CLBK tak hanya untuk ABG, tapi...

PENGHUNI rumahkayu menikmati indahnya sore. Melihat bagaimana sang Surya perlahan lenyap dibarengi munculnya pendar indah berwarna kuning kemerahan. Sepasang kembar saling bercanda (menggunakan bahasa bayi tentu saja) di 'kamar' mereka yang mungil. Pradipta sedang sibuk membentuk 'puzzle' yang nantinya bakal menjadi robot. Dee yang untuk sesaat merasa 'bebas' dari gangguan si kembar, duduk bersantai di kursi malas. Kuti yang baru saja mengirimkan naskah buku terbarunya ke editor kini asyik menjelajah dunia maya.

"Eh 'yang, kamu masih ingat dengan Kartolo?" kata Kuti.

"Kartolo? Kartolo yang mana?" Dee balik bertanya.

"Itu tuh, Kartolo Montopitunyo, teman SMAku. Yang dulu kuliah di Fakultas Kedokteran. Ingat?"

"Oh Kartolo yang itu? Tentu saja aku ingat. Bagaimana bisa lupa? Emang kenapa?"

"Baru-baru ini dia invite friend ke akun FB-ku. Udah aku terrima. Rupanya sekarang dia udah punya dua anak lho..."

"Wah, dia masih ingat kamu ya? Dan dia mengundang untuk jadi teman? Di akun FB kamu yang mana? Yang sukangeblog?" Dee bertanya sambil tersenyum. Dia tahu suaminya punya dua akun di FB, dan semuanya menggunakan nama alias. Pada akun yang satu Kuti memasang fotonya super gede.

"Bukan. Bukan yang sukangeblog, tapi yang satunya lagi. Kartolo termasuk aktif di FB sekarang. Statusnya berisi kata bijak yang mendewasakan..."

Dee mengangguk. "Kartolo itu gila ya? Aku masih gak percaya dengan apa yang dilakukannya tempo hari."

Beberapa tahun lalu, Kartolo memang sempat membuat sensasi. Dan semua terkait dengan (apalagi kalau bukan) cinta.

Begitu kuliah di Faked, Kartolo menjalin cinta dengan seorang gadis cantik--sebut saja namanya Layla-- yang kuliah di Fakultas Hukum. Namun karena sesuatu dan lain hal, hubungan cinta mereka kandas.

Ketika Kartolo memasuki semester akhir, karena sering 'praktek' di rumahsakit, dia berkenalan dan menjalin cinta dengan seorang perawat yang juga cantik manis--sebut saja namanya Viana. Beberapa bulan pacaran Kartolo melamar Viana. Pernikahan mereka dikaruniai seorang anak perempuan.

Karena dunia ini ternyata sempit, dalam suatu kesempatan, Kartolo bertemu dengan Layla, mantan kekasih di masa lalu. Benih cinta (tempo doeloe) yang pernah tumbuh di hati ternyata belum sepenuhnya hilang. Cinta lama itu bersemi kembali, kendati Kartolo tak lagi lajang. Diam-diam mereka merajut cinta terlarang. Selingkuh.

cinta-lama-bersemi-kembali

Perselingkuhan Kartolo-Layla tercium oleh Viana, yang tentu saja meradang. Viana pun memberi ultimatum: Pilih dia (maksudnya Layla) atau aku dan si kecil.

Dan Kartolo memilih.

Dia memilih... Layla!!!

Pilihan Kartolo tak hanya mengejutkan Viana. Juga kedua orang tua, saudara, kerabat, seisi kampung, fakultas dan rumah sakit tempat Kartolo biasa berpraktek. Beberapa pasien di ICU malah ada yang meninggal dunia (para pasien meninggal bukan karena Kartolo tapi  karena penyakitnya yang sudah parah, hehehe ;) ).

Tapi secara umum semuanya bertanya-tanya heran. Bagaimana mungkin Kartolo lebih memilih cinta masa lalunya dibanding istri dan anaknya?

Namun kejutan dari Kartolo tak berhenti sampai di situ. Tanpa pamit, dia pun minggat. Bersama Layla dia pindah ke kota lain, untuk membangun mahligai keluarga dari nol. Kartolo minggat hanya dua bulan sebelum diwisuda.

Sejak itu Kartolo putus kontak. Dia hanya pulang ketika ibunya (dan kemudian ayahnya) meninggal dunia. Hingga belakangan dia berkenalan dengan internet, dengan Facebook, dan mulai menjalin pertemanan dengan mereka yang dulu benar-benar menjadi teman.

"Ternyata CLBK tak hanya milik para ABG ya? Mereka yang sudah dewasa pun bisa. Dan pilihannya bisa mencengangkan," kata Dee.

Kuti mengangkat bahunya. "Aku juga tidak tahu apakah itu namanya cinta sejati, ataukah sebenarnya Kartolo sudah dibutakan cinta..."

Dee mengangguk setuju.

"Aku ingin tahu kira-kira apa komentar teman-teman seputar perbuatan Kartolo. Apakah dia memilih cinta sejatinya? Ataukah dia dibutakan cinta?"

Bagaimana pendapat Anda? ;)

p.s

Tulisan ini dibuat berdasarkan kisah nyata. Beberapa detil sengaja disembunyikan (dan diubah) untuk privasi


*gambar diambil dari doesmyexstilllovemequizzes*

Anak- anak dan Kerapihan Rumah

Tentang rumah, dan anak- anak…

LEBIH dari seminggu terakhir ini, ruang makan rumah kami berubah fungsi menjadi ‘bumi perkemahan’. Sebab si kecil anak bungsu kami mendirikan tenda di sana, dan setiap malam ‘berkemah’, tidur di tenda…

Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan ruang makan itu. Sleeping bag, karpet, bantal dan quilt, beberapa buku dan permainan anak- anak ada di sana. Sementara itu meja makan disingkirkan ke dekat pintu, kursi- kursi digeser berjejer di sepanjang dinding.

Dan si kecil anak bungsu kami itu setiap hari bergantian menunjuk kakak yang mana yang dia undang hari itu untuk turut ' berkemah ' bersamanya ( tenda itu hanya muat untuk dua orang, karenanya dia harus memilih satu dari dua kakaknya untuk tidur bersama dia di tenda ).

tenda-1

Walau rumah menjadi agak berantakan sebab ruang makan itu bertukar fungsi, kami – aku dan suamiku – membiarkan saja itu terjadi. Bukan membiarkan, tepatnya. Kami memang mendukung kegiatan berkemah di ruang makan itu, dengan sekali- sekali juga ‘berkunjung’ ke sana dan memastikan bahwa anak- anak yang sedang 'berkemah' itu dapat tidur dengan nyaman di sana.

Tentu saja, dengan ruang makan berubah fungsi seperti itu, rumah kami menjadi agak berantakan.

Tapi itu tak apa.

Bagi kami, kesenangan dan kenyamanan anak- anak saat berada di rumah peringkatnya lebih tinggi daripada sekedar memiliki rumah yang serba sangat rapi.

Oh, tentu saja tak berarti bahwa kami tidak mengajarkan kerapian dan kebersihan pada anak- anak, tapi pada dasarnya kami memang mentolelir situasi semacam itu.

Bukan hanya tenda di dalam rumah, anak- anak kami juga sering merakit rel kereta yang melingkar- lingkar di lantai ruang keluarga dan meminta agar saat mereka tidur hari itu rel tersebut tetap bisa ada di sana, sebab besok mereka akan meneruskan bermain. Resikonya, jika kami melalui ruang keluarga, kami harus berjalan agak berbelok- belok agar tak menginjak rel kereta mainan, atau gerbong- gerbong kereta mungil tersebut.

Atau… ha ha, anak- anak memang ada- ada saja. Rumah yang kami tinggali memiliki ketinggian lantai yang berbeda- beda di setiap ruangannya. Dan sebab beda ketinggian itu, terciptalah sebuah lorong yang menghubungkan teras luar, ruang keluarga dan ruang makan kami.

Lorong tersebut sempit, lebarnya mungkin kurang dari satu meter. Dan… rupanya adanya lorong sempit dimana satu sisi berbatas tembok dan sisi lain adalah ruangan dengan letak yang lebih rendah dianggap menantang oleh anak- anak kami yang laki- laki. Barangkali bagi mereka, itu seperti sebuah jalan dengan tebing tinggi di satu sisi, dan jurang di sisi lainnya. Akibatnya… rute teras – lorong ruang keluarga – ruang makan menjadi rute favorit mereka untuk… bermain sepeda!

Ya ampun !

Tapi begitulah… seperti yang telah kukatakan di atas, baik aku maupun suamiku memang mengijinkan anak- anak melakukan itu.

Karena itulah, dengan segera aku menyetujui tulisan Richard Templar yang dalam bukunya “ The Rules of Parenting “ mengatakan ‘being tidy isn’t as important as you think’ .


Richard Templar mengatakan bahwa dalam hal kerapihan dan kebersihan rumah, ada dua opsi yang dapat dipilih orang tua.

Yang pertama adalah selalu berusaha agar rumah tampak sangat bersih, rapi, semua barang ada pada tempatnya, tak ada bercak atau kotoran tersisa di sana sini, dengan resiko bahwa orang tua menjadi sangat lelah dan anak- anakpun tertekan dan tak dapat bersikap natural selayaknya anak- anak, atau pilihan kedua adalah bersikap santai, memaklumi bahwa anak- anak tetaplah anak- anak, dan memiliki kehidupan rumah tangga yang menyenangkan dengan seluruh anggota keluarga menikmati kehidupan di rumah, walau mungkin situasi rumah agak berantakan di sana- sini.

Richard Templar menegaskan bahwa dia bukan mengatakan bahwa anak- anak tak harus diajari mengenai kerapihan dan kebersihan. Hanya saja, katanya, biarkan mereka menikmati dulu, baru setelah itu semuanya dibereskan.

Menurutnya, tak masalah jika meja agak berbercak bekas tangan- tangan kecil, atau baju mereka agak kotor, sebab semua itu bisa dibersihkan. Sebaliknya, sungguh suatu masalah jika anak- anak itu tak diijinkan untuk bersantai dan bergembira.

Aku setuju dengan pendapat itu.

Bagaimanapun, saat kita membangun rumah, yang kita tuju adalah kenyamanan dan kebahagiaan seluruh keluarga, termasuk anak- anak, bukan?

Maka, bagiku.. tak apalah jika lorong rumah kami berubah menjadi lintasan balap sepeda, atau tempat yang seharusnya ruang makan berubah fungsi menjadi arena perkemahan. Sebab aku yakin, semua kesenangan dan kebahagiaan yang dialami saat masa kanak- kanak akan tertanam dalam sebagai kenangan manis dalam pikiran dan hati anak- anak. Dan aku yakin, anak- anak yang bahagia akan lebih mudah tumbuh menjadi seorang dewasa yang bahagia pula kelak…

Teman- teman punya pengalaman serupa atau yang berlawanan di rumah, barangkali?

p.s. i love you

** gambar diambil dari www.sunnysports.com **


Falsafah Jagung ala Bos Detik

Petang yang basah.

Kuti dan Dee duduk menikmati rintik hujan yang perlahan membasahi bumi. Melihat tetes hujan yang seperti air mata dewata menerpa bumi yang kerontang.

Di dekat mereka, di atas sebuah meja, nampak jagung rebus yang masih mengepulkan uap. Sekitar sejam lalu, Kuti dan Pradipta melakukan panen perdana jagung yang ditanam di belakang rumah. Lahannya tidak luas memang, namun cukup jika hanya untuk membudidayakan jagung secara 'iseng-iseng'. Kuti tertarik menanam jagung setelah mendapat hadiah benih dari rekannya, Leon. Menurut Leon, jagung ini rasanya manis.

"Ternyata Leon tidak bohong. Jagung ini manis," kata Kuti, sambil menikmati lezatnya jagung yang direbus istrinya.

jagung-rebus1

"Iya. Manisnya lebih terasa karena baru saja dipetik," sahut Dee. "Dan tak ada yang lebih membahagiakan dibanding menikmati hasil bumi yang ditanam sendiri..."

"Mmm.... Aku ingat dengan yang aku baca tentang jagung, ketika lagi browsing internet mencari data," kata Kuti. "Tentang falsafah jagung menurut pak Budiono Darsono..."

"Oh, pak Budiono yang bos Detik? Beliau bilang apa?"

"Pak Budiono konon pernah mengatakan, sebaiknya kita itu meniru jagung. Yang punya banyak biji namun ditutupi. Dan bukannya seperti jambu mede. Hanya punya satu biji namun dipamer-pamerkan..."

"Wah. Haha. Dalam sekali..."

"Iya. Punya banyak biji maksudnya punya banyak keahlian. Namun itu ditutupi dengan kerendahan hati. Dan bukannya memamerkan, padahal keahliannya hanya satu..."

"Aku setuju. Walau memang rada susah ya?"

"Iya," sahut Kuti. "Secara naluriah manusia cenderung untuk memamerkan kehebatannya, dan sukar untuk bersikap rendah hati..."

"Aku dulu juga suka baca tulisannya pak Budiono," kata Dee. "Sayang blognya yang di blogdetik gak diupdate lagi ya? Padahal isinya bagus-bagus lho. Cerdas dan kocak..."

"Iya. Tapi beliau masih aktif di FB dan Twitter. Updatenya di FB juga kocak namun cerdas..."

Sambil bicara, Kuti kembali mengambil jagung. Ini jagungnya yang keempat.

"Wah kau seperti kelaparan saja," goda Dee.

"Iya. Udah lama gak pernah makan jagung rebus semanis ini. Lagipula, kata orang jagung juga bisa menjadi pengganti nasi kan?"

"Oh jadi nanti malam kau gak makan?"

"Ya belum pasti. Kita lihat saja..."

Di luar, hujan masih gerimis. Di meja, jagung rebus tersisa tiga.

Ada yang berminat? ;)

(foto diambil dari cenycahyani)

Saat Berlayar...

Cahaya mentari samar menerobos kabut yang menggantung…

PRADIPTA berjalan di sisi kedua orang tuanya, Dee dan Kuti yang masing- masing menggendong seorang bayi.

Keluarga dari rumah kayu sedang berjalan- jalan di Minggu pagi itu.

Seperti biasa, pemandangan hutan cemara yang tampak dari kejauhan, ladang- ladang dengan tanaman jagung dan kol, bukit- bukit kecil yang naik turun dan bunga liar yang bermunculan di sana sini sungguh menyenangkan hati.

Si kembar mengoceh dengan bahasa bayi, dan tertawa- tawa bergurau dengan Pradipta.

Udara sangat sejuk. Sangat nyaman untuk berjalan- jalan sejenak seperti itu.

Di suatu tempat yang lapang, mereka berhenti untuk memakan bekal yang dibawa dari rumah, dan kemudian berjalan pulang.

Si kembar dengan segera tampak mengantuk dan tertidur tak lama setelah dimandikan dan bermain- main kembali sejenak dengan Pradipta. Kuti membaca koran pagi. Pradipta sibuk dengan krayon dan buku gambarnya.

Dee meraih sebuah buku dan duduk di dekat mereka. Dia membaca sambil sesekali mengomentari gambar Pradipta atau bicara dengan suaminya. Dan dia teringat tentang percakapannya dengan Kuti kemarin. Tentang angin dan arah layar…

berlayar-11Tentang kemana tujuan saat berlayar. Tentang perubahan. Dan tantangan yang dihadapi manusia dalam hidupnya.

Tantangan yang mungkin jika dihadapi akan terlampaui dengan baik, maupun tantangan yang mungkin menimbukan luka ringan, luka berat, bahkan bisa pula fatal akibatnya.

Tapi bagaimanapun, pikir Dee, apa yang dikatakan Toynbee itu benar. Keberhasilan manusia ditentukan oleh ketepatan reaksi atau tanggapannya terhadap tantangan yang dihadapinya.

Lebih jauh lagi, Toynbee mengatakan bahwa jika tantangannya terlalu besar, manusia yang menghadapinya akan kalah. Tapi sebaliknya, jika seorang manusia tak memiliki tantangan sama sekali, dia juga akan kalah. Manusia hanya akan berhasil jika dapat mengatasi tantangan yang tepat.

Tapi memang, pikir Dee, siapa pula manusia yang bisa memilih tantangan apa yang akan dihadapinya dalam hidup? Tak ada yang bisa seratus persen mengendalikan hidupnya.

Manusia, selalu bisa merencanakan ini dan itu. Dan rencana itu mungkin memang akan membantunya untuk terus berjalan pada jalur yang dikehendakinya. Tapi, selalu ada faktor X yang mungkin akan tiba- tiba menghadang di tengah jalan.

Faktor X inilah tantangan yang tak selalu dapat direncanakan itu. Dan faktor X ini bisa merupakan tantangan kecil, sedang atau besar…

Kekuatan manusia memang terbatas. Kemampuan untuk mengatasi tantangan juga terbatas. Tapi…

Bagaimanapun manusia tak bisa berhenti bergerak. Tak bisa berhenti di satu titik.

Hidup harus terus mengalir. Dan sebisanya tentu mengalir ke arah yang lebih baik.

Dan semua itu merupakan proses yang harus dilalui…

Adakalanya, manusia bisa melayari samudera kehidupan dengan santai dan nyaman sebab arah angin menguntungkan dirinya. Mendorong laju perahu ke arah yang diinginkannya. Adakalanya pada saat jeda, manusia bahkan tak perlu terlalu memusingkan hendak berlayar kemana. Kemanapun jadilah.

Tapi ada banyak waktu ketika manusia akan harus menghadapi situasi dimana dia harus memutuskan, apakah dia akan semata mengikuti arah angin, atau tidak? Dan jika tidak, maka pilihan memang tak akan mudah.

Solusinya, bisa dengan menyesuaikan arah layar, untuk mempercepat laju perahu dengan memanfaatkan arah angin. Bisa juga dengan memperkuat diri, membekali diri dengan alat agar dapat menentang arah angin. Bisa juga…

Dengan berhenti sejenak. Atau berpindah sementara.

Jika seorang manusia yang menginginkan perbaikan atau perubahan menghadapi tantangan yang sangat besar yang tak mampu dihadapinya saat itu, maka dia akan harus kembali mengatur strategi dan/ atau memperkuat diri serta meningkatkan kualitas diri agar pada suatu saat dapat menghadapi tantangan tersebut.

Dan pada saat seperti itu dia mungkin akan harus menepi sejenak. Atau hijrah. Pindah ke tempat lain.

Diperlukan kesabaran yang amat sangat, memang.

Perubahan tak pernah mudah. Akan banyak hambatan. Akan banyak sekali pihak yang menentang. Akan banyak pihak yang berusaha mati- matian agar laju perahu tak menjadi goncang sebab ada perubahan. Ada banyak yang akan mempertahankan status quo sebab khawatir akan harus meninggalkan comfort zone.

Ada banyak manusia yang enggan bergerak, enggan berubah, enggan menghadapi tantangan sebab tak berani menghadapi konsekwensinya.

Bagaimanapun, suka atau tidak, dunia tak berhenti berputar. Dan perubahan tak akan terelakkan. Manusia tak bisa berhenti di satu titik. Manusia harus bergerak maju… maju… maju… berubah menuju kebaikan.

Luka- luka mungkin memang akan terjadi dalam perjalanan itu. Tujuan yang ingin dicapai barangkali akan tampak seperti titik yang masih sangat jauh dan entah kapan akan terjangkau.

Banyak yang tak tahan menjalani proses perubahan karena terlalu berfokus pada hasil. Padahal yang justru tak boleh dilupakan adalah bahwa sebenarnya bukan semata hasil, tapi proses saat menjalani hal tersebut juga berarti. Sebab semua itu merupakan pembelajaran.

Luka- luka yang terjadi akan memperkaya diri, menghaluskan pikiran dan rasa. Dan akan dapat menjadi bekal untuk menaklukkan tantangan yang lebih besar kelak.

Tentu, saat menghadapi tantangan selayaknya manusia juga menghitung resikonya. Tentu, pada kebanyakan saat, akibat yang fatal bukanlah pilihan. Walau pada saat- saat tertentu mungkin memang itulah yang akan harus dipilih.

Para pejuang kemerdekaan yang kemudian gugur dalam perang tentu tak dapat dikatakan melakukan sesuatu yang sia- sia. Sebab, mereka telah membuat perubahan. Telah terlibat dalam proses menuju ke arah yang lebih baik.

Dan adakalanya memang, apa yang diperjuangkan oleh seseorang tak selalu dapat dinikmatinya. Mungkin yang menikmati kelak adalah anak dan keturunannya, atau orang- orang di sekitarnya.

Bagaimanapun, mereka telah meninggalkan jejaknya…

***



“ Bunda, “ tiba- tiba terdengar suara Pradipta, “ Puding coklat yang kemarin itu masih ada? “

“ Ada Dipta, di kulkas “ jawab Dee. Dan dia bangkit dari duduknya “ Ambil yuk, Bunda juga mau… “

Dee menoleh pada Kuti yang masih asyik dengan korannya. “ ‘yang, “ Dee menawarkan pada Kuti, “ Mau puding juga? “

Kuti menjawab, “ Ya deh. Makasih. “

Dan Dee beserta Pradipta beranjak berjalan menuju dapur dimana puding coklat dingin yang lezat tersebut berada…

p.s i love you


** gambar dibuat oleh RW **

Tentang Arah Angin dan Arus Air

Tentang arah angin, dan tantangan...

KUTI memeluk Dee yang berbaring di sebelahnya sambil tertawa-tawa. Hari menyentuh malam saat itu, anak-anak sudah tidur, dan mereka menghabiskan waktu menanti kantuk datang berdua dengan bertukar cerita- cerita ringan dan gurauan lucu.

" Eh 'yang," kata Dee, "Pernah dengar cerita lucu tentang ayam nggak?

Kuti menggeleng. " Nggak," katanya, "Gimana tuh ceritanya? "

Dee tertawa kecil sambil mulai bercerita." Jadiiiii.." katanya sambil tertawa- tawa, " Ada seorang pemuda, sebut saja namanya Yanto, yang bekerja di peternakan ayam.."

" Lalu.. " kata Dee lagi " Pada suatu hari dia diminta oleh pemilik peternakan untuk mengirimkan 50 ekor ayam pada pelanggan. Pemilik peternakan menyuruh Yanto mengirimkan ayam- ayam tersebut menggunakan motor sambil berkata, " Ini alamat pemesannya. Antarkan ayam- ayam itu ke sini. "

Kuti tersenyum menatap istrinya yang terus bercerita.

" Yanto mengantungi alamat yang diberikan, lalu mengikat ayam- ayam tersebut di samping kanan dan kiri motornya, dan berangkatlah dia, " ujar Dee.

" Malang tak dapat ditolak, di tengah jalan motornya oleng, lalu terguling. Yanto terjatuh dan tali yang digunakan mengikat ayam terbuka simpulnya. Ayam- ayam itu terlepas dan kabur berhamburan.

Warga sekitar berdatangan untuk membantu Yanto. Untunglah, dia rupanya tak terluka parah, hanya lecet- lecet sedikit saja. Dengan segera dia berdiri, lalu memandangi ayam- ayam yang berlarian kesana- kemari lalu tertawa terbahak- bahak.

Yanto begitu geli sampai terbungkuk- bungkuk dan membuat para warga yang membantunya terheran- heran. Mereka bertanya mengapa dia tertawa saat ayam- ayam yang dibawanya berlarian seperti itu.

Yanto mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya dan tertawa sambil menunjukkan kertas itu pada orang- orang yang bertanya padanya. " Ha ha ha ha ha..., " katanya, ' Ha ha ha. Ayam- ayam itu pada mau lari kemana? Mereka kan tidak tahu kemana tujuan mereka, nah ini kan alamat tujuannya ada di saya, ' kata Yanto sambil terus tertawa... "

Kuti terbahak. Ha ha ha... Error betul cerita itu, ha ha ha...

Dee yang sejak tadi sudah terus tertawa- tawa kecil juga kini tertawa lebar menyambung tawa suaminya...

Dan begitulah, mereka bergurau dan saling bertukar cerita. Tentang kantor, tentang Pradipta dan si kembar Nareswara dan Nareswari, tentang ban mobil yang sudah perlu diganti, sampai...

Dee teringat pada sesuatu.

sail

Dia merapat pada suaminya, merasakah kehangatan tubuh sang suami sambil berkata," 'yang... posting tentang arah angin itu... "

Oh itu. Kuti mengangguk, " Ya. Ada apa dengan posting itu? "

" Itu, " kata Dee, " Tentang merubah layar itu. Merubah layar, bisa merubah kecepatan, dan juga... arah..."

" Iya, " Kuti mengangguk.

" Jadi 'yang, " kata Dee pada suaminya, " Sebetulnya kita juga harus berhati- hati saat berlayar dan merubah layar bukan? Merubah layar untuk menambah kecepatan dengan memanfaatkan arah angin barangkali memang tepat, tapi merubah layar dengan dampak merubah arah... he he he... nah tadinya, waktu berlayar memangnya arahnya mau kemana? "

Hmmm... Kuti memikirkan apa yang dikatakan Dee.

" Jadi, ini masalah tujuan, 'yang... " kata Dee. " Jika kita berlayar sekedar untuk berjalan- jalan menikmati pemandangan, dan apapun pemandangan itu tak menjadi masalah bagi kita sebab melihat- lihat itu akan cukup untuk menyenangkan hati kita, maka berlayar mengikuti arah angin memang akan baik- baik saja...

Jika kita sedang berpiknik diantara banyak pulau kecil yang cantik dan kita memiliki banyak waktu maka tak masalah jika pelayaran hari ini berakhir di suatu pulau, lalu kita menikmati keindahan pasirnya yang putih, airnya yang bening, karang- karang dan ikan- ikan yang indah di situ, lalu besok mengamati arah angin lagi dan merubah layar lalu berlabuh di pulau kecil yang lain dan menikmati pulau tersebut.

Tapi... jika sudah waktunya pulang ketika waktu berlibur telah tiba, maka kita tak bisa sekedar merubah layar dan membiarkan arah angin membawa kita kemanapun sebab kita memiliki suatu tujuan tertentu, bukan? "

Kuti tersenyum. Dia mulai bisa membaca ke arah mana pembicaraan mengalir...

" Ada seorang filsuf Amerika yang bernama Allan Watts, " kata Dee, " Yang pernah mengatakan' anda tak dapat membimbing sebuah kapal hanya dengan mengamati ombaknya. ' Ombak, dalam hal ini, akan sangat berhubungan dengan angin dan arah angin, bukan? Dan tentang arah angin ini... "

Kuti melingkarkan tangannya ke tubuh sang istri. Dee tersenyum senang. Berada dalam pelukan suaminya adalah salah satu hal yang paling membuatnya merasa tenteram dan bahagia.

" Tentang arah angin ini, " kata Dee, " Kita memang mungkin tak bisa merubah arah angin, tapi kita dapat menggunakan alat agar kita dapat mencapai tujuan dengan kekuatan yang dapat mengatasi angin, bukan? "

" Misalnya? " pancing Kuti. Dia ingin mendengar pendapat istrinya.

" Misalnya, jika perahu layar tak cukup kuat untuk mengatasi tiupan angin dan akan menyulitkan kita mencapai tujuan, mengapa tak menggunakan perahu motor? "

Kuti membiarkan istrinya terus berbicara.

" Atau, " Dee tersenyum, " Gunakan saja pesawat terbang. Pesawat terbang itu, seingatku, saat lepas landas atau mendarat bahkan harus menentang arah angin, bukan? "

Kuti tertawa. Ah, istrinya sedang bicara tentang kekuatan yang perlu dimiliki manusia untuk melakukan perubahan, rupanya.

Kuti mengenal istrinya. Dee istri yang sederhana, sebetulnya. Dia menjalani hidup dengan cara pandang sederhana, dan tidak neko- neko. Tapi, di pihak lain, Kuti memahami bahwa bagi Dee, perubahan adalah suatu keniscayaan. Dee selalu percaya perlunya seseorang bertindak sebagai the agent of change.

" Perubahan itu tak bisa dihindari, 'yang... " kata Dee. " Aku tak bilang bahwa kita tak perlu menghormati tradisi, tapi kita kan tak juga bisa selalu terpaku pada suatu kebiasaaan tertentu atau situasi tertentu. Sebagai manusia, kita harus punya tujuan, dan harus bergerak maju... "

" Aku pernah membaca pendapat Toynbee, " Dee bicara lagi ( Kuti dengan segera memahami bahwa yang dimaksud Dee adalah Arnold Toynbee, sejarawan dan filsuf asal Inggris ), " Toynbee mengatakan bahwa keberhasilan manusia ditentukan pada kemampuannya bereaksi atau menanggapi tantangan yang dihadapinya... "

" Dan pada kenyataannya manusia tak selalu mampu menghadapi tantangan yang dihadapinya, bukan, Dee? " kata Kuti, " Adakalanya manusia mampu menghadapi itu dengan baik, adakalanya terluka ringan, adakalanya terluka berat dan cedera atau bahkan bisa juga berakibat fatal... "

Dee mengangguk. Kuti benar. Tantangan kadangkala begitu besar sehingga manusia tak mampu menghadapinya, tapi...

Dee berpikir sejenak sebelum menjawab komentar suaminya. Dia mulai merasa sangat mengantuk dan memejamkan matanya sejenak, mengambil waktu sebelum berkata- kata. Tapi matanya makin terasa berat.

Dee mengambil keputusan. Dia menyusupkan kepalanya ke dada sang suami dan berkata, " Besok aja ngobrolnya diterusin ya 'yang, aku ngantuk sekali ... "

Kuti tersenyum sambil mengelus rambut sang istri. Dipeluknya lebih erat Dee yang dengan segera terlelap dalam pelukannya...

p.s. i love you



** gambar diambil dari: mccainvrsobama.files.wordpress.com **

Jika tak bisa mengubah arah angin....

JIKA tak bisa mengubah arah angin, cobalah mengubah layar...” Demikian kutipan percakapan antara Mozz dan Neal Cafrey dalam serial White Collar yang aku saksikan beberapa hari lalu.

Percakapan yang sederhana, namun menyiratkan banyak hal.

Dalam kehidupan, kita memang tak bisa mengubah arah angin. Dalam skala kecil, kita memang bisa ‘merekayasa’ arah angin, misalnya dengan mengaktifkan kipas angin, mengibaskan koran ke dekat wajah, atau membuka kaca mobil. Namun dalam skala besar, kita tak bisa mengubah arah angin. Karena angin datang dan pergi ke mana dia suka.

Di dunia, hanya satu orang yang bisa mengubah arah angin. Dia bernama Storm. Namun Storm, yang tergabung dalam kelompok X-Men adalah karakter fiksi. Di dunia nyata tak ada orang yang bisa mengubah arah angin. Bahkan teknologi yang paling cerdas sekalipun belum bisa mengubah arah angin secara permanen.

storm

Jika arah angin tak bisa diubah, cobalah mengubah layar...

Pada perahu yang menggunakan layar, letak layar akan menentukan kecepatan dan juga arah.

Jika arah angin tak bisa diubah, cobalah menyesuaikan layarnya. Dan ambil keuntungan dari arah angin itu...

***



Dalam kehidupan, kita acapkali dihadapkan dengan arah angin yang tak bisa diubah. Sebagai contoh, kita mungkin ‘terjebak’ dalam pekerjaan yang tidak disenangi, namun terpaksa dilakoni karena tak ada alternatif lain.

Banyak yang terpaksa menghabiskan sebagian besar waktu untuk pekerjaan, dan menyisakan sangat sedikit untuk keluarga. Banyak yang meninggalkan rumah ketika anak-anak masih tidur dan tiba kembali ke rumah ketika anak-anak sudah tidur.

Mungkin banyak dari Anda yang ‘terjebak’ pada situasi kerja yang tidak menyenangkan. Atau lingkungan kerja yang membosankan.

Jika Anda tak bisa mengubah arah angin (artinya tak bisa meninggalkan pekerjaan yang sekarang), cobalah mengubah letak layar. Artinya, jika punya waktu luang (misalnya Sabtu atau Minggu), cobalah meluangkan waktu yang berharga itu untuk keluarga. Jangan seperti pihak tertentu yang di waktu luang justru menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak berguna....

Jika lingkungan kerja tak menyenangkan atau cenderung membosankan, cobalah berdamai dengan diri sendiri. Carilah bagian yang menyenangkan, atau ciptakan jika memang tidak ada.  Jika memungkinkan, lengkapi diri Anda dengan sejumlah tools atau gadget yang bisa memunculkan suasana fun dan menyenangkan, selama itu tidak mengganggu atau merusak hubungan kerja dengan pihak lain.

Anda juga mungkin bisa mencari peluang lain. Mencoba nyambi. Misalkan di kantor punya akses intenet tak terbatas, cobalah mencari peluang tambahan dengan memanfaatkan koneksi internet.

Di samping itu, tentu saja tetap mengamati jika arah angin benar-benar sudah berubah, artinya Anda bisa mendapatkan peluang bekerja di tempat lain. Namun jika ingin pindah, pastikan Anda sudah mendapatkan tempat kerja yang baru sebelum meninggalkan yang lama.

Contoh lain, mungkin dalam keluarga Anda terpaksa berhadapan dengan mertua yang tak punya perasaan. Atau ipar yang menjengkelkan.

Jika Anda tak bisa mengubah arah angin (Anda tak bisa bercerai dengan suami atau istri), cobalah mengubah letak layar. Artinya, cobalah memahami psikologi mertua atau ipar. Jika saat ini Anda terpaksa menetap di ‘Graha Mertua Pemai’, cobalah melihat kemungkinan untuk mengontrak atau tinggal di tempat terpisah.

Contoh lain lagi, mungkin Anda termasuk dalam pihak yang frustrasi dengan situasi dan kondisi dalam negeri. Gemas dengan wakil rakyat yang tak punya nurani, kesal dengan pemimpin negeri yang lamban, geregetan dengan masih banyaknya aksi korupsi dan hal-hal lain yang membuat darah tinggi.

Jika tak bisa mengubah arah angin (Anda tak bisa melakukan revolusi atau kudeta, atau meninggalkan Indonesia dan menjadi warga negara lain), maka cobalah mengubah layar. Dengan cara melakukan perbaikan mulai dari unit terkecil. Yakni diri sendiri dan keluarga. Mencoba menanamkan hati nurani, mencoba berperilaku bersih, dan berusaha keras untuk hidup jujur. Di saat bersamaan, cobalah melakukan koreksi. Tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Misalnya melakukan kritik melalui media, terutama blog.

Tentu, bukan hal yang mudah untuk mengubah layar. Apalagi jika tiba-tiba angin yang sepoi berubah menjadi badai.

Namun dengan melakukan penyesuaian, kita bisa beradaptasi.

Arah angin memang tak bisa diubah. Namun bisa dimanfaatkan.

Bagaimana pendapat Anda?

Saat Patah Hati...

Hujan gerimis turun sejak pagi.


DEE dan Kuti duduk di teras menikmati coklat hangat di teras rumah kayu. Wangi tanah basah menghambur menyenangkan hati. Di teras yang sama, Pradipta sedang tertawa- tawa bermain monopoli dengan Mark, kawannya, dan Pratama, sepupunya. Sementara itu, duduk di dekat mereka, Cintya  membaca majalah remaja.


Mungkin karena udara dingin, si kembar Nareswara dan Nareswari tampak mengantuk tak lama setelah makan tadi dan saat ini keduanya sedang tidur.


Dee melirik jam tangannya. Ah, pikirnya, puding roti yang tadi sedang dibuatnya mungkin sudah matang sekarang. Dia bangkit dari duduknya dan menuju ke dapur. Kemarin dia membaca resep puding roti dan berniat mencoba membuatnya saat udara sedang dingin. Bahan- bahannya sederhana dan membuatnyapun mudah.


Dihampirinya kompor di dapur dan dibukanya dandang dimana dia tadi mengukus pudding roti tadi. Uap panas menyambutnya. Dee menusuk puding yang sedang dikukusnya dengan garpu lalu mengamati garpu tersebut. Ah benar, sudah matang tampaknya.


Dee mematikan kompor lalu diangkatnya pinggan tahan panas dari kukusan dan dibawanya ke teras rumah dimana Kuti dan Pradipta serta para sepupu dan kawannya berada.


“ Puding roti, ‘yang… “ kata Dee pada suaminya, “ Mau coba? “


Kuti mengangguk.


Dee mengambil piring kecil dan pisau yang semenjak tadi sudah ditaruhnya di meja teras. Dipotongnya hati- hati puding yang masih panas di pinggan dan diangsurkannya piring kecil tersebut pada Kuti. Suaminya mengangguk sambil mengucapkan terimakasih sembari menerima piring berisi puding, lalu meraih sendok kecil yang juga sejak tadi telah disiapkan Dee di meja teras.


“ Mas… Dipta, Mark, “ Dee memanggil ketiga anak lelaki yang masih dengan seru bermain monopoli, lalu disambungnya dengan, “ Kak,” seraya menoleh pada Cintya, “ Ayo coba dulu pudingnya, mumpung masih hangat… “


Anak- anak itu tak menolak. Mereka menghentikan kegiaan mereka lalu menghampiri Dee yang telah memotong- motong puding roti yang dibuatnya dan menaruhnya dalam piring- piring kecil. Mereka lalu menyuapkan perlahan- lahan puding hangat itu ke dalam mulut.


Dee memperhatikan anak- anak tersebut dan tersenyum senang melihat mereka menikmati puding roti buatannya. Untuk sementara dadu dan kartu- kartu permainan monopoli serta majalah tergeletak menanti.


Saat menatap majalah remaja itulah mata Dee menangkap judul tulisan yang sedang dibaca Cintya. Melihat judul dan ilustrasinya, Dee memahami bahwa Cintya sedang membaca sebuah cerpen. “Ketika Kinanti Patah Hati “, begitu judul cerpen yang terbaca oleh Dee.


Dee tersenyum maklum. Bagi anak remaja seusia Cintya, urusan cinta, dan patah hati, memang tampaknya menjadi topik utama yang akan ada dalam urutan prioritas yang mereka anggap penting.


Dan Dee teringat pada seorang remaja yang beberapa waktu yang lalu meminta nasihatnya urusan patah hati...


***


“ Jadi mas, “ kata Dee saat itu, “ Sakit hati sih boleh saja… tapi jangan lama- lama… rugi ! “


Remaja di hadapannya memandang Dee, memaksakan senyum.


Dee menatapnya maklum. Dia tahu, pemuda ganteng yang duduk di depannya itu mungkin sedang berpikir “ ngomong sih gampang… “ saat mendengar apa yang Dee katakan itu.


Remaja ini adalah anak kawan Dee. Ayah pemuda ganteng ini dulu bertetangga dengan Dee. Bukan kawan sebaya, usia mereka sebenarnya terpaut jauh, tapi mereka memang bergaul cukup dekat. Dee selalu menganggap tetangganya itu sebagai kakaknya.


Kini mereka tinggal terpisah kota. Kadang- kadang saja bertemu saat pulang ke kota kelahiran. Tapi kebetulan, anak sulung tetangga masa kecilnya itu kuliah di kota dimana Dee tinggal saat ini, dan di waktu- waktu senggang kadangkala dia mampir ke rumah kayu.


be-strong


“ Begini mas, “ kata Dee pada Didiet, anak kawannya itu, “ Bukan tante nggak mengerti apa yang dirasakan mas Didiet sekarang, tapi tante memang berpendapat, kalau diputuskan pacar seperti apa yang terjadi pada mas Didiet sekarang ini, salah satu cara untuk mengobati sakit hati yang terjadi adalah justru dengan memastikan bahwa hidup kita baik- baik saja.. “


Didiet mendengarkan tanpa bicara.


Dia memang tadi bercerita pada Dee bahwa dia baru saja putus dengan pacarnya. Diputuskan, tepatnya. Tak jelas apa alasannya tapi bahkan ketika Didiet masih sedih dan patah hati sang mantan pacar, Kania bahkan sudah menggandeng pemuda lain.


Dee berkata pada Didiet, “ Kalo tante sih ya, “ kata Dee, “ Selalu beranggapan bahwa ketika kita sakit hati atau merasa dipandang rendah – perasaan yang juga biasanya muncul saat hubungan cinta diputuskan secara sepihak -- maka satu- satunya cara untuk membalasnya adalah dengan meningkatkan kualitas kita sendiri, dengan memastikan bahwa hidup kita terus berjalan seperti biasa. Dengan menata hati dan mengikuti banyak kegiatan yang akan meningkatkan kemampuan diri kita, dalam bidang apapun…”


“ Sebab, “ kata Dee ketika itu, “ Jika ujian semacam itu bisa kita lalui dengan baik, maka di situlah sebenarnya kita bisa menunjukkan kualitas kita yang sebenarnya."


" Jika kita menjadi terpuruk," lanjut Dee lagi, " Dan mengabaikan banyak kesempatan dalam hidup karena patah hati, misalnya kuliah menjadi kacau, tak lagi mau mengikuti kegiatan- kegiatan ekstra kurikuler, absen dari lapangan olah raga dimana kita biasa beredar, tak lagi bersemangat membaca buku- buku yang bagus atau apapun kegiatan semacam itu dan kita kerjanya cuma melamun dan bersedih terus menerus, kita jadi rugi dua kali. Sudahlah diputuskan oleh pacar, hidup kita menjadi berantakan pula…”


“ Kalau menurut pendapat tante, “ kata Dee pada Didiet, “ Dalam kondisi seperti itu kita justru harus fokus pada diri sendiri. Pastikan walau hati sedang remuk karena putus cinta, kita tetap berprestasi dalam bidang lain di hidup kita.  "


Dan Dee ingat bahwa dengan senyum dikulum dia mengejapkan matanya pada Didiet sambil tersenyum, "Tetaplah kuat. Cara membayar sakit hati dan' membalas dendam' yang positif adalah dengan memastikan bahwa hidup tetap berjalan baik dan mas Didiet  suatu saat bisa bangga dan menatap dunia dengan kepala tegak.  Kita harus menyayangi diri sendiri. Jangan biarkan siapapun merendahkan atau membuat kita merasa rendah. Tunjukkan pada seisi dunia -- termasuk Kania --  bahwa mas Didiet memiliki kualitas diri yang baik untuk dapat mengatasi kesulitan. Bahwa dengan atau tanpa Kania, hidup tetap bisa berjalan seperti biasa. "


***


" Bunda, aku mau pudingnya lagi... "


Suara Pradipta yang mengatakan ingin menambah lagi puding rotinya membuat lamunan Dee buyar.


Dee mengangguk. " Ambil sendiri, Dipta. Itu Bunda sudah potong- potongkan, " kata Dee sambil menunjuk ke arah pinggan.


Pradipta mengangguk dan mengambil sepotong puding lagi.


Dee melirik majalah yang masih terbuka di halaman yang sama.


" Ketika Kinanti Patah Hati ", judul itu terbaca lagi oleh Dee.


Dee tersenyum dalam hati. Entah apa isi cerpen itu, tapi Dee berharap semoga isinya menguatkan dan menginspirasi para remaja pembaca cerpen tersebut.


Patah hati jika dikelola dengan baik bisa menjadi titik penting dalam hidup  Titik dimana seseorang belajar mengatasi sakit hati dengan cara positif serta mendidik diri sendiri untuk dapat tumbuh dewasa dengan jiwa yang kuat dan kualitas yang baik untuk dapat menghadapi beragam ujian dalam hidup...


p.s. no one can make you feel inferior without your consent ( eleanor roosevelt )
i love you...



** gambar diambil dari: www.uexpressit.com **

Perbedaan, Kebaikan Hati dan Perdamaian

Lagi, tentang warna kulit. Tentang perbedaan.

BELUM lama ini aku menonton sebuah film yang sangat menyentuh berjudul The Blind Side. Film ini merupakan film semi biografi, drama olahraga yang diilhami oleh kisah hidup Michael Oher, pemain All American Football.

Adalah Leigh Anne, seorang interior designer dan Sean Tuohy, seorang pebisnis sukses, yang mengajak seorang anak jalanan kulit hitam bernama Michael Oher untuk menjadi bagian dari keluarga mereka. Keluarg Tuohy yang berkulit putih, mudah diduga, mendapatkan begitu banyak pertanyaan dari para kenalan mereka tentang keputusan ini.

Tapi mereka abaikan semua itu. Mereka membantu Michael untuk mengejar ketertinggalannya di sekolah, dan memberikannya kesempatan untuk bermain dalam team football, termasuk mengupayakan pelajaran tambahan agar Michael dapat mencapai nilai yang disyaratkan sehingga berhak memperoleh beasiswa yang ditawarkan oleh universitas- universitas yang menghargai kepiawaiannya di lapangan football.

Cerita berakhir happy ending ketika Michael berhasil melampaui nilai pelajaran yang disyaratkan dan kemudian bergabung dengan Ole Miss ( University of Mississippi) , kampus tempat kedua orang tua angkat dan kemudian juga saudara angkatnya bersekolah.

Film yang dibintangi Sandra Bullock dan Tim Mc Graw sebagai Leigh Anne dan Sean Tuohy, serta Quinton Aaron ( yang berperan sebagai Michael Oher ) ditutup dengan rangkaian foto- foto yang menunjukkan foto keluarga Leigh Anne, Sean Tuohy serta Michael Oher dan dua putra-putri keluarga Tuohy yang asli.

Sungguh mengharukan dan sangat menyentuh melihat betapa ketulusan dan kebaikan hati sebuah keluarga telah dapat menyelamatkan hidup seorang anak jalanan yang tak memiliki tempat tinggal tetap, tak diketahui ayahnya serta dipisahkan dari ibunya sejak berusia tujuh tahun semacam ini.

Lebih mengharukan lagi sebab kisah ini menunjukkan betapa rasa kemanusiaan dan kebaikan hati memang selayaknya diberikan tanpa memandang ras, atau warna kulit…

unity-in-diversity


***


Dalam sebuah liburanku bersama keluarga ke daerah Minahasa, aku menemukan sebuah majalah yang disediakan di kamar bungallow yang kami tempati, sebuah bungallow yang terletak di tepi pantai berpasir coklat keputihan dengan air yang sangat bening.


Aku membaca majalah itu dan menemukan artikel tentang sepasang suami istri yang berasal dari Eropa.


Dalam artikel itu diceritakan bahwa beberapa saat sebelum sang suami pensiun, mereka mulai mencari tempat dimana mereka akan menghabiskan masa pensiun.


Tak menemukan tempat itu di negaranya, mereka ( yang termasuk pasangan dengan kemampuan finansial yang baik dan karenanya memiliki ruang cukup luas untuk memilih ) menjelajahi beberapa negara untuk mendapatkan tempat yang mereka impikan itu. Negara- negara di Eropa telah mereka susuri, tapi tak menemukan tempat impian itu.


Mereka juga berkeliling ke tempat- tempat lain, ke negara- negara di benua lain. Tak juga ada tempat yang membuat mereka dapat memutuskan bahwa itulah tempat yang mereka cari.


Sampai pada suatu saat, mereka berlibur ke daerah Minahasa. Dan seperti kebanyakan turis lain, tujuan utama mereka adalah untuk melihat keindahan laut di daerah ini. Snorkeling dan diving menjadi agenda utama. Mereka menghabiskan banyak waktu di tepi laut, sampai pada suatu hari, mereka memiliki satu hari kosong yang mereka manfaatkan untuk berjalan- jalan ke daerah pegunungan.


Dan tibalah mereka di sekitar Tomohon.


Tomohon memang indah. Letaknya di daerah yang tinggi, diapit beberapa gunung, dan di banyak tempat bisa didapati kebun- kebun kelapa dengan pemandangan sekitar yang sangat cantik.


Dan pasangan suami istri ini serta merta jatuh cinta pada daerah itu. Begitu saja. Lalu sisa liburan mereka yang tadinya masih akan mereka habiskan di tepi laut tanpa terduga akhirnya berubah menjadi liburan di pegunungan, di Tomohon.


Dan diluar rencana, sebab tadinya daerah Minahasa sama sekali tak masuk daftar dimana mereka akan mencari tempat menetap setelah pensiun, mereka membuat keputusan segera bahwa itulah tempat yang mereka inginkan untuk tempat tinggal mereka seterusnya.


Mereka wujudkan segera impian itu. Mereka membangun rumah di sana, dan inilah bagian yang paling penting, yaitu bahwa bukan hanya mereka jatuh cinta pada daerahnya tapi mereka memang berniat menjadi bagian dari daerah itu. Mereka tinggal di sana dan berbaur dengan penduduk asli. Bergabung dalam kegiatan- kegiatan yang dilakukan masyarakat di sana.


Mereka bergaul baik dengan orang- orang yang tinggal di sekitar mereka. Juga belajar untuk membuat kerajinan tradisional serta memasak masakan setempat.


Bukan hanya mempelajari adat istiadat, budaya serta kerajinan dan masakan setempat, tapi pasangan suami istri ini juga berbagi ilmu. Mereka mengajarkan banyak keterampilan yang mereka miliki pada masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka memang bukan hanya 'numpang tinggal' tapi kemudian benar- benar menjadi bagian dari masyarakat setempat.


Bagiku, cerita semacam itu selalu menyentuh hati. Sebab aku memang selalu percaya bahwa ada banyak hal yang universal di dunia ini.


Ada banyak hati yang dapat saling bertaut, ada banyak pikiran yang saling tersambung, ada banyak kedekatan dan kebaikan yang dapat saling dilakukan oleh dan pada sesama manusia tanpa mempermasalahkan tentang warna kulit, bahasa, agama atau batasan- batasan lain.


Aku percaya jika kita memang bersedia membuka hati, membuka mata, dengan mudah kita akan dapat saling melihat dan mengerti banyak hal dari orang- orang yang secara fisik berbeda warna kulit, mata, rambut, atau berbeda bahasa maupun keyakinan agama dengan kita.


Sebab aku selalu percaya bahwa kebaikan memang tak pernah dapat diukur dengan apa warna kulit seseorang.


Sebab aku percaya, bahwa perbedaan bahasa dapat dijembatani dengan keinginan untuk saling mendekatkan diri.


Sebab aku percaya, jika orang memahami ajaran agamanya masing- masing dengan baik dan bukan semata menjalankan ritual tanpa mengerti esensi ajarannya, maka hanya damailah yang akan ada di dunia ini sebab semua manusia akan saling menjaga, sebab semua manusia akan mengulurkan tangan untuk berbuat baik pada sesama manusia tanpa perlu merasa tersekat oleh terlalu banyak prasangka yang tak perlu...


p.s. i love you...


 ** gambar diambil dari: www.flickr.com/photos/darlenesanguenza **