau merupakan tindakan yang melanggar hak, tindakan yang berupa kekerasan dan penindasan, atau pelecehan.

Myspace Bikes Graphics Motorcycles Clipart



Aku tentu saja sama sekali tak menentang sikap pemaaf dan memaafkan. Tapi menurut pendapatku, yang terpenting adalah bahwa saat kata maaf diucapkan, maka kata- kata dan hati sejalan.

Tak ada gunanya mengatakan sudah memaafkan atau melupakan sesuatu jika sebenarnya tak begitu yang ada di dalam hati.

Maka, menurutku, adalah berbahaya untuk mengambil kesimpulan di saat sebuah konflik timbul bahwa dengan sendirinya pihak- pihak yang berkonflik tersebut akan memaafkan pihak lain, dan/ atau melupakan apa yang terjadi.

***



Dalam tekanan sosial dimana kerukunan dipandang sebagai sesuatu yang positif, seseorang memang akan cenderung menghindari konflik dan mengontrol tindakan- tindakannya.

Tetapi tidak boleh dilupakan adalah bahwa apa tindakan seseorang bisa berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya.

Bahwa seseorang tampaknya menerima situasi atau mundur selangkah dua langkah untuk menghindari terjadi atau berlanjutnya konflik, tak berarti bahwa hatinya secara otomatis setuju dengan tindakan tersebut. Apalagi jika ada kepentingan yang dikorbankan dan/ atau keinginan yang diredam.

Belum tentu apa yang dikorbankan dan/ atau diredam itu sesungguhnya benar- benar sepenuh hati direlakan.

Tak dapat dipastikan bahwa orang tidak merasa dendam, atau di kemudian hari akan berhenti mempersoalkan masalah atau konflik yang (pernah) terjadi walau hal tersebut tak nampak di permukaan.

***



Pada dasarnya, seseorang hanya akan dengan sepenuh hati menganggap suatu masalah atau konflik selesai jika dia sendiri menganggap kesepakatan atau kompromi yang terjadi merupakan kesepakatan yang adil.

Jika tidak, maka kalaupun pada suatu saat kesepakatan atau kompromi itu diterima, maka selalu terbuka kemungkinan bahwa di saat yang lain di masa yang akan datang masalah yang sama dibuka kembali, dipermasalahkan lagi.

Dan api akan terpercik lagi.

Perlu dipahami bahwa ada batas ketahanan dalam diri setiap orang. Jika batas ini telah terlampaui, apalagi terlampaui sangat jauh, maka tak dapat dihindari bahwa reaksi perlawanan akan terjadi.

Ledakan besar mungkin pula menyusul segera sesudahnya.

Dan, apakah jika seseorang menunjukkan reaksi melawan, atau sampai pada titik ledaknya maka dengan serta merta kita bisa memberi label negatif pada orang tersebut?

Menurutku tidak. Belum tentu.

Tergantung apa yang terjadi.

Aku pernah membaca suatu kalimat yang menurutku sangat logis. Bunyinya adalah bahwa orang yang paling ekstrim pada saat revolusi akan menjadi orang yang paling tak banyak bicara saat revolusi itu selesai.

Intinya adalah bahwa jika pada suatu saat seseorang menunjukkan reaksi yang sangat keras terhadap suatu keadaan, belum tentu dia akan selalu bersikap semacam itu pada situasi yang berbeda.

***



Lalu bagaimana sebenarnya kita dapat membuat situasi lingkungan yang rukun dalam artian rukun yang sebenar- benarnya, bukan semata tampak tenang di permukaan tapi ada gejolak sangat besar di dalam?

Sederhana sebetulnya.

Unity in diversity. Itu jawabannya.

Kebersatuan yang dibangun atas keberagaman.

Bhineka Tunggal Ika.

Situasi yang rukun dimana kondisi terkendali dan ledakan besar yang mengejutkan dapat dihindari akan dengan sendirinya muncul jika masing- masing orang dihargai sebagai suatu identitas yang utuh lengkap dengan segala keunikannya. Respek terhadap masing-masing individu dianggap sebagai hak asasi yang secara mendasar harus diberikan pada setiap orang.

Situasi dimana seseorang dapat tampil menjadi dirinya sendiri walau pada saat yang sama dia juga merupakan suatu bagian dari sebuah kelompok.

Situasi dimana seseorang diberi hak untuk berpikir, bertindak dan melakukan sesuatu berdasarkan nilai- nilai atau tujuan yang diyakininya baik serta tak ada pelecehan yang dilakukan semata karena ada perbedaan pendapat atau nilai- nilai yang dianut orang tersebut (sepanjang dia tak melanggar hak orang lain).

Situasi yang bebas diskriminasi. Tak ada penjajahan yang dilakukan oleh suatu kelompok pada individu, mayoritas pada minoritas

Selama hal- hal di atas belum dipenuhi, atau dengan sengaja diabaikan, tak perlu heran jika konflik, baik yang tertutup dan diam- diam di belakang punggung maupun konflik terbuka, terus menerus terjadi…

Karena itu, menurutku, mengatakan ‘ yang lalu biarlah berlalu, lupakan yang telah terjadi, mari kita maju ke depan’ dan sebagainya, tak dapat dipandang sebagai sesuatu akan terjadi dengan sendirinya tanpa lebih dulu batasan- batasan kepatutan pergaulan dipahami serta etika- etika mendasar diterapkan.

Tidak logis dan tidak manusiawi menurutku untuk menuntut dan/ atau memaksa suatu pihak yang pernah ditekan, dijajah, dilecehkan untuk begitu saja melupakan dan memaafkan apa yang telah terjadi. Apalagi jika tuntutan itu semata diberikan pada suatu pihak tertentu tanpa pihak lain berusaha untuk mengerti apa yang terjadi dan melakukan tindakan koreksi.

Kita seringkali mendengar banyak kampanye yang menentang terjadinya KDRT, kekerasan dalam rumahtangga. Sebenarnya, hal yang sama juga harus diterapkan saat kita menjadi bagian dari suatu lingkungan/ kelompok tertentu. Harus dipahami bahwa tak seorangpun berhak melakukan penindasan atau melakukan pelecehan pada orang lain.

Terlalu naif untuk mengharapkan seseorang akan dengan begitu saja menerima perlakuan/ kekerasan semacam itu lalu berasumsi bahwa dengan berjalannya waktu, perlakuan tersebut telah dimaafkan atau dilupakan oleh orang tersebut.

Bagiku, lebih baik mengambil waktu lebih panjang sejenak untuk dapat memahami seluruh konsep tentang keadilan, kerukunan sejati dan mempelajari bagaimana agar pelecehan, penindasan, bullying dan hal- hal semacamnya dapat dihindari, daripada tergesa mengatakan sudah memaafkan atau melupakan padahal ada bara yang masih menyala, ada sumbu yang terendam minyak, yang setiap saat apinya dapat membesar dan membakar.

***



Apa yang diuraikan di atas merupakan urusan yang berkaitan dengan hati.

Dan urusan- urusan hati tak pernah sederhana. Apalagi tak seorangpun dapat mengatur apa kata hati seseorang.

Karenanya, sebetulnya lebih sederhana untuk dari awal menata langkah agar tak menerabas batas hak orang lain sehingga urusan- urusan hati yang rumit ini dapat diminimalkan.

Last but not least, haruslah disadari bahwa pada dasarnya manusia merupakan sosok yang merdeka.

Dia dapat dan berhak untuk mengatakan ya atau tidak, dia dapat dan berhak untuk mengatakan apakah dia bersedia atau tidak menjadi bagian dari suatu kelompok.

Dia juga dapat dan berhak mengatakan bahwa pada saat ini dirinya belum dapat menerima situasi yang ada di hadapannya serta tak pula sepakat bahwa bahwa konflik dan masalah telah teratasi .

Termasuk dia juga berhak untuk tetap mengambil sikap kritis dan mungkin juga konfrontatif saat menghadapi situasi yang tak disepakatinya itu.

Jika itu yang terjadi, kita semua harus menghormati pilihan serta keyakinannya.

Meminjam apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, A 'No' uttered from the deepest conviction is better than a 'Yes' merely uttered to please, or worse, to avoid trouble.

Jadi, jangan- jangan pada beberapa situasi, orang yang dengan terang- terangan mengatakan ‘tidak, saya tak sepakat’ itu lebih baik daripada orang yang mengatakan ya, saya sudah memaafkan dan melupakan (tapi sebenarnya tak pernah benar- benar membereskan akar masalahnya) ?

p.s i love you

* Catatan: tulisan ini pernah dimuat di blog daunilalang pada bulan Desember 2010 dan saat ini dimuat ulang di rumahkayu



** Picture taken from: kaalchakra-spiritual-wallpapers.blogspot.com

0 comments:

Post a Comment