Harapan dan Ketidakcocokan Dalam Pernikahan

Yang membuat pernikahan bahagia bukan tingkat kecocokan kita dengan pasangan, tetapi seberapa besar kemampuan dan kesediaan kita untuk mengatasi ketidak cocokan ~ Leo Tolstoy


HARI itu cerah. Pintu utama rumah kayu terbuka lebar. Beberapa keluarga yang bersaudara sedang berkumpul di sana.


Pradipta tampak sangat gembira berada di antara para sepupunya. Mereka berlarian tanpa henti keluar masuk rumah, berpindah dari halaman depan ke samping, ke belakang. Sementara itu, para orang tua berkumpul di ruang tengah sambil mengawasi anak- anak yang lebih kecil.


Cintya, sepupu Pratama yang kini sudah tumbuh menjadi gadis remaja, seperti biasa, berada di antara para orang tua dengan buku di tangannya. Dia sedang membaca novel, entah apa judulnya. Di pojok ruangan, Pratama tampak membalik- balik koran terbitan hari itu. Ada berita yang menarik perhatiannya, tentang ekspedisi pendakian gunung di suatu daerah, lengkap dengan catatan sejarah mengenai kerajaan- kerajaan jaman dahulu yang hilang terkubur saat terjadi letusan besar gunung tersebut.


Beragam makanan tampak di atas meja. Larasati, ibunda Respati, Kirana dan Radya membawa Klapetaart yang dibikinnya. Prameswari, ibunda Cintya dan Pratama, datang dengan banana cake yang masih hangat. “ Baru keluar dari panggangan, “ katanya tertawa saat menyodorkan banana cake itu tadi pada Dee. Dee sendiri mengeluarkan siomay dan bakso tahu buatannya.


Sebagai pelengkap dari semua itu, Jeanette, ibunda Martin sahabat Pradipta yang bertetangga dengan mereka datang membawa puding dan asinan buah.


Dunia memang sempit. Jeanette tetangga mereka itu, rupanya teman sekolah Larasati dulu. Karenanya Dee sering memberitahunya jika Larasati hendak datang berkunjung ke rumah kayu, dan jika waktu memungkinkan, Jeanette biasanya datang bergabung dengan mereka.


Selain Jeanette, Martin juga datang untuk bergabung bermain bersama Pradipta dan para sepupunya.


***


Sambil makan mereka mengobrol ngalor ngidul. Ke kanan ke kiri, menyentuh berbagai topik.


Sampai suatu saat…


“ Oh, “ terdengar suara Larasati, “ Jadi mereka bercerai ? “


Jeanette mengangguk. “ Ya. “


Larasati tampak terdiam sejenak. “ Anaknya ikut siapa? “


“ Ikut Budi. “


“ Hanya satu, kan, anaknya? “


“ Ya, satu. Perempuan. “


Dee mendengarkan percakapan itu sambil sesekali menyuapkan banana cake ke mulut si kembar Nareswara dan Nareswari.


“ Menyedihkan, “ terdengar komentar Larasati, “ Walau… sebenarnya sudah bisa diduga ya? “


Jeanette mengangguk, “ Ya. Agatha memang begitu dari dulu, bukan? Tak ada yang berubah, sebenarnya… Jadi seharusnya, sudah bisa diduga. “


marriage


Larasati  menceritakan sekilas tentang Budi dan Agatha pada Dee dan Prameswari.


Budi adalah kawan baik mereka. Pandai, bintang lapangan pada beberapa cabang olah raga, pendaki gunung. Mereka masih sering bertemu Budi bahkan sampai saat mereka sudah lulus sekolah dan bekerja, sebab mereka rutin berlatih olah raga bersama.


Agatha, cerita Larasati, pertama kali diperkenalkan Budi pada mereka semua saat seperti biasa, di suatu sore mereka berkumpul di lapangan olah raga.


Datang ke lapangan olah raga dengan letak rambut sempurna yang tampaknya membutuhkan waktu setengah hari untuk menatanya, rok pendek yang sangat ketat, sepatu high heels dan riasan wajah lengkap, Agatha jelas sangat berbeda dengan perempuan- perempuan yang sebelumnya dekat dengan Budi.


Semua kawan baik Budi meramalkan bahwa hubungan Agatha dan Budi tak akan berlangsung lama.


Dan mereka semua salah.


Hubungan keduanya makin serius. Agatha dan Budi menikah.


“ Lalu sekarang mereka bercerai? “ tanya Prameswari. “ Kenapa? “


“ Itulah, “ komentar Jeanette, “ Aku dengar, mereka sering sekali bertengkar sebab Budi mempermasalahkan gaya hidup Agatha. “


“ Yang sebenarnya bukan hal baru, “ Larasati menimpali, “ Apa yang dipermasalahkan Budi adalah gaya hidup Agatha sejak dulu yang seharusnya sudah diketahui Budi. “


“ Apa misalnya? “ tanya Dee.


“ Budi mengeluh bahwa Agatha tidak mengurus rumah dan anak mereka dengan baik, sebab di waktu- waktu senggangnya sepulang kantor, alih- alih langsung pulang ke rumah, Agatha sering mampir dulu untuk bertemu dengan kawan- kawannya di café- café, mencicipi gerai kopi yang baru dibuka, pergi ke restoran Perancis yang konon enak, dan hal- hal lain semacam itu yang bukan gaya hidup Budi.


Selain itu, pada hari libur, bukannya menghabiskan waktu di rumah dengan keluarga seperti yang diinginkan Budi, Agatha malah memilih pergi ke salon untuk merawat diri. Memutihkan kulit, menata rambut, mencat kuku, mengeriting bulu mata… “ kata Jeanette.


“ Mengeriting bulu mata? “ Dee tertawa kecil saat mengucapkan komentar itu.


“ Eh betul Dee, “ tukas Jeanette, “ Memang betul ada salon untuk tempat melentikkan bulu mata…”


Oh. Dee tertawa lebih lebar lagi. Tak pernah diketahuinya hal tersebut sebelumnya.


“ Tapi hasilnya sesuai kan? Aku duga, Agatha ini sampai sekarang tetap tampil kinclong seperti saat Budi pertama kali mengenalnya dulu? “


“ Ya, “ Jeanette mengangguk.


“ Tapi Budi sekarang mempermasalahkan hal ini? “ kata Dee.


“ Mungkin bukan mempermasalahkan cantik dan kinclongnya Dee, “ kata Larasati, “ Tapi mempermasalahkan bahwa dia begitu terfokus pada diri sendiri untuk selalu tampil kinclong dan mengambil porsi waktu terlalu banyak untuk itu. Juga gaya bergaulnya yang menurut Budi terlalu boros dan ‘borju’… “


“ Padahal itu semua satu paket, kan, “ kata Jeanette. “ Agatha bisa tampil kinclong begitu karena dia menyisihkan banyak waktu untuk mendandani diri. Dan mungkin dia perlu mendandani diri karena dia memang senang berada di tempat- tempat dimana penampilan seperti itu dibutuhkan… “


Hmm… hmm… Dee memikirkan apa yang dikatakan Larasati.


“ Masalah klasik, tampaknya, “ komentar Prameswari.


Dee mengangguk setuju. Ini masalah klasik rumah tangga yang akar masalahnya adalah…


“ Budi mungkin berpikir bahwa setelah menikah Agatha akan berubah dengan sendirinya. Atau dia berpikir bahwa dia akan bisa merubah Agatha, “ kata Dee.


Prameswari menyambung apa yang dikatakan Dee, “ Padahal, “ katanya, “ Kunci pernikahan yang langgeng sebetulnya adalah kesediaan kita untuk menerima ketidak cocokan dengan pasangan.  Sebelum menikah, seharusnya para calon suami istri sudah memperhitungkan untuk hal- hal dimana ada perbedaan atau ketidak cocokan itu, apakah dia akan dapat mempertahankan prinsipnya tanpa harus merubah atau mengendalikan gaya hidup pasangannya? “


“ Sebab, orang mungkin bisa menyesuaikan diri, tapi tak akan bisa berubah terlalu banyak. Begitu, ya? Jadi, take it or leave it… “ komentar Larasati.


Dee dan Prameswari serentak mengangguk.


“ Menikah, “ kata Dee, “ Memang membutuhkan pemikiran yang matang. Orang harus mengenali dirinya sendiri dengan baik, sebelum bisa memilih pasangan yang cocok. Orang harus tahu, apa nilai- nilai hidupnya, apa harapannya dalam hidup, apa hal- hal yang menurut dia tak bisa dikompromikan, apa yang masih bisa dikompromikan, dan dari hal- hal inilah dia harus berangkat.


Dalam kasus Budi dan Agatha, tampaknya dulu Budi mengecilkan fakta bahwa gaya hidup dan harapan tentang pernikahannya ternyata berbeda dengan Agatha. Perbedaan yang ternyata menjadi api dalam sekam. Api yang terus membesar, memanas dan menghancurkan pernikahan mereka… “


p.s. i love you…


** gambar diambil dari: treymorgan.net **

3 comments:

ias said...

like this mbk ^^

mechta said...

Paragraf kedua dari bawah...ini dia kuncinya ! :)

hes said...

Alasan 'tidak ada kecocokan' saat memutuskan bercerai mungkin lebih tepat jika di ubah menjadi 'sudah tidak dapat lagi ditoleransi' ;)

Post a Comment