Perdamaian Sebagai Wujud Demokrasi (1)





* Tulisan ini dibuat oleh blogger tamu: Sikkharini C, 15 tahun






Indonesia dalam mimpi adalah sebuah bangsa yang anggota-anggotanya hidup sebagai seorang manusia—berbeda satu sama lain, tak ada yang sempurna, namun saling menghormati. Tapi saat kita terbangun dan mulai membuka mata—juga mata hati—dan telinga, barulah kita sadar bahwa Indonesia saat ini tidak berada dalam keadaan seperti itu.

Hal diatas bukan hanya sebuah perumpamaan. Coba saja, saat kita bangun dari tidur dan berharap mendapatkan hari yang baik, yang kita lihat baca di koran pagi adalah sebuah berita mengenai unjuk rasa yang kebablasan. Atau malam hari sebelum tidur saat kita berharap dapat menyegarkan pikiran, yang kita lihat adalah berita di televisi mengenai penganiayaan.

Henry B. Mayo berpandangan bahwa ‘dengan adanya suatu konsep demokrasi yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat maka terjaminlah penyelenggaraan perubahan secara damai di tengah masyarakat yang terus berubah’1. Tapi apakah stigma tersebut telah terjadi di Indonesia, yang notabene menyatakan dirinya sebagai sebuah negara berlandaskan Demokrasi Pancasila?

Jika diamati secara lebih mendalam, dapat dilihat bahwa hal yang menyebabkan banyaknya kejadian tak diinginkan adalah satu: perbedaan. Perbedaan dalam hidup akan terus terjadi selama manusia dapat berpikir. Adalah mustahil untuk dapat menghilangkan perbedaan. Bahkan seiring dengan adanya perubahan, akan semakin banyak perbedaan yang terjadi.

peace3

Indonesia adalah sebuah negara demokrasi dimana suara setiap orang diperhitungkan. Keadaan seperti ini secara tidak langsung membuat semua golongan berusaha dengan sangat keras untuk meraih keinginan dan tujuan masing-masing, yang jelas berbeda. Perbedaan pandangan antar golongan pun mempertinggi resiko terjadinya konflik akibat perebutan kepentingan.

Menurut hukum alam, perbedaan yang terjadi seharusnya menjadi suatu hal yang positif. Bagaimana dengan adanya perbedaan-perbedaan itu manusia saling melengkapi, menutupi kekurangan yang dimiliki oleh seseorang dengan kelebihan yang dimiliki yang lainnya. Bagaimana dengan adanya perbedaan-perbedaan itu manusia mengambil pelajaran darinya, menambah wawasan dan pengetahuan. Tentunya dengan pengetahuan yang semakin bertambah, manusia menjadi lebih adil dan bijaksana dalam menjalani kehidupannya.

Tuhan pun menciptakan manusia dalam rupa yang berbeda. Tentu itu ada maksudnya. Bahwa manusia harus belajar hidup berdampingan dalam ketidaksamaan. Tak saling memaksakan, menerima satu sama lain dan bekerja sama.

Sayangnya, apa yang terjadi saat ini berbeda dari apa yang diharapkan. Terjadinya perbedaan malah membuat manusia menjadi egois. Mementingkan dirinya sendiri dan menganggap dirinyalah yang paling benar. Apa yang disebut dengan perbedaan malah dijadikan alasan untuk berbuat anarkis. Tak sulit mencari sebuah tindakan kriminal dengan alasan perbedaan.

Dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun, melakukan perubahan itu sulit. Hanya sedikit orang yang berani—dan mampu—untuk melakukannya. Berubah dalam hal apapun, memiliki tahapan dan konsekuensi masing-masing. Termasuk—dan terutama—untuk berubah ke arah positif.

Mari ambil contoh yang terjadi sehari-hari di sekitar kita. Seorang pelajar tentu pernah merasakan apa yang dinamakan ujian. Melihat kondisi lapangan, ternyata banyak sekali peserta ujian yang mengerjakannya secara tidak jujur. Mencontek. Entah bertanya jawabannya pada teman, atau bahkan pada buku.

Sebenarnya, tak sedikit pelaku kecurangan itu yang tobat, ingin kembali ke jalan yang benar. Mereka berusaha untuk tak mencontek lagi, mengabaikan godaan-godaan yang mengelilingi mereka. Tapi biasanya, setan terbesar justru datang dari teman-teman mereka sendiri. Bagaimana seseorang yang berupaya tak mencontek dan tak memberi contekan dijauhi, atau dimaki. Dianggap sombong, tidak solid. Padahal, apakah kesolidan itu?

Suatu kelompok—yang biasanya menganggap dirinya solid—seharusnya memiliki tujuan dan arah yang baik. Para anggotanya saling membantu satu sama lain untuk mewujudkan impian bersama dengan cara yang jujur.

Jadi, apakah sebenarnya penyebab dari konflik yang terjadi akibat perubahan-perubahan dalam masyarakat ini?

Masih ingatkah pada pelajaran fisika kelas 1 SMP mengenai Hukum Newton I? Hukum Newton itu berbunyi sebagai berikut: ‘apabila sebuah objek tidak didorong maupun ditarik oleh sebuah gaya, maka objek tersebut akan tetap diam atau bergerak dalam sebuah garis lurus dengan kecepatan konstan’2, atau dalam kata lain suatu objek akan cenderung mempertahankan posisi atau kedudukannya kecuali ada suatu keadaan yang memaksanya untuk berubah. Hukum tersebut sering disebut pula sebagai hukum kelembaman atau inersia. Lalu, apa hubungan antara kelembaman itu dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat?

Seperti objek yang dimaksud dalam hukum tersebut, manusia—terutama manusia yang berada dalam satu golongan—akan cenderung bertahan dalam posisinya sekarang. Adalah hal alami hasil pertimbangan naluri bahwa manusia ingin tetap berada dalam zona amannya. Tak banyak orang yang ingin keluar dan mencoba hal-hal baru, bahkan saat ia tahu bahwa hal baru tersebut adalah hal yang lebih baik untuk dilakukan daripada apa yang ia kerjakan selama ini.

Karena itulah, banyak pertentangan terjadi akibat perubahan. Pertentangan antara pihak yang ingin melakukan perubahan, dan pihak yang ingin keadaan seperti apa yang selama ini terjadi tetap terjadi. Banyak alasan dapat diungkapkan sebagai sebab ‘mental kelembaman’ ini.

Pertama, menyadari keadaan yang terjadi merupakan hal yang menguntungkannya. Setiap orang pasti ingin mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari lingkungannya. Kedua, takut mengambil resiko. Takut tak berhasil beradaptasi dengan keadaan baru, takut tak dapat menampilkan performa maksimal di keadaan lain atau takut bertemu dengan hal baru.

Apapun alasannya, mental kelembaman ini sebaiknya diubah. Bayangkan saja, kalau Nelson Mandela tak melakukan perubahan, mungkin sampai sekarang Afrika Selatan akan tetap menjadi sebuah negara apartheid dengan dominasi warga kulit putih—yang merupakan golongan minoritas—terhadap warga kulit hitam. Tanpa dilakukannya perubahan tersebut, rasanya Afrika Selatan tak akan menjadi sebuah negara paling maju di benua Afrika seperti saat ini.

Wabah mental kelembaman ini tak hanya melanda rakyat sebuah negara, tapi juga para perangkat negara, termasuk birokrasi dan para pelaksananya. Dr. Dino Patti Djalal, dalam bukunya Harus Bisa!: Seni Memimpin a la SBY menulis sebuah kejadian mengenai mental kelembaman ini, bahwa ‘di Indonesia, birokrasi bisa menjadi masalah karena berbagai hal:

• Kecenderungan untuk memelihara masalah, ketimbang menyelesaikannya;
• Lebatnya kepentingan pribadi dalam sistem birokrasi, yang praktis memenjarakan masalah dari solusi;
• Kecenderungan birokrat untuk cari selamat (safety player) sehingga mereka cenderung lari, menguburkan kepala atau mengacuhkan masalah;
• Lemahnya inovasi. Banyak birokrat yang tenggelam dalam rutinitas yang menjemukan, yang menjadikan birokrat seperti robot;
• Lemahnya sistem rekruitmen dan promosi. Karena faktor gaji, pencari kerja baru lebih terdorong masuk swasta. Sementara itu, tidak jarang birokrat idealis dan unggul yang terlantar karena sistem promosi tidak terlalu dikaitkan dengan prestasi;
• Masih maraknya tipe aparat yang ingin dilayani ketimbang melayani masyarakat, sehingga dalam setiap situasi ia selalu memperhitungkan: saya dapat apa?’3

Rasanya hal yang diungkapkan diatas cukup menunjukkan bagaimana sebuah mental kelembaman mempengaruhi pelaksanaan pemerintahan. ‘Adam Schwarz penulis buku klasik ‘Indonesia: A Nation in Waiting’ menamakannya sindrom pasif agresif, dimana birokrasi menjadi sangat kreatif, sangat agresif dan sangat ngoyo untuk menjaga status quo dan mencegah perubahan yang mengancam kepentingannya.’4

( bersambung )

p.s: Sikkharini C, 15 tahun, kelas 2 SMA, menyertakan tulisan ini dalam lomba essay antar murid SMA se-Jabodetabek yang diselenggarakan oleh Bapenas dan mendapatkan penghargaan sebagai juara ke-3 dalam lomba tersebut

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




1Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 165-179




2Susan McKeever, dkk., The Dorling Kindersley Science Encyclopedia, (London: Dorling Kindersley Limited, 2002), hlm. 120




3Dr. Dino Patti Djalal, Harus Bisa!: Seni Memimpin a la SBY, (Jakarta: Red&White Publishing, 2008), hlm. 77.


4Dr. Dino Patti Djalal, Harus Bisa!: Seni Memimpin a la SBY, (Jakarta: Red&White Publishing, 2008), hlm. 78.







** gambar diambil dari: pondererscorner.wordpress.com **

3 comments:

Fa said...

Keren dech tulisannya Mba Wiwit. Selamat ya utk kemenangan dalam lomba essay se-Jabotabek. Ciao,,, Let's share the knowledge and inspire others

Meiy said...

Masyaallah tulisan wiwit 'berat' bgt utk ukuran anak usia itu. Berisi, berbakat jd politisi dan penulis sekaligus? Bravo ya, mudah2an makin sukses k depan.

cie soeciati said...

wauuuw .... mantap niih .... menuju negara demokrasi adalah sebuah proses perjalanan yg amat panjang dan saat ini qt sdng belajar dan belajar. smuanya tdk bs instan langsung terwujud begitu saja. optimis z .. suatu hari nanti negara kita akan menjadi negara yg hebat krn saat ini kita sedang membangun ke arah sana.. qt siapkan pemuda-pemudi kita.. salah satunya adalah sikkharini ini.... hehehe,,, selamat yaaa..... ^_^

Post a Comment