Aku Kapten Bagi Jiwaku... (1)

Aku berterimakasih
atas jiwaku yang tak tertaklukkan


Aku tuan bagi nasibku
Aku kapten bagi jiwaku

( Dikutip oleh Nelson Mandela dari puisi berjudul 'Invictus' karya  William Ernest Henley )



KEMARIN sore saat pulang kantor, kutemukan suamiku yang sudah lebih dulu tiba di rumah sedang menggergaji beberapa ruas kayu.

Ketika kutanyakan apa yang sedang dibuatnya, dia menjawab dia sedang membuat bingkai untuk kanvas.

Rupanya, anak sulungku lolos saringan pertama murid berprestasi di sekolahnya dan pada saringan kedua yang dilakukan hari ini, selain test wawancara dan pidato, dia juga harus menunjukkan keterampilan lain diluar pelajaran sekolah dan anakku memilih untuk membuat lukisan di atas kanvas. Ayahnya menyiapkan pigura untuk kanvas tersebut.

the-star



Kutemui anak sulungku dan sambil mengobrol dengannya kukatakan sesuatu: “ Ingat apa yang ibu dan bapak bilang dulu? Sekarang terbukti, kan? “

Anakku tertawa lebar. Dia mengangguk.

Kalimat itu kuucapkan sebab dulu, bertahun- tahun yang lalu, dia pernah dicurangi.

Bukan (hanya) oleh kawan seusianya tapi juga oleh orang tua kawannya itu.

Dan saat dia dicurangi itu, kami, aku dan ayahnya, memilih untuk tak melawan secara frontal kecurangan itu tapi kami bicara pada anak kami bahwa kami tahu dialah seharusnya yang menjadi juara, dan tak perlu kecil hati jika kemudian dengan curang gelar juara itu jatuh pada orang lain.

“ Semua orang tahu siapa juaranya, “ itu yang kami katakan padanya, “ Tetaplah berusaha, dan sekian tahun lagi, kita lihat siapa juara sejatinya… “

***



Anak sulung kami, 11 tahun usianya saat itu, sedang menjalani tahun terakhirnya di SD.

Seperti yang pernah kuceritakan beberapa kali, sulungku ini menyelesaikan SD-nya dalam waktu 5 tahun. Dia termasuk angkatan pertama kelas akselerasi di SD-nya.

Bukan semata soal kelas akselerasi yang ingin kuceritakan di sini. Yang terpenting yang ingin kuceritakan adalah bahwa membangun mental juara itu bukan pekerjaan instan.

Aku adalah orang tua yang selalu prihatin melihat anak- anak dalam usia dini dipacu untuk mencapai prestasi ini dan itu, dan lalu ‘dipamerkan’ kemana- mana bahwa dia juara.

Aku tak pernah berminat menjadikan anak- anakku menjadi bahan pameran seperti itu. Sebab aku percaya, pendidikan anak adalah urusan jangka panjang. Bukan hanya otaknya yang perlu dibangun, tapi juga hatinya. Jiwanya.

Pernah kudengar cerita memprihatinkan tentang kakak kelas anakku. Juara ini dan itu sejak SD, termasuk peraih medali emas olimpiade. Dan yang kudengar, anak ini bahkan sejak SD sering menjerit- jerit di sekolah, tak tahan atas tekanan yang diberikan oleh orang tuanya untuk harus berprestasi, harus menjadi juara. Harus selalu nomor satu.

Kudengar, anak ini makin bermasalah saat dia masuk SMP dan SMA.

Dia masih berprestasi, masih menjadi juara ini dan itu. Dan orang tuanya, terutama ibunya, selalu dengan bangga melaporkan pencapaian prestasi anaknya dimanapun, baik saat mengobrol dengan ibu- ibu lain, juga di status facebooknya.

Luar biasa, memang. Apa yang diraih anak itu, tak bisa dipungkiri, cemerlang dan luar biasa.

Hanya saja, kudengar cerita di belakang layar yang sungguh memprihatinkan, yaitu bahkan saat anak ini baru duduk di kelas dua SMA beberapa tahun yang lalu saja, dia sudah beberapa kali berusaha untuk bunuh diri.

Ya, benar. B-u-n-u-h d-i-r-i.

: Lalu buat apa semua medali dan piala itu, jika hanya itu akhirnya yang terjadi? Jika semua itu harus ditebus dengan jiwa yang rapuh?

***



Oh jangan salah. Aku bukan sedang bicara tentang hidup bersantai- santai dan tak berusaha.

Tidak.

Aku tidak sedang bicara itu.

Aku hanya sedang bicara bahwa tak ada gunanya menjadi juara jika juara itu ada di kulit semata. Menjadi juara itu harus lengkap dengan memiliki mental juara. Tak ada gunanya menjadi juara jika mental juara itu tak dimiliki.

Kegigihan, pantang menyerah, dan meraih semuanya dengan integritas yang baik serta jujur, ditambah dengan bahwa semua itu dilakukan dengan riang gembira merupakan hal yang menurutku sangat penting dimiliki oleh para juara.

Untuk apa jadi juara jika semata tekanan mental yang diperoleh? Untuk apa jadi juara jika demi menjadi juara itu kita harus melakukan kecurangan?

Untuk apa menjadi juara jika tak memiliki mental juara?

Tidak, tak seorangpun dari aku dan suamiku yang menginginkan itu terjadi pada anak- anak kami.

Karenanya, apa boleh buat, pada usianya yang kesebelas, kami memutuskan untuk membiarkan anak kami menghadapi dunia, membiarkannya menelan kecurangan. Membiarkan gelar juara yang seharusnya menjadi miliknya direbut dengan curang dan kasar oleh orang lain.

Karena kami inginkan anak kami menjadi juara dalam jangka panjang. Bukan hanya saat itu saja.

Karena kami ingin dia menjadi juara yang memang memiliki mental juara...

***



Jadi, saat itu, raport sementara kelas akselerasi sudah dibagikan.

Itu bukan raport bayangan. Itu nilai akhir. Hanya saja dibagikan masih berupa lembaran kertas sebab kebetulan ada perubahan jenis buku raport yang asli ( kalau tidak salah, ada penyeragaman raport dari Dinas Pendidikan ) dan buku raport asli itu belum tiba di sekolah, karenanya nilai masih dibagikan dalam bentuk lembaran.

Dan nilai tertinggi diraih oleh anakku.

Masih kuingat betapa berbinarnya mata anakku. Untuk kali pertama sepanjang sejarah, juara umum di angkatannya dikalahkan oleh anakku. Selisihnya sedikit sekali, tipis, sangat tipis.

Aku tersenyum lebar pada anakku dan mengatakan satu kata padanya, "Hebat !"

Bukan semata karena dia anakku kukatakan itu, tapi karena aku tahu dia berhak mendapat pujian semacam itu sebab semua angka itu diraihnya dengan usahanya sendiri.

Aku dan ayahnya bukan orang tua yang demi nilai cemerlang anaknya bersedia membuatkan tugas- tugas sekolah anak, atau mendekati guru- guru untuk mendapatkan gambaran soal apa kira- kira yang akan keluar dalam ulangan, atau hal lain serupa itu.

Dan sang juara bertahan itu, yang baru saja direbut gelar juaranya oleh anakku, adalah anak yang semacam itu.

Bukan rahasia lagi di sekolah tersebut bahwa orang tua anak itu akan melakukan segala cara agar anak tersebut menjadi juara kelas. Itu sudah berjalan sejak kelas 1 SD, dan usaha itu memang berhasil. Anak tersebut selalu juara.

Jangan tanya jadwal anak tersebut. Pulang sekolah dia masih mengikuti lagi dua kali les pelajaran. Belum les bahasa Inggris. Belum ini dan itu. Belum lagi, konon, bahkan tugas- tugas prakaryanyapun dikerjakan oleh orang tuanya. Belum lagi ibunya seakan 'turut bersekolah' dengan anaknya sebab tiap hari ada di sekolah dan berdiskusi dengan semua guru baik guru kelas maupun guru bidang studi.

Belum lagi… believe it or not, anak ini seringkali dimintakan ibunya untuk ulangan sekali lagi, jika nilainya bukan yang tertinggi di kelas…

Hal itulah yang dilakukan dan terjadi saat raport sementara yang dibagikan hanya kurang dari seminggu dari raport asli menunjukkan bahwa anak tersebut berselisih nilai tipis dengan anakku dan ‘hanya’ menduduki tempat kedua.

Anak tersebut kemudian dimintakan oleh ibunya untuk test sekali lagi sehingga nilai dalam salah satu mata pelajaran dapat mengalahkan anakku lalu nilai itulah yang ditulis di raport asli, sehingga dia menjadi juara, berselisih nilai hanya 0,01 dengan anakku (yang sejak menerima raport sementara itu tentu saja tak mengikuti test apapun lagi ).

***



Sejak mendengar berita bahwa orang tua anak tersebut sedang berusaha meminta guru di sekolah untuk mengetest anaknya lagi, telah kami siapkan mental anak sulung kami jika nilai raport asli nanti menunjukkan hal yang berbeda.

Dan saat itu benar terjadi, yang kami lakukan adalah merangkul bahu anak kami dan mengatakan, "Tak apa- apa. Semua orang tahu siapa sebenarnya juaranya. Kita buktikan saja nanti, beberapa tahun lagi, siapa juara sejatinya. Siapa sebenarnya yang memang berkualitas bintang... "

p.s.
Written for my daughter.  I love you and so proud of you, girl !


** gambar diambil dari: http://www.classicdesignawards.com/ **

8 comments:

blacktiger said...

itulah yang rasanya banyak dilupakan orang-orang.. membangun pondasi jiwa memang bukan pekerjaan yang mentereng, harus dilakukan dengan banyak keringat, sesekali air mata dan terkadang juga darah dan hasilnya tidak akan langsung terlihat... Tetapi untuk jangka panjang, itulah yang terbaik...

Selamat ya mbak dan mas.. Sampaikan salam selamat juga dari saya untuk W..."Kamu hebat"

dyFlower said...

Setuju banget, mbak.. menang dengan jujur, gembira, dan mandiri. Satu lagi anak harus tahu bahwa orang tua tetap mendukung dengan penuh cinta, apapun hasil akhirnya.

Ga mudah menyiapkan mental anak saat menghadapi kenyataan bila dia gagal jadi juara padahal dia sudah berusaha keras. Aku juga lagi berusaha memotivasi anak2ku bahwa ga apa2 jika dia ikut pertandingan dan kalah. Itu tidak akan mengurangi sayang+bangganya kedua orangtuanya terhadapnya. Juga bahwa ketika sekarang nilainya terbaik di kelas, mungkin ada saat lain di mana teman2nya berusaha lebih rajin & lebih keras shg mungkin saja mengalahkan nilai2nya. Walaupun hasil sudah baik, tetap ga berhenti berusaha, ga boleh terlena.

Mendapat kelebihan dari Yang Maha Kuasa sehingga bisa menjadi juara 1 terus menerus itu ngga susah. Yang susah adalah saat kita yang biasanya juara 1, tiba-tiba kita ga juara.
Aku bersekolah di SMA favorit dengan teman2 yang ketika di SMP adalah juara tingkat sekolah, kotamadya/kabupaten, bahkan ada yang juara propinsi.
Saat terberat mereka di SMA tsb -selain tinggal jauh dari keluarga- adalah saat mereka mendapati di rapot mereka bukan juara 1 lagi. Tanpa persiapan mental yang kuat, kegagalan bisa mengarah kepada keputusasaan, prestasi yang semakin menurun, bahkan keinginan untuk bunuh diri.


PS: Good luck buat anak gadisnya, semoga Allah swt memberikan kemudahan untuk mendapatkan hasil terbaik. Amiin

Fa said...

Setujuuuu. Kata Templar "Only Dead Fish Swim with the stream".. And that's what life is, what it is meant to be; a series of struggles and lulls

Meiy said...

Senangnya baca 'pelajaran mendidik' seperti ini. Hampir sama lo yg trjadi dgku wkt sd. Ketidak adilan guru ini, bahkan msh kuingat smp skrg. Tmnku itu yg crita sendiri pdku kalau bu guru byk hutang pd bapaknya.
Aku pernah nulis pos 'hakikat' di blog, tema yg hampir sama.
Ufi jg ngadu tmnnya ga jujur suka menyontek. Kami menekankan yg penting kualitas asli dg upaya n kejujuran, nilai sebenarnya.

Pojok Pradna said...

"Tidak peduli dengan kemungkinan kecurangan yang dilakukan pihak lawan, ketika kita sudah mengeluarkan segenap kemampuan kita, ketika kita kalah maka kita akan menerima kekalahan itu dengan “ikhlas”. Kita terima, kita evaluasi kekurangan kita dan berusaha menjadi lebih kuat lagi. Dengan latihan dan usaha keras, lawan yang terlalu sibuk memikirkan cara curang tentu tidak akan sekuat orang yang memoles keahliannya terus menerus tanpa kenal lelah.

Lain halnya kalau kita tidak cukup berlatih dan berusaha keras. Mencari-cari alasan termasuk kesalahan orang lain adalah hal yang biasa dilakukan untuk menutupi rasa malu, penasaran, dan tidak rela saat kalah. Apalagi ketika lawan berlaku curang, tentu akan jadi headline kita untuk membela diri. Mestinya kecurangan seperti apapun tidak akan begitu berpengaruh ketika kita benar-benar kuat, dan menjadi kuat adalah dengan jalan mengasah kemampuan kita tanpa kenal lelah."

dari Pojok Pradna : "Sport, Sportif and Reasoning" ;)

Pojok Pradna said...

wik...komenku sebelumnya yang mungkin karena meng-quote kepanjangan, ditelan penjaga spam 'kali yak :D

afika said...

Iya, setia saja kepada kejujuran dan keikhlasan, tetap semangat serta pantang menyerah. Bukan penilaian manusia yang dengan penting kita perlukan melainkan penilaian dari Tuhan-lah segalanya

ranggasetya said...

wah, ini pelajaran berharga buat orang-tua yang pengen mendidik anaknya agar bermental juara. salut deh buat keluarga ibu. semoga si sulung semakin tegar dalam menghadapi kecurangan teman-temannya.

terimakasih ya.

benar sih... dalam hidup, walau tentu tak satupun dari kita berdoa agar berhadapan dengan hal- hal semacam itu tapi tak bisa dihindari, ada saat- saat dimana kita harus juga menghadapi kecurangan, ketidakjujuran, kemunafikan, dari cara yang paling halus sampai yang luar biasa kasar. dan bagaimanapun juga, walau sakit, kita harus bisa menyiapkan mental untuk menghadapi hal- hal semacam itu...

btw... hmmm... gimana kalo manggilnya nggak usah ibu? nama aja boleh, atau mbak aja boleh ( nawar, ha ha ha... ) kayaknya lebih enak gitu ya? :) d.~

Post a Comment